Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG doktor fisika dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menggeleng-gelengkan kepala tatkala membaca pelajaran fisika siswa sekolah lanjutan tingkat pertama. Materi yang membuat kepalanya bergoyang itu datang dari buku Fisika Jilid I yang diterbitkan PT Multi Trust, Jakarta. Pada halaman 64, misalnya, penulis buku itu melukiskan seorang anak yang melempar bola setinggi 60 meter tatkala menerangkan gaya vertikal. ”Ini contoh yang sangat tidak masuk akal dan tidak merangsang logika siswa,” ujar sang doktor, setengah geram. ”Mana mungkin seorang anak dapat melempar bola setinggi itu? Paling banter juga dua meter.”
Pada halaman 26 buku yang sama, ia kembali menemukan ilustrasi lain yang membuat otak fisikanya kian puyeng. Untuk menjelaskan perbandingan luas daratan dan lautan, penulis buku itu memaparkan: luas lautan adalah 80 persen, sedangkan luas daratan 40 persen. ”Masa, luas laut dan darat berjumlah 120 persen,” katanya.
Apa yang ditemukan peneliti fisika dari LIPI itu cuma satu contoh dari sejumlah kebodohan yang ditularkan kepada jutaan anak sekolah Indonesia (lihat pula tabel). Tapi, mau tahu kabar yang lebih buruk? Buku fisika milik Multi Trust itu memenangi tender Proyek Buku Bank Dunia. Dan dia tidak sendirian. Buku fisika yang diterbitkan pemenang tender lain—PT Karya Kita—juga punya sejumlah kesalahan.
Beruntung buku-buku itu belum sempat beredar. Bank Dunia—lembaga keuangan yang mengucurkan kredit kepada Indonesia untuk menyediakan buku murah dan bermutu—menunda penerbitan dan peredarannya karena melihat sejumlah kejanggalan dalam tender.
Pihak Departemen Pendidikan Nasional merahasiakan keberadaan salinan buku-buku itu ibarat barang pribadi yang keramat. Permintaan TEMPO untuk sekadar melongok buku-buku itu ditolak mentah-mentah oleh pimpinan Proyek Buku Bank Dunia 1998–2000, Hartoyo Wibowo. Toh, buku-buku itu tiba juga di meja redaksi sebelum laporan ini ditulis—sebuah sumber mengirimkan 21 jilid buku biologi, fisika, dan bahasa Inggris dari tujuh penerbit pemenang tender.
TEMPO mengundang sebuah tim ahli untuk mengkaji buku-buku yang sedianya segera diterbitkan itu. Mereka terdiri atas dua ahli fisika, satu ahli bahasa, dan satu ahli biologi.
Kami juga mengundang seorang peminat matematika yang telah lama malang-melintang di bidang pengajaran dan penelitian matematika untuk menyumbangkan hasil analisis isi yang dia lakukan terhadap buku matematika dari empat penerbit yang memenangi tender tahap sebelumnya (1998-1999)—artinya, sudah beredar. Hasilnya?
Penerbit Rosda Karya, yang contoh kesalahan dan jiplakannya dipajang pada tabel, bukan satu-satunya penerbit yang gemar mencuri isi buku lain. Mizan dan Multi Trust semuanya giat menerapkan jurus jiplak dalam buku matematika yang mereka terbitkan. Sumber jiplakan adalah buah pikiran Wahyudin, seorang doktor matematika yang sudah menulis buku-buku ini sejak 1986. Dalam menyalin, memang terlihat usaha penerbit memodifikasi di sana-sini. Tapi, ada bab yang telak-telak menyalin—seperti yang dilakukan Mizan.
Yang lebih edan lagi, Multi Trust juga mencatut nama tenar Wahyudin. Penerbit itu menambahkan nama Jumanta di belakang nama Wahyudin ”palsu”. Alhasil, ”Banyak murid yang menelepon saya tatkala buku itu beredar,” tutur Wahyudin asli kepada TEMPO. Dia mengaku ”sedih tapi tidak bisa berbuat apa-apa”.
Dan inilah komentarnya tentang kualitas buku yang beredar sejak 1998 itu: ”Mereka menulis dengan cara ikut-ikutan, mengambil data tanpa berpikir, tidak melakukan uji coba, dan tidak memberikan penjelasan yang runtut, mendetail, ”ujarnya.
Kok, bisa? Silakan membandingkan ini: penulis dan penilai yang direkrut penerbit serta Depdiknas hanya diberi waktu sepekan untuk menyelesaikan pekerjaannya. Sementara itu, Wahyudin (yang asli) menggunakan waktu minimum tiga bulan untuk menyelesaikan satu jilid buku tatkala ia mulai menulis buku-buku matematika pada 1984. Ia juga memanfaatkan salah satu rujukan utama yang sangat baik: Scottish Mathematics.
Kesalahan dalam ilmu-ilmu eksakta bukan satu-satunya prahara yang harus ditanggung para siswa di seluruh pelosok negeri. Bahasa, unsur yang begitu mendasar dalam menembus tabir ilmu pengetahuan, juga dibukukan dengan cara serampangan. Tim Ahli TEMPO mencatat ada kesalahan elementer dalam berpuluh-puluh halaman buku bahasa Inggris yang belum terbit tapi menang proyek tahap 1999-2000. Jumlah kesalahannya memang ”lebih sedikit” ketimbang buku bahasa Inggris yang diterbitkan oleh IKIP Malang dan Titian Ilmu—dua-duanya pemenang tender tahap 1995-1997. Karena begitu mencolok kesalahannya, buku itu ditarik dari peredaran. Namun, empat tahun kemudian, eh, parade kesalahan tadi nongol kembali.
Direktur Lab School, Arief Rachman, bahkan hanya memerlukan waktu satu hari tatkala TEMPO memintanya membaca dan menuliskan opini tentang materi kesalahan itu. Arief menyebutkan lima kesalahan dasar, yaitu kesalahan kultural (bahasa Inggris yang sekadar menjadi terjemahan dari bahasa Indonesia), struktural (berhubungan dengan pengetahuan gramatikal penulis), leksikal (menyangkut pemakaian kosakata), grafis (pemakaian huruf besar, kecil, titik dan koma yang keliru), dan kesalahan kontekstual (memaksakan topik-topik cerita yang tidak sesuai dengan perkembangan zaman).
Toh, dosen bahasa Inggris IKIP Jakarta itu tidak terlalu heran buku-buku berkualitas rendah ini bisa menang proyek. Lima tahun silam, dia menemukan 112 poin kesalahan dalam 60 nomor soal bahasa Inggris yang diujikan kepada para siswa Jakarta. ”Pengalaman saya menunjukkan, selalu ada tarik-menarik kepentingan antara ilmu dan uang,” ujarnya.
Alhasil, ketika uang harus berduel dengan ilmu, kualitas yang lahir dari seluruh proyek buku bernilai jutaan dolar ini tak lebih dari sekadar cerita lama yang belum berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo