Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI para kolektor porselen antik, Berger Michael Hatcher adalah bintang. Spesialis pemburu harta di dasar laut ini sukses mengeduk bangkai Tek Sing, kapal Cina yang tenggelam di Selat Gelasa, antara Sumatra dan Singapura, pada awal 1822. Hasil buruan Hatcher cukup menggiurkan: 350 ribu porselen zaman Dinasti Qing senilai DM 35 juta atau sekitar Rp 132 miliar.
Kini, bintang Hatcher menjanjikan rezeki nomplok bagi Nagel Auction, Stuttgart, Jerman. Perusahaan inilah yang bakal melelang harta karun Tek Sing, November nanti. Nagel pun dengan atraktif berkampanye ”menjual” sosok Hatcher melalui berbagai merchandise—seperti kacamata, jam tangan, dan topi.
Masih dalam rangkaian kampanye, situs Nagel Auction memuat detail perjuangan 30 pelaut Restless M, kapal milik Hatcher, melacak Tek Sing. Mei tahun lalu, tim penyelam Restless menyisir Selat Gelasa. Namun, perburuan tidak tuntas dalam sekejap. Pelacakan Tek Sing menguras hampir seluruh perbekalan Restless, yang didanai perusahaan Ocean Salvage Corporation Ltd. Setiap harinya, ongkos operasional mencapai US$ 10 ribu. ”Kami hampir menyerah,” kata Hatcher.
Kemudian, 12 Mei, Restless mendeteksi bangkai kapal di kedalaman 30 meter dari dasar laut. Setelah mencocokkan dengan riset Nigel Pickford, pakar sejarah, Hatcher memastikan bahwa bangkai kapal tersebut adalah Tek Sing (berarti bintang sejati). Kapal ini bertolak dari pelabuhan Cina menuju Jawa dengan 200 awak kapal dan 1.600 penumpang. Menurut catatan Pickford, hanya 180 penumpang yang bisa diselamatkan oleh Indiana, kapal dengan nakhoda Kapten James Pearl. Tragedi ini membuat Tek Sing dijuluki sebagai ”Titanic Cina”.
Kini, setelah terkubur hampir dua abad, kisah Titanic Cina kembali terangkat. Nama Hatcher—juga terlibat dalam perburuan harta di perairan Vietnam, Thailand, dan Selat Malaka—kian masyhur. Reputasi laki-laki 60 tahun berkebangsaan Australia ini makin kokoh sebagai pemburu harta karun.
Namun, nama Hatcher tidak selalu harum. Menurut Gimin Bachtiar, tangan kanan Hatcher, dalam berburu harta di perairan Nusantara, yang berperan penting justru penduduk setempat. Para nelayan lokal, yang mencari teripang dengan terjun langsung ke dasar laut, tahu persis lokasi bangkai kapal. Hatcher pun berkeliling ke rumah penduduk guna menggali informasi. ”Sesudah informasi terkumpul,” kata Gimin, ”barulah Hatcher mencocokkan dengan buku-buku sejarah.”
Bagi pemerintah Indonesia, Hatcher juga menyimpan ganjalan. Pemilik perusahaan United Sub Sea Services ini kerap diidentikkan dengan sosok yang mengeduk keuntungan dari lemahnya sistem hukum kelautan di Indonesia.
Empat belas tahun silam, Hatcher mengangkat isi bangkai De Geldermalsen, kapal dagang Belanda di zaman VOC. Kapal yang tenggelam di perairan Pulau Mapur, Riau, pada tahun 1752 itu membawa 160 ribu porselen Cina antik dan 225 batang emas lantakan. Dengan mulus, Hatcher sukses menjual harta Geldermalsen melalui Balai Lelang Christie, Singapura, dengan nilai US$ 15 juta atau setara Rp 16 miliar dengan kurs saat itu.
Kala itu, pemerintah Belanda yakin bahwa Geldermalsen tenggelam di perairan internasional. ”Kami sama sekali tidak berada di dalam wilayah perairan Indonesia 12 mil,” kata Hatcher kepada TEMPO, pertengahan Oktober 1986.
Berhubung tak ada bukti sah Geldermalsen ada di laut Indonesia, pemerintah tidak bisa menuntut bagi hasil secara wajar. Setelah lelang usai, pemerintah menunjukkan bukti bahwa Geldermalsen tenggelam di wilayah Indonesia, berdasar konsep zona ekonomi eksklusif (ZEE) 200 mil. Namun, bagi Hatcher, bukti ini tidak berpengaruh apa pun karena konsep ZEE belum diakui dunia internasional. Sistem hukum Indonesia, menurut Hatcher, memang seharusnya ditaati oleh warga Indonesia. ”Tapi saya bukan orang Indonesia,” kata Hatcher, berkilah. Keruwetan ini akhirnya membuat Indonesia sama sekali tak kebagian rezeki, dan Hatcher diganjar status cegah tangkal—tak boleh masuk Indonesia.
Agar peristiwa Geldermalsen tak terulang, pemerintah kini menyiapkan langkah yang lebih rapi. Safri Burhanuddin, pejabat yang menangani eksplorasi laut di Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, menemui Hatcher untuk merundingkan bagi hasil Tek Sing. Setelah bertemu di Singapura, pertengahan Juni lalu, Safri mengakui bahwa Hatcher paham betul kelemahan sistem hukum Indonesia. ”Itulah sebabnya dia yakin bisa maju terus,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo