Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Rajin itu Pangkal Bodoh

Buku-buku pelajaran dari pemerintah mengandung banyak kesalahan, dikerjakan dengan serampangan, bermutu rendah, dan menularkan cacat pengetahuan yang serius. Sekitar 12 juta murid sekolah lanjutan pertama—terutama yang miskin—menjadi korbannya. Padahal, buku itu diterbitkan dengan biaya mahal. Dananya berasal dari pinjaman Bank Dunia dan APBN senilai Rp 1,4 triliun. Bagaimana itu bisa terjadi? Tim Investigasi TEMPO menemukan indikasi korupsi-kolusi antara para pejabat Departemen Pendidikan Nasional, yang menyelenggarakan proyek itu, dan para penerbit.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Siapa bilang rajin itu pangkal pandai? Berkutat dengan buku-buku sekolah justru bisa berakibat sebaliknya pada anak-anak Anda yang kini duduk di bangku sekolah lanjutan pertama: mereka tersesat dalam rimba ilmu. Terlebih jika mereka hanya belajar dari buku yang secara ironis disebut sebagai buku paket wajib oleh kementerian pendidikan negeri ini.

Dalam beberapa tahun terakhir, Departemen Pendidikan Nasional (dulu P & K) menerbitkan puluhan buku untuk setidaknya sembilan mata pelajaran—antara lain bahasa Indonesia, bahasa Inggris, fisika, matematika, dan geografi. Buku itu diterbitkan di bawah bendera mentereng: Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca. Dan dibiayai secara mahal pula, yakni sekitar Rp 1,4 triliun. Sebagian besar dana itu berasal dari pinjaman Bank Dunia. Selebihnya dari APBN—uang yang dikutip antara lain dari keringat rakyat.

Sialnya, sebagian buku itu mengandung banyak kesalahan elementer yang tidak saja membuat mutunya buruk, melainkan juga menyesatkan. Alih-alih mencerdaskan siswa, departemen itu sedang menjejalkan racun ke otak sekitar 12 juta siswa sekolah lanjutan pertama. Ironi yang berganda-ganda. Depdiknas menerbitkan buku sampah dan dengan dana yang sama pula mempromosikannya—bahkan mewajibkan anak-anak membacanya.

Soal ini merebak beberapa pekan terakhir setelah Bank Dunia menghentikan penerbitan dan peredaran buku untuk tahap IV (1999-2000) atau tahap terakhir dari kampanye ”minat baca” itu. Proyek itu ditunda karena Bank Dunia menemukan sejumlah keanehan dalam penentuan penerbit yang menang tender—bukan karena kualitas buku itu buruk.

Meski terutama dipicu oleh keluhan para penerbit yang kalah tender (yang jika menang mereka mungkin akan melakukan kesalahan fatal serupa), keriuhan baru dalam proyek buku itu lagi-lagi menyadarkan kita betapa runyamnya soal korupsi-kolusi di negeri ini. Kebrengsekan itu bahkan telah menggagahi ruang-ruang yang selama ini dianggap sakral—dunia pendidikan yang akan menentukan masa depan anak-anak dan bangsa ini.

Kebejatan dalam proyek buku itu sudah berlangsung lama. Sejak tahap pertama dijalankan, pada 1995. Praktek kongkalikong tender, mark-up, perkronian, dan semua jenis cara untuk melahap uang proyek berlangsung dengan merdeka. Hasilnya adalah buku-buku sampah tadi.

Buku bahasa Inggris yang diterbitkan Titian Ilmu, salah satu pemenang tender pertama itu, dihiasi parade kesalahan yang memalukan hampir pada setiap halaman buku. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro, yang namanya dikaitkan dengan si penerbit, kemudian menarik buku itu dari peredaran.

Begitulah, tahap demi tahap proyek berjalan seraya memunculkan racun demi racun. Tahap III, yang memunculkan buku matematika, adalah salah satu periode paling gelap bagi proyek ini. Kesalahan elementer di sana bukan lagi menyedihkan, tapi menyesatkan para siswa. ”Buku-buku ini ditulis dengan cara menjiplak dan mengandung sejumlah kesalahan fatal yang punya dampak buruk bagi siswa,” ujar seorang ahli matematika yang telah belasan tahun menekuni ilmu eksak ini.

Penasaran terhadap isi buku keluaran penerbit pemenang tender seperti Rosda Karya, Multi Trust, Cempaka Putih, dan Mizan, ahli matematika itu melakukan investigasi terhadap isi buku matematika yang lolos uji Depdiknas. Hasilnya? Ia menyimpulkan, penulisan buku itu dikerjakan secara keroyokan. Juri Olimpiade Fisika dan Matematika Yohanes Surya menyebut, penulisan buku matematika secara rombongan memang memudahkan munculnya kesalahan ketimbang mengerjakannya secara sendirian.

Empat penerbit di atas juga begitu kompak mempraktekkan ilmu jiplak materi pelajaran dari buku Wahyudin, seorang doktor matematika asal Bandung. Muchamad Nurdin, salah satu penulis buku matematika Rosda Karya, menolak tuduhan menjiplak. Tapi, mana mungkin jika beberapa bab persis dengan buku Wahyudin hingga ke titik-komanya, termasuk menjiplak kesalahan yang ada dalam buku Wahyudin yang terbit 1986? Nurdin tetap berkilah, ”Kan banyak penulis itu memang bekas murid Pak Wahyudin.”

Sialnya, berbagai kesalahan juga masih mewarnai buku dalam tahap terakhir yang ditunda peredarannya. Buku racun itu kini disimpan rapi di sebuah kantor Depdiknas, seperti layaknya barang pribadi yang keramat. Tapi TEMPO berhasil mendapatkannya—sebanyak 21 jilid salinan yang siap diterbitkan. Tim ahli TEMPO, yang diundang khusus untuk mengkajinya, masih menemukan sejumlah kesalahan serius di situ, seperti buku-buku yang lama.

Siapa yang bertanggung jawab? ”Saya tidak tahu proyek apa yang Anda sebutkan itu,” kata mantan Menteri P dan K Wardiman. (Amnesia! Proyek buku ini dimulai semasa Wardiman masih memimpin departemen itu).

Bawahan Wardiman, mantan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah Achmady, menyodorkan jawaban lebih sopan: ”Saya cuma pengambil kebijakan. Soal pelaksanaan, Anda tanya pemimpin proyek, dong.” Aksi cuci tangan dan menyepelekan soal serius ini juga dilakukan di tingkat lebih bawah. Darmastuti Soetrisno, pemimpin proyek buku Bank Dunia (1995-1998) mengatakan, ”Di dunia ini yang tidak salah hanyalah kitab suci.” Tapi, jika kesalahan itu menjadi racun bagi anak-anak? ”I’m not the one who suppose to answer your question,” ujarnya kalem. Merdeka.

Wardiman, Achmady, dan Darmastuti mungkin orang lama yang tidak pernah paham dengan tanggung jawab. Bagaimana dengan orang baru yang tampil setelah reformasi? ”Semua buku itu telah dinilai oleh para ahli berpengalaman, melalui proses tender yang fair,” kata Indra Djati Sidi, pengganti Achmady untuk posisi Dirjen Dikdasmen.

Jika penilaian telah dilakukan secara ketat, dan tender dilakukan secara fair, tapi masih ada kesalahan, hanya ada dua kemungkinan di situ. Pertama, tim ahli yang hebat itu bekerja serampangan. Atau, revisi yang disodorkan tim penilai dibiarkan sampai berdebu karena para pejabat memilih penerbit bukan berdasar kualitas melainkan pertemanan.

Menteri Pendidikan Nasional Yahya Muhaimin, Indra Djati, Darmastuti, Kepala Pusat Perbukuan Agam Suchad, dan Hartoyo Prabowo (pengganti Darmastuti) harus memastikan jawabannya. Namun, jangan harap Anda terpuaskan.

Bahkan Bank Dunia, pemberi utang, tidak merasa harus bertanggung jawab. ”Bank Dunia tidak punya wewenang. Komisi penilai buku adalah hak pemerintah Indonesia,” kata Samuel S. Lieberman, Country Sector Coordinator for Human Development di perwakilan Bank Dunia di Jakarta. Lieberman menekankan, Bank Dunia akan mengucurkan dana begitu Menteri Pendidikan menyatakan tender sudah berjalan terbuka dan penilaian sudah beres.

Menteri Yahya sendiri kepada TEMPO menyebutkan, ia mendengar tuduhan kolusi itu dari koran. Tapi ia yakin, seluruh proses dalam tender buku ini sudah berlangsung transparan. Seperti halnya Indra Djati dan Darmastuti, Yahya sepakat tudingan korupsi dan kolusi dalam proyek itu dilontarkan oleh barisan sakit hati yang kalah tender.

Pendapat ini juga diserukan oleh sejumlah penerbit Bandung seperti Syaefullah Sirin, bos Grup Grafindo yang disebut-sebut dekat dengan Indra Djati.

Syaefullah menyedot miliaran rupiah hasil tender melalui beberapa perusahaan—Multi Trust, Pribumi Mekar, Karya Kita, dan Grafindo sendiri. Syaefullah beripar dengan Rozali Usman, yang memimpin Grup Remaja Rosda Karya, penerbit yang bukan cuma mahir menjiplak materi buku matematika tapi juga punya posisi stabil sebagai pemenang proyek.

Wimpy Ibrahim, bos Multi Adiwiyata dan Mapan, juga sedikit dari penerbit yang kerap merajai proyek. Padahal, kedua perusahaannya tidak memiliki pengalaman menerbitkan buku sebelumnya, seperti disyaratkan Bank Dunia.

Menarik untuk bertanya kenapa persentase tersebar proyek ini–dari tahap ke tahap—jatuh ke dalam tangan trio Syaefullah Sirin, Rozali Usman, dan Wimpy Ibrahim, meski buku mereka mengandung sejumlah kesalahan.

Apa pun jawabannya, rakyat harus membayar mahal. Melalui APBN, mereka membiayai proyek itu. Mereka juga harus mencicil utang Bank Dunia. Namun, yang lebih menyakitkan: mereka justru membantu proses peracunan terhadap anak-anak mereka sendiri.

Segelintir siswa di sekolah kaya bisa menolak racun pengetahuan yang dialirkan Depdiknas dan para mitranya. Sekolah-sekolah kaya di Jakarta memajang buku itu di rak kenang-kenangan atau menumpuknya di gudang sekolah untuk makanan ngengat. Tapi jutaan anak di sekolah miskin tak punya pilihan lain kecuali menelan bulat-bulat apa yang ada di dalam buku itu.

Buku adalah kunci mutlak yang membuka tabir pengetahuan manusia. Dan India mungkin negeri yang layak kita contoh. Negara ”miskin” di Asia telah melahirkan pemenang-pemenang Nobel dengan membangun sebuah sistem perbukuan yang bisa dijangkau siapa saja. Begitu pula Malaysia. Di kawasan pertokoan buku kelas dua di Masjid India, Kuala Lumpur toke-toke India membuka toko setiap pukul 10.00 pagi dan memperlakukan gerai buku sekolah dengan rasa hormat: harga buku di bagian itu lebih murah. Tuan toko akan turun sendiri dari kursinya dan dengan sabar meladeni semua pertanyaan yang menyangkut buku-buku sekolah.

Jiran ini yang tadinya kita pandang enteng karena pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia, nyatanya telah berlari jauh di depan. Empat dasawarsa terakhir Malaysia menggenjot tradisi perbukuan dan pendidikan untuk menghasilkan masyarakat yang jauh lebih sadar buku.

Namun, rasa hormat kepada buku dan pengetahuan telah lama hilang dari negeri ini. Bahkan korupsi ternyata telah memerkosa alam sakral ini. Haruskah Depdiknas kini diubah namanya menjadi Departemen Pembodohan Nasional?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus