Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Kolusi di Setiap Tikungan

Dari hulu hingga hilir, "permainan" berlangsung. Namun, tingkat penilaianlah yang banyak menentukan.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEROMBONGAN tamu muncul di Cisarua, awal Oktober tahun silam. Di kawasan pegunungan yang tenang di Jawa Barat itu mereka menjadi tamu istimewa Departemen Pendidikan Nasional. Pihak tuan rumah tidak memperlakukan para tamu ini-sebahagian besar dosen-dosen dan para guru dari Jakarta dan Bandung-dengan kelaziman pelancong biasa.

Selama sepekan lebih di wisma peristirahatan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) di Cisarua, mereka harus menaati sejumlah aturan ketat: tidak boleh mondar-mandir seenaknya. Mereka harus membaca sebanyak-banyaknya. Tapi, mereka tidak boleh menenteng buku apa pun saban meninggalkan tempat menginap. Aturan lain: tidak boleh menggerombol dengan sesama anggota rombongan. Lo, apa orang-orang ini sedang dikarantina? Persisnya bukan begitu.

Aturan-aturan itu perlu untuk menyukseskan sebuah misi mulia: menilai buku-buku pra dan pasca-kualifikasi Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca (PMBM) Bank Dunia Tahap IV (1999-2000). Rombongan juri buku itu dipecah ke dalam belasan tim. Setiap tim terdiri dari seorang guru sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP) atau sekolah menengah umum (SMU), dosen keguruan, dan dosen bidang studi. Tugas mereka menilai tiga mata pelajaran SLTP-biologi, fisika, bahasa Inggris. Mata pelajaran lain seperti geografi, pendidikan jasmani, sejarah, ekonomi, matematika telah dinilai oleh tim serupa pada tahun-tahun terdahulu.

Di tangan para juri inilah bekal materi pelajaran siswa SLTP seluruh Indonesia untuk tahun ajaran baru 2000 akan ditentukan. Tak mengherankan, Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Dikdasmen) Indra Djati Sidi memerlukan hadir dalam acara pembukaan. Ia berpidato di hadapan seluruh tim penilai. "Tugas ini adalah tanggung jawab nasional untuk mencerdaskan bangsa. Maka, tim penilai harus bekerja dengan sangat teliti dan hati-hati," ujarnya, seperti ditirukan Syambari Munaf, asal Bandung. Dosen Universitas Pendidikan Indonesia ini pernah dua kali menjadi penilai buku fisika untuk SMP. Terakhir, Oktober 1999.

Menurut Syambari, di Cisarua itu pula seluruh tim mengebut membaca ratusan buku yang harus dinilai. Pekan pertama mereka menyaring 60 buku yang lolos prakualifikasi. Tiga hari terakhir, menentukan nilai ke-60 buku itu. Hasil penilaian kemudian diserahkan ke National Textbook Educational Committee (NTEC), yang beranggotakan staf Pusat Perbukuan Depdiknas. Komisi ini mengolah kembali penilaian juri buku, membuat pemeringkatan buku, dan merekomendasikannya ke Bank Dunia.

Mekanisme penilaian yang diterapkan pihak Depdiknas sebetulnya amat ketat. Semua buku dikirimkan ke ruang-ruang tim penilai dalam keadaan telanjang alias tanpa sampul, tanpa nama penerbit. Tim yang satu tidak diperkenankan bertukar kabar dengan tim lain selama periode membaca dan menilai buku-buku itu, apalagi bersua dengan penerbit. Mengapa?

Para penerbit rupanya sigap betul mengintai lokasi penilaian. Kepala Pusat Perbukuan (Pusbuk) Agam Suchad menuturkan, sekali waktu Depdiknas mengumumkan bahwa penilaian akan dilakukan di Hotel Indonesia. Namun, tempatnya kemudian dipindahkan ke sebuah lokasi lain yang dirahasiakan. Betul saja. Di hari pertama penilaian, sejumlah utusan penerbit mondar-mandir di lobi Hotel Indonesia. "Mereka datang ke situ untuk menemui tim penilai dengan maksud melakukan kongkalikong. Makanya, siapa yang berkolusi: kami atau mereka?" ujarnya kepada TEMPO.

Tapi Agam lupa pada satu soal mendasar: seberapa pun hebatnya kongkalikong antara penerbit dan penulis, gong terakhir yang menentukan lolos-tidaknya sebuah buku tetap saja di tangan Depdiknas. Rantai kemenangan ini mulai dipilin dari NTEC-di bawah supervisi Agam- kemudian diteruskan ke Indra Djati. Sang Dirjen kemudian meneruskannya ke menteri, untuk disampaikan kepada Bank Dunia.

Dan hasil tim penilai juga bukan ukuran. Sebab, hasil kemenangan lebih ditentukan oleh keberanian penerbit mematok harga terendah. Ancar-ancar harga biasanya diambil dari harga di toko buku atau harga tender per buku sebelumnya. Celakanya, plafon harga sudah bocor. Siapa yang membocorkan? Yang memegang plafon harga itu, ya, Depdiknas. Siapa yang mendapat bocoran? Sejumlah wajah lama selalu memenangi proyek ini dari tahap ke tahap.

Perihal "menang karena berani merendahkan harga" ini sudah jadi rahasia umum di kalangan penerbit. Sumber TEMPO di Penerbit Erlangga mengaku sudah mengendus indikasi korupsi-kolusi dari awal. "Yang paling elementer adalah proses penilaian yang tidak terbuka," ujarnya. Begitu pula tahap pascapenilaian. Syambari Munaf, sang penilai yang kecewa, menyodorkan contoh. Suatu ketika ia dan beberapa rekannya minta izin ke Depdiknas untuk melihat perbaikan buku fisika yang mereka usulkan di saat penilaian.

Permintaan itu ditolak dengan alasan "datanya ada di dalam komputer". Artinya apa? "Kami betul-betul hanya menilai. Dan kami dibayar tidak sedikit," ujarnya. (Biaya untuk seluruh proses penilaian buku mencapai Rp 32,8 miliar.) "Selebihnya, tanggung jawab penuh Pusbuk." Pusat Perbukuan Depdiknas memang amat berkuasa menentukan hitam-putihnya nasib sang buku, dan penerbit.

Mereka dengan enteng bisa mengumumkan kalah-menang penerbit tanpa disertai penjelasan apa pun tentang cacat buku-buku mereka. "Buku Anda kalah karena tidak cocok dengan Indonesia," kata salah satu pimpinan di Penerbit Erlangga. Ia juga mencontohkan buku fisika dari Erlangga, yang nilainya di atas 90 tapi kalah di soal harga. "Sedangkan buku fisika yang menang itu tipis sekali dan kurang komprehensif," ujarnya, penuh emosi. Jangan-jangan Erlangga cuma sakit hati? Bisa jadi.

Tapi, masih ada lagi cerita lebih seram, dan ini datang dari salah satu penerbit yang justru menang di tahap terakhir proyek Bank Dunia itu. "Penilaian itu tidak terlalu menentukan. Ibaratnya, legal formal saja. Indra Djati sudah memegang sebuah draf berisi daftar nama-nama pemenang. Para bintang proyek itu adalah sejumlah penerbit asal Bandung yang sama-sama urang awak (Padang), yang notabene kroni Indra," katanya. (Lihat: Para Penerbit Nakal.)

Dengan daftar nama di tangannya, Pak Dirjen tinggal minta persetujuan Menteri Pendidikan Yahya Muhaimin. Begitu Pak Menteri mengangguk dan membubuhkan paraf, nama-nama itu meluncur ke Bank Dunia. Penyandang dana itu akan memberikan persetujuan. Dan tender harga dibuka.

Sayang, arena tender harga juga tidak lepas dari kongkalikong pejabat-penerbit. Menurut Dirjen Pendidikan Dasar, Darmastuti, tender harga dibuka antara penerbit yang lolos dan Kanwil Depdiknas di setiap provinsi. Tapi yang terjadi adalah tim kanwil 27 provinsi (sebelum Tim-Tim memisahkan diri) disuruh datang ke Jakarta. Di Ibu Kota, para penerbit ini dipersilakan tawar-menawar harga dengan kanwil-kanwil. Tapi, sumber TEMPO di kalangan penerbit lagi-lagi memastikan bahwa proses di atas lebih banyak "pura-pura." Kok, bisa?

Bisa saja tatkala Indra Djati dan pejabat perbukuan punya pengaruh besar, merekalah yang menentukan proses bagi-bagi jatah (kanwil mana harus beli buku penerbit mana). Dan penentuan pimpro dengan restu Pak Dirjen. Dengan lain kata, yang terjadi bukanlah debat harga habis-habisan antara si kanwil dan sekian penerbit untuk memilih buku terbaik dengan harga paling langsing.

Benar begitu? "Sama sekali tidak. Proses penilaian ataupun tender berlangsung bersih, fair, dan transparan. Lagi pula, memangnya orang Bank Dunia di Washington sana bisa dipengaruhi oleh penilaian saya pribadi? Tidak masuk akal," Indra menjawab dengan suara keras.

Dengan suara sama kerasnya, Indra bicara dalam sebuah pertemuan pada pekan ketiga September lalu Di hadapan 24 penerbit peserta tender Proyek Buku Tahap IV, ia mengeluhkan permintaan Bank Dunia untuk menilai ulang semua buku peserta tender. Indra keberatan. "Pemerintah ingin tender ulang saja, bukan penilaian ulang," demikian kata satu peserta kepada TEMPO, menirukan pernyataan Indra. Penilaian ulang butuh uang tidak sedikit. Maka, keberatan Indra sungguh masuk akal.

Yang tidak masuk akal adalah ini: sang Dirjen-pada saat itu-meminta semua penerbit mendukungnya di hadapan Bank Dunia agar proyek ini jangan sampai mengalami tender ulang. Sebagai balas budi, ia minta tujuh penerbit membagi rata rezekinya kepada 17 penerbit yang kalah. Indra Djati belum berubah profesi menjadi pialang tender. Ia cuma sedang melukiskan sebuah ironi di atas kanvas dunia pendidikan anak-anak. Dan ucapan Kepala Pusat Perbukuan, Agam Suchad, tepat benar untuk menjadi kalimat pemikat gambar: "Jadi, siapa yang berkolusi: kami atau mereka?"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus