Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI guru, Subroto sudah banyak makan asam-garam. Laki-laki berkacamata tebal itu sudah mengajar matematika untuk sekolah lanjutan tingkat pertama SLTP) selama 38 tahun. Sehingga, mudah saja bagi Pak Broto—demikian murid-muridnya di SLTP Negeri 88 Jakarta Barat memanggilnya—mengenali kesalahan-kesalahan yang menggelikan di dalam buku paket wajib matematika dari Departemen Pendidikan Nasional. ”Salah satunya disebutkan bahwa sebuah bujur sangkar bisa menempati bingkainya sebanyak empat kali, padahal yang benar kan delapan kali,” kata Subroto.
Menurut Subroto, kesalahan-kesalahan yang ada dalam buku paket wajib matematika terbitan PT Remaja Rosda Karya itu sangatlah elementer. Selain itu, cara penyajiannya juga tidak menarik. Rumus-rumus penyelesaian dicampur dengan soal-soal, tanpa pembatas yang jelas. Bahkan para muridnya pun menandainya. ”Bukunya enggak asyik,” kata Anto, salah seorang murid kelas III, yang termasuk cerdas.
Tapi, Subroto tidak punya pilihan lain. Murid-murid sekolahnya harus menggunakan buku paket yang didrop oleh pemerintah karena SLTP 88 yang terletak di kawasan Slipi itu bukan sekolah orang kaya. Subroto tidak tega meminta murid-muridnya membeli lagi buku pelajaran matematika yang benar.
Untung, Subroto tidak kehilangan tanggung jawab. Dia menggunakan sebuah buku matematika lain sebagai pendamping buku paket wajib. Bila mengajar, Subroto membuka kedua buku itu, memberikan soal latihan yang lebih banyak dari buku paket wajib, sekaligus memberi trik untuk mempermudah menyelesaikan soal.
Sebenarnya, Subroto dan guru-guru lain di SLTP Negeri 88 sadar seratus persen bahwa buku paket matematika itu amburadul isinya. Pertama, buku terbitan Rosda Karya itu menjiplak buku-buku terbitan lain. Lebih parah lagi, hasil jiplakan itu salah. Lalu, Subroto menunjukkan halaman-halaman buku yang memuat kesalahan. ”Kalau para murid kacau gara-gara buku yang digunakan mengandung banyak kesalahan, siapa yang bertanggung jawab?” tutur Subroto dengan nada geram. Tapi, guru-guru tidak berani mempersoalkan kesalahan itu. Mereka takut terkena sanksi. Buku yang salah itu direkomendasikan dalam Garis Besar Pedoman Pengajaran, ”kitab suci” yang menjadi pegangan para guru.
SLTP Negeri 88 beruntung memiliki guru seperti Subroto, yang tidak saja sadar bahwa buku wajib dari pemerintah itu memiliki banyak kesalahan, tapi juga bijak dalam bertindak. Tapi, tidak mustahil bahwa banyak sekolah miskin tetap menggunakan buku-buku paket yang salah itu karena selain wajib, buku-buku itu juga gratis. Lebih sial lagi bila sekolah-sekolah miskin itu tidak punya guru dengan pengalaman dan dedikasi seperti Pak Broto. Para guru itu tidak sadar mereka sudah mengajarkan sesuatu yang salah.
Musibah seperti itu terjadi di SLTP Negeri 2 Sayati, Soreang, Kabupaten Bandung. Ratnaningsih, guru matematika kelas II sekolah itu, mengaku tidak tahu bahwa buku pegangan yang digunakan mengandung kesalahan. Tampak sekali kebingungan memancar dari wajah guru perempuan itu ketika wartawan TEMPO mengabarkan bahwa buku-buku paket tertentu memiliki materi salah. Memang, Ratna mengaku terkadang bingung melihat materi di dalam buku matematika, sehingga dia perlu mendiskusikannya dengan guru-guru lain. Tapi kemudian mereka memutuskan untuk berpedoman pada Garis Besar Pedoman Pengajaran dan mengambil buku kurikulum yang menjadi pegangan para guru.
Musibah tidak berhenti di situ. Para murid SLTP Soreang itu, yang sebagian besar adalah anak buruh pabrik, tampaknya juga tidak peduli dengan materi pelajaran mereka. ”Pelajaran matematika itu kan susah dan membingungkan. Jadi, mana saya tahu,” jawab salah seorang murid, Burhanudin, ketika ditanya apa tidak merasa ganjil dengan pelajaran matematika yang didapat.
Masalah buku paket dengan materi salah memang tidak menjadi persoalan di sekolah-sekolah yang mampu. Dengan mudah, guru-guru sekolah bisa meminta orang tua murid membeli buku lain yang jauh lebih bermutu, dan menyimpan buku jatah itu di lemari sekolah.
Sudjono, guru matematika SLTP Negeri 2 Condongcatur, Yogyakarta, sudah lama memutuskan menggunakan buku lain. ”Soal-soal yang diberikan buku wajib itu tidak runtut,” katanya. ”Kasihan anak-anak kalau harus mengerjakan soal tidak berdasar urutan dari mudah ke susah.”
Berapa banyak murid yang orang tuanya kaya? Berapa yang beruntung memiliki guru seperti Pak Broto? Bagi para murid sekolah miskin di berbagai pelosok negeri ini, buku-buku terbitan Departemen Pendidikan Nasional itu seperti menu yang wajib atau terpaksa dilahap, meski beracun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo