Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Hutan Harapan merupakan rumah bagi ribuan jenis satwa dan tumbuhan, beberapa di antaranya hampir punah.
Hutan Harapan merupakan sumber air bagi masyarakat Sumatera Selatan dan Jambi.
Pembangunan jalan tambang di tengah hutan akan merampas semua ruang hidup.
DARI jarak dua meter, bekas cakar beruang madu itu terlihat mencolok di kulit kayu pohon medang batu. Bekas goresan kuku beruang itu berwarna merah, kontras dengan kulit kayu medang yang hitam. Ada enam cakar beruang sedalam dua sentimeter yang terlihat masih baru di pohon sebesar perut orang dewasa itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Petugas patroli PT Restorasi Ekosistem Indonesia (Reki), pemegang konsesi Hutan Harapan di Jambi dan Sumatera Selatan, menduga beruang melintasi lokasi ini beberapa hari sebelumnya pada pertengahan Juni 2020. “Tiga bulan lalu saya juga menemukan jejak beruang,” kata Sutoyo, Supervisor Perlindungan Hutan PT Reki.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia tengah menyurvei keberagaman hayati lokasi tersebut karena akan dibuka menjadi jalan tambang oleh PT Marga Bara Jaya. Cicit usaha Rajawali Corpora—grup bisnis milik taipan Peter Sondakh—ini mendapatkan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk membuka jalan angkut batu bara dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 17 Oktober 2019.
Jalur yang akan dibuka Marga Bara Jaya melintasi Hutan Harapan sepanjang 26 kilometer. Jalan angkut batu bara itu hanya dua kilometer dari lokasi ditemukannya cakar beruang madu. Menurut Sutoyo, dari temuan-temuan surveinya, di sekitar rencana jalan tambang itu adalah jalur perlintasan hewan endemis Sumatera, seperti harimau, gajah, burung rangkong, dan beruang.
Dari survei PT Reki, setidaknya ada 620 jenis satwa di Hutan Harapan yang seluas 98.555 hektare atau satu setengah kali luas Jakarta ini. Dari jumlah itu, 106 jenis fauna tergolong hampir punah karena habitat hutan mereka terdegradasi akibat konversi lahan menjadi perkebunan dan pertambangan.
Hutan Harapan juga merupakan rumah bagi 74 jenis reptil dan amfibi, termasuk kura-kura duri yang terancam punah. Ada pula bangau Storm atau bangau hutan rawa, jenis paling langka dari semua bangau, yang hidup bersama 306 jenis burung lain. Bangau endemis hutan Sumatera yang punya paruh merah jambu ini menjadi gambar seri prangko Pusaka Hutan Sumatera tahun 2009.
Pepohonan juga tak kalah beragam. Setidaknya ada 1.310 jenis tanaman yang tumbuh menutupi permukaan Hutan Harapan. Beberapa di antaranya masuk kategori sangat langka, seperti jelutung, bulian, keruing, dan tembesu yang kerap disebut “kayu raja” di Sumatera Selatan.
Pelbagai jenis pohon ini tumbuh di hutan sekunder dengan kerapatan antarpohon 2-3 meter. Diameter pepohonan ini 60 sentimeter ke atas. Bahkan untuk melingkari beberapa di antaranya memerlukan tangan empat orang. Menurut Sutoyo, jenis pohon besar di Hutan Harapan adalah meranti, merbau, dan jelutung. Sejak 2007 PT Reki memegang izin menjaga hutan bekas hak pengusahaan hutan ini dan menjadi perusahaan pertama yang mendapat izin restorasi ekosistem di hutan produksi.
Masyarakat lokal, terutama suku anak dalam, bertumpu pada keberadaan Hutan Harapan. Mereka mengambil hasil hutan nonkayu, dari rotan, damar, getah jelutung, hingga madu. Dalam satu kali masa panen, mereka bisa mendapatkan 700 kilogram damar yang dijual seharga Rp 2.300 per kilogram kering dan Rp 10 ribu per kilogram untuk getah jelutung. Yang paling mahal getah jernang, seharga Rp 1,3-2 juta per kilogram.
Jupri, ketua adat suku anak dalam, mengatakan masyarakatnya biasa berkebun dan menanam padi di alas untuk memenuhi kebutuhan hidup. Bahkan, untuk mengobati anggota keluarga yang sakit, mereka memanfaatkan tumbuhan hutan. “Kalau kami sakit tidak mungkin ke rumah sakit karena jauh,” tuturnya. Jarak permukiman orang suku anak dalam ke desa terdekat satu setengah jam perjalanan naik sepeda motor.
Hutan Harapan juga menjadi sumber air untuk Sungai Meranti dan Sungai Batang Kapas di Sumatera Selatan serta hulu Sungai Meranti dan hulu Sungai Lalan di Jambi. Sungai Batang Kapas dan Meranti tak lain hulu Sungai Musi yang bermuara di Selat Malaka. Menurut Manajer Komunikasi PT Reki Hospita Simanjuntak, Hutan Harapan telah menyelamatkan sungai-sungai itu dari kekeringan musim kemarau terpanas dalam 40 tahun terakhir pada 2015.
Di dalam Hutan Harapan ada sepuluh danau kecil yang menjadi sumur resapan air. Karena itu, Hospita menjelaskan, pembukaan jalan tambang akan mengganggu fungsi hutan sebagai sumber air ataupun pelindung keanekaragaman hayati dan penopang hidup masyarakat Batin Sembilan.
Dalam dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) yang dibuat PT Marga Bara Jaya, jalan itu akan selebar 40 meter ditambah 8 meter drainase di kiri-kanannya serta 12 meter untuk revegetasi. Dalam dokumen tersebut juga disebutkan bahwa jalan ini akan melewati rumah serta jalur perlintasan harimau dan gajah.
Rencana PT Marga Bara Jaya membangun pos pemantauan satwa di jalan ini, menurut Hospita, juga akan membuat hewan besar Hutan Harapan terganggu. Akibatnya, habitat satwa di sini tetap terfragmentasi, seperti rekomendasi Badan Penelitian, Pengembangan, dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018.
Manajer Operasional Marga Bara Jaya Adi Wahyudi menepis kekhawatiran itu. Menurut dia, perusahaannya akan menempuh prosedur sesuai dengan amdal yang sudah disetujui Kementerian Lingkungan Hidup pada 30 Agustus 2019. Ia juga menegaskan tetap berkoordinasi dengan PT Reki dalam pengamanan satwa. “On progress,” ucapnya. Pengakuan yang disangkal Hospita.
Bukan hanya soal satwa, pembangunan jalan juga akan menambah konflik antar-kelompok masyarakat kian runcing dan banyak segi. Ada 500 warga suku anak dalam yang menolak kehadiran PT Reki karena menganggap perusahaan ini memonopoli tanah hutan.
Tutupan Hutan Harapan di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, 30 Juni lalu.
Menurut Jupri, lahan kelolaan PT Reki masuk wilayah ulayat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka. Akibatnya, masyarakat Batin Sembilan acap ditangkap ketika memasuki Hutan Harapan. Masalahnya, pemerintah daerah belum mengakui mereka secara resmi sebagai masyarakat adat sehingga konflik menjadi bertambah ruwet.
Konflik lahan bertambah kusut dengan kehadiran para petani pendatang dari luar wilayah Jambi dan Sumatera Selatan. Serikat Petani Indonesia (SPI) yang mengadvokasi para petani ini menuntut lahan garapan menggunakan sistem enclave melalui skema pengakuan Tanah Objek Reforma Agraria. “Kami ingin KLHK panggil kami, dudukkan bersama dengan Reki untuk berembuk,” ujar Ketua SPI Jambi, Sarwadi.
Kepala Dinas Kehutanan Jambi Ahmad Bestari mengatakan konflik antara Reki dan kelompok-kelompok masyarakat ini alot karena keinginan mereka tak bisa dipertemukan. “Umumnya meminta penyelesaian di luar regulasi,” katanya. Jalan tengah kemitraan mengelola lahan antara perusahaan dan masyarakat juga buntu.
Dengan konflik yang meruncing dan melibatkan tiga pihak itu, menurut Hospita Simanjuntak, pembukaan jalan tambang oleh PT Marga Bara Jaya akan memperparah keadaan. Keberadaan jalan angkut tambang dari Musi Rawas ke Sungai Bayung Lencir sepanjang 92 kilometer itu akan memudahkan para perambah masuk ke hutan dan mendudukinya.
Sebab, Hospita menambahkan, tanpa jalan itu pun masyarakat sudah masuk ke kawasan hutan dan mendirikan perkebunan sawit secara ilegal, merambahnya, yang memicu konflik antarkelompok masyarakat. “Jika jalan dibangun, hal-hal yang mengancam hutan ini akan masuk dengan mudah,” tuturnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo