Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PETER Church muncul di lobi Hotel Mulia, Senayan, Jakarta, Rabu sore pekan silam. Ahli hukum berpenampilan flamboyan itu terbang dari Australia ke Jakarta untuk sebuah misi khusus: berunding dengan pemerintah melalui Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan (DELP)—tentang kemungkinan pembagian hasil penjualan harta karun yang dikeruk dari kapal Tek Sing, yang karam di perairan Riau. Koleksi Tek Sing kini tengah dipamerkan besar-besaran dan siap dilelang pada 17-25 November di Stuttgart, Jerman.
Church mewakili Ocean Salvage Limited, sebuah perusahaan induk Australia yang berkaitan erat dengan harta Tek Sing. Adalah Ocean, perusahaan yang memperolah izin kerja untuk mengangkat harta karun dari kapal Tek Sing yang karam di Riau. Proyek itu kemudian disubkontrakkan kepada United Sub-Sea Services Ltd., perusahaan milik seorang pemburu harta karun kesohor, Michael Hatcher, pada 1999. Church menolak memberi komentar apa pun tentang pembicaraannya dengan pihak DELP, yang sejak 26 Juli lalu, menurut Keppres, mendapat otoritas untuk melindungi dan mengawasi harta kekayaan purbakala di bawah laut.
Pria Australia itu cuma meneleng-nelengkan kepala ketika wartawan TEMPO Arif Kuswardono menanyakan apakah ia diutus Michael Hatcher. Dan saat didesak di mana si Tuan Inggris itu berada sekarang, Church kontan memutar-mutar telunjuk di atas kepala sembari bercanda, ”… he is somewhere under the sky.”
Buat Indonesia, Hatcher agaknya tetap merupakan sosok misterius. Nama Hatcher mencuat tatkala pada April 1985 ia berhasil membobol 225 lantak emas dan 150 ribu keping keramik Cina kuno dari bangkai kapal Geldermalsen yang tenggelam di perairan Riau pada 1752. Tak sepeser pun harta itu menetes ke kantong Indonesia. Peristiwa itu berulang lagi. Meski sempat dicekal, Hatcher bisa kembali menggaruk harta karun Tek Sing di Riau, yang lalu diselundupkan ke Jerman melalui Australia (lihat Dulu Nanking, Sekarang Tek Sing).
Dengan reputasi semacam itu, benarkah Peter Church mengusung niat bersih ke hadapan pemerintah Indonesia? Atau ini jurus baru Hatcher agar lelang supermegah di Jerman November nanti tak akan direpotkan segala klaim? Maklum, Balai Lelang Nagel telah mengeluarkan Rp 24 miliar lebih untuk persiapan pameran itu (lihat Di Stuttgart, Harta itu Dilelang). Promosi itu menampilkan Hatcher sebagai hero penyelamat kekayaan purbakala—lengkap dengan tiga layar monitor raksasa yang menayangkan aksi-aksi ”penyelamatannya”.
Entahlah. Menteri Eksplorasi Laut dan Perikanan Sarwono Kusumaatmadja sendiri belum bersedia bicara banyak tentang detail perundingan itu. Semua urusan harta karun itu kini tengah digarap Dirjen Penyerasian Riset Kelautan, Indroyono Soesilo. Menurut Indroyono, sebuah tim tengah disiapkan untuk menggodok langkah paling realistis untuk menghadapi kasus Tek Sing.
Sjafri Burhanuddin, Direktur Riset dan Eksplorasi Sumber Daya Non-Hayati Laut Direktorat Jenderal Penyerasian Riset dan Eksplorasi Laut DELP, misalnya, harus sibuk menekuni literatur arkeologi bawah laut serta sejumlah publikasi perburuan harta karun. Usaha ini ada hasilnya. Minimal, Michael Hatcher tak bisa menggertak doktor geologi kelautan ini begitu saja takala keduanya berbicara di Singapura, 17 Juni silam.
Sjafri, yang mewakili DELP, menolak tawaran 20 persen hasil penjualan Tek Sing untuk Indonesia yang disodorkan Hatcher. Ditampik begitu, Hatcher menantang, kalau tak mau kompromi, ia akan jalan terus karena barang toh sudah ada di Jerman. Sjafri balik menggertak, ”Silakan, tapi kami akan menyiarkan ke seluruh dunia, koleksi itu barang ilegal dari perairan Indonesia.”
Toh, Hatcher harus menghitung beberapa sandungan jika ia nekat jalan terus. Pertama, orang-orang terbaik—antara lain Rahim, ahli survei asal Singapura yang menemukan Gerdemalsen dan Tek Sing—yang jadi andalannya selama ini masih ditahan di Indonesia. Kedua, setiap barang yang dilelang di Jerman harus melalui declare keabsahan pengangkatan oleh pemerintah Indonesia sebuah prosedur yang akan banyak berpengaruh pada harga lelangan. Melalui Departemen Pendidikan Nasional, pemerintah sudah mengirim nota diplomatik—melalui KBRI Jerman—bahwa keramik Tek Sing di Stuttgart adalah barang ilegal.
Jika Hatcher berniat melibas semua prosedur ini, berarti sekali lagi ia mencatatkan namanya dalam daftar hitam Indonesia. Boleh jadi, ia harus berpikir panjang mengingat Indonesia adalah sebuah negeri dengan kekayaan bawah laut yang menyihir. Ahli arkeologi bawah laut asal Amerika, Tonny Wells, menuliskan hal itu dalam Shipwrecks and Sunken Treasure in South East Asia.
Menurut Wells, dari 400-an bangkai kapal dagang di perairan Asia Tenggara, ada sekitar 185 kapal yang teronggok di bawah seantero perairan Indonesia dengan harta berkilau-kilau. Kapal Portugis Flor de la Mar, yang ditaksir bernilai US$ 8 miliar alias Rp 56 triliun, adalah salah satu contoh (lihat Harta Terpendam di Lautan Nusantara).
Ironisnya, dari timbunan harta itu, negara hanya mengantongi kurang dari Rp 4 miliar (lihat infografik Halal Rugi, Haram Apalagi). Itu pun setelah pemerintah membentuk Panitia Nasional Pengangkatan dan Pemanfaatan Benda Berharga (Pannas), yang otoritasnya kini dialihkan ke DELP. Panitia ini dibentuk pada 1989 menyusul kasus The Nanking Cargo. Dengan anggota delapan orang (dari delapan departemen) di bawah koordinasi Menko Polkam, kantor itu praktis hanya menjadi semacam ”loket izin”—dengan pengawasan yang lemah (lihat infografik Lubang-Lubang dalam Perizinan).
Izin-izin kepada pemohon kerap diberikan secara in absentia. Para anggota jarang menghadiri rapat-rapat Pannas. Untuk itu, pihak sekretariat harus mengirim berkas-berkas permohonan izin pengusaha ke kantor setiap anggota. Saking malasnya para anggota memberi respons, mantan Sekretaris Pannas Gasyim Amman memberi catatan di atas setiap proposal:…”jika dalam sebulan tidak ada jawaban, dianggap setuju….”
Dan, ini belum semuanya. TNI Angkatan Laut, sebagai aparat pengawasan terpenting, tak bisa terlalu diharapkan sumbangannya. Menurut Gasyim, mereka malah bukan hanya terlibat dalam ”permainan” dengan pengusaha, tapi juga hampir tak pernah berkoordinasi dengan Panitia Nasional. Gasyim, yang kini didudukkan TNI AL sebagai tersangka dalam kasus pemalsuan izin untuk Tek Sing, menjelaskan hanya dua anggota TNI AL yang bertugas di Ternate yang pernah melaporkan hasil pengawasan mereka kepada Pannas.
Seburuk itukah kinerja aparat AL? Panglima Armada Barat Laksamana Muda TNI, Si Putu Ardana, berusaha mengklarifikasi tuduhan ini. ”Dalam kasus Tek Sing, kami akan mengklarifikasi apakah ada anggota AL yang terlibat,” katanya. Soal ”bermain” dalam pengawasan di laut? ”Keterlibatan anggota AL dalam hal itu juga harus kami cek lagi,” kata Putu.
Pintu kerugian adalah kolusi pejabat-pengusaha-aparat, mulai dari proses perizinan hingga pelelangan (lihat Dulu Tek Sing, Sekarang Nanking). Jangan lupa, bisnis ini berawal bersamaan dengan tahun-tahun kejayaan Orde Baru. Maka, Tommy Soeharto bisa dengan mudah mengantongi enam izin lokasi pada 1989 (ketika itu masih berlaku aturan satu izin untuk satu perusahaan) dari Menko Polkam Laksamana Sudomo. Tutut, putri sulung Soeharto, dan Sudwikatmono, dan belakangan Ari Sigit, cucu sang Presiden, pun ikut meriung dalam pusaran bisnis ini.
Lemahnya pengawasan bukan hanya berlangsung di level pusat. Ketika Hatcher dan anak buahnya menggali berbulan-bulan di Riau, tak satu pihak pun ribut. ”Selama empat bulan Hatcher dan anak buahnya mengutak-utak di tengah laut, apakah patroli TNI AL tidak melihat? Dan, masa, aparat Pemda tidak tahu? Omong kosong,” kata Sjafri Burhanuddin bertanya.
Pertanyaan ini sesuai benar dengan informasi yang dibisikkan Gasyim kepada TEMPO: ”Bupati, Gubernur, Polres, Kodim, AL, semuanya memeras pengusaha. Di tingkat Polres, dari pengusaha harus keluar fulus Rp 10-20 juta.” Jika menolak? Ya, tak akan lancar. Selain mau menerima duit, para polisi ini juga berkenan jika diberi oleh-oleh barang antik hasil dari laut. Artinya apa? Pengusaha juga akan bersikeras melanggar izin di mana bisa, untuk menekan biaya.
Di luar soal uang, perlakuan pengusaha kita terhadap benda-benda itu juga bisa membuat geleng-geleng kepala. Pengusaha Tommy Soeharto, misalnya, menumpuk puluhan ribu keping keramik di Batam selama 11 tahun (yang mulai rusak karena terkena udara panas dan bergaram) karena mengharapkan harga lebih mahal. Bandingkan dengan cara Balai Lelang Nagel memperlakukan harta karun Tek Sing di ruang pamernya di Stuttgart. Tommy mungkin saja merugi—bila ia memang hanya berhasil mengantongi keramik. Tapi, pemilik harta itu yang sesungguhnya—publik, tentu saja—ikut pula menanggung potensi kerugian.
Semua kondisi ini membawa kita kepada satu kesimpulan: sudah saatnya izin diringkas menjadi lebih efisien, pengawasan yang bersih, dan badan pengawas profesional yang benar-benar memikirkan perlakuan yang layak terhadap kekayaan bahari Indonesia yang pekat dengan nilai sejarah itu.
Yang agaknya melegakan adalah munculnya kepedulian banyak pihak terhadap potensi kekayaan yang teronggok di dasar laut. ”Saya senang. Kabarnya, banyak tenaga profesional dan aktivis LSM yang akan terlibat dalam pengurusan dan pengawasan harta karun,” ujar pengusaha harta karun Herman Spiro ketika dimintai komentarnya soal pengalihan pengawasan kekayaan bawah laut dari Pannas ke Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan. ”Dulu kan banyak tentara, jadi agak kaku,” ia melanjutkan.
Bukan rahasia lagi, urusan harta karun memang melibatkan banyak jenderal pada level pimpinan. Bahkan, salah satu syarat yang harus dipenuhi pengusaha adalah mempekerjakan purnawirawan tentara sebagai anggota tim penyelam.
Lantas, apa yang akan dilakukan Sarwono dan kawan-kawan dalam waktu dekat? Pekerjaan rumah di depan hidung yang harus segera dirampungkan tentu saja kasus Tek Sing. Rapat yang digelar Pannas, DELP, Interpol, dan Mabes ABRI awal Agustus lalu menetapkan beberapa alternatif penyelesaian. Indroyono Soesilo menyebut tiga opsi.
Opsi pertama, tidak melakukan tindakan apa-apa sama seperti kasus Geldermalsen pada 1986. Kedua, melakukan kompromi dalam arti win-win solution, terutama tawaran Hatcher yang 20 persen, sebagai bagian pemerintah Indonesia yang dianggap tim Pannas sebagai tidak adil. Mereka sepakat menuntut bagi hasil 50:50. Ketiga, menolak alias tidak ada kompromi dengan Hatcher.
Opsi terakhir itu dimasukkan dalam alternatif setelah mereka menemukan begitu banyak kejanggalan dalam kasus itu: dari proses perizinan hingga ekspor. Jika pilihan terakhir yang diambil, kasus ini akan meluncur ke pengadilan. Pertanyaannya: mampukah tim gabungan menyeret semua pejabat tinggi dan nama penting sebagai saksi dan tertuduh? Mampukah tim ini menginvestigasi semua bukti pendukung yang diperlukan pengadilan?
Jalan memang masih panjang menuju pembagian kekayaan Tek Sing—lupakan dulu soal aturan baru untuk mengurusi harta yang tersisa di bawah laut. Dalam jangka pendek tampaknya hanya sedikit pilihan. Berunding dengan Hatcher dan adu kuat tawar-menawar atau menyeret dia ke pengadilan dengan kemungkinan kalah tanpa bukti telak hingga tidak mendapatkan satu sen dari kekayaan Tek Sing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo