Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah perusahaan hutan dan perkebunan?yang dimiliki orang besar di Jakarta?tak hanya mencabik kenangan masa kecil Leuang, tapi juga membuat desanya kiamat. Tahun lalu, sebuah kebakaran yang bersumber dari perusahaan itu merembet ke Matalibaq, memusnahkan hampir apa saja: hewan perburuan, ladang, tanaman, buah-buahan hutan, rumah-rumah panjang, dan?yang terpenting?makam keramat nenek moyangnya.
Desa tempat Leuang?nama aslinya sengaja disamarkan, dilahirkan 38 tahun lalu?bertengger di hulu Sungai Kapuas, Kalimantan Timur. Matalibaq namanya. Sekitar 600 orang suku Dayak menjadi penghuninya. Orang-orang Jakarta harus menempuh perjalanan seharian suntuk dari Samarinda untuk mencapai kawasan ini. "Mereka telah mengambil kayu meranti dan kayu kapur dari hutan kami. Sekarang, mereka masih juga menghancurkan dunia kami," kata Leuang kepada TEMPO di Samarinda, dua pekan silam. "Mereka membunuh kami pelan-pelan."
Matalibaq hanya satu saja dari dunia yang nyaris punah milik suku Dayak Kalimantan. Kebakaran hebat yang melanda hutan-hutan Indonesia pada 1997 dan 1998 lalu, menurut pengindraan satelit dari GTZ-IFFM Jerman, mencakar-cakar kawasan seluas 10 juta hektare itu. Dan Kalimantan adalah korbannya yang paling parah. Lebih dari 60 persen kebakaran terjadi di pulau terbesar ketiga di dunia (setelah Greenland dan New Guinea) yang luasnya 750 ribu kilometer persegi itu. Kepulan asapnya saja selama berminggu-minggu membuat kegemparan internasional. Kabut tebal menyelimuti kawasan itu serta menyiksa 70 juta manusia. Kerugian besar tak hanya diderita Indonesia, melainkan juga Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam.
Kebakaran hutan itu merupakan salah satu bencana lingkungan terburuk dalam 20 tahun terakhir ini. Menurut perkiraan WWF (World Wild Fund), sebuah yayasan lingkungan hidup terkemuka di dunia, bersama Canadian IDRC's Economic and Environmental Project in South East Asia (EEPSEA), nilai kerugiannya mencapai US$ 4,45 miliar (lihat Tabel Kerugian). Angka ini hampir sama dengan total kerugian akibat tragedi Bhopal (akibat bocornya instalasi pabrik Union Carbide di India pada 1984) dan Exxon Valdez (tumpahnya jutan ton minyak dari sebuah tanker di Alaska, Amerika Serikat, pada 1989). Atau, sama dengan sekitar 2,5 persen GNP Indonesia sebelum krismon.
Tentu saja, ini jika bencana itu bisa dikuantifikasikan. Habitat flora-fauna dan kekayaan hayati yang musnah dari kebakaran itu sangat tak ternilai. Sekitar 40 persen dari titik-titik kebakaran di Kalimantan terjadi di habibat kera bekantan dan orangutan liar yang langka. Belum lagi pemendekan umur manusia yang sakit akibat deraan asap. Bukankah hutan tropis Indonesia merupakan salah satu yang paling kaya di dunia, sehingga benar-benar membuat negeri ini layak menjadi zamrud katulistiwa?
"Mutiara hijau" itu kini mulai berkeping-keping. Siapa bertanggung jawab? Banyak pejabat Indonesia, termasuk mantan presiden Soeharto, menuding bahwa alam bertanggung jawab atas dirinya sendiri. Mereka menyebut fenomena alam El Nino?arus panas yang menebar kemarau panjang?sebagai biangnya. Benarkah?
Meski yang terjadi tahun lalu memang tergolong dahsyat, toh El Nino bukan gejala alam baru. Ini terjadi secara periodik dua hingga tujuh tahun sekali. Dan, jika hanya itu, kenapa hutan-hutan lebat di Sulawesi dan Irian Jaya tidak terbakar sama parahnya? Para pakar menyimpulkan: kebakaran hutan Indonesia disebabkan oleh faktor-faktor alam dan manusia yang saling berkait.
Suku Dayak memang secara tradisional membuka ladang dengan membakar, seperti diakui oleh Leuang. Naskah-naskah tertulis dari abad lalu dan dongeng-dongeng yang dituturkan turun-temurun memang menegaskan bahwa kebakaran hutan bukan soal baru. Tapi, kenyataan bahwa hutan-hutan itu masih perawan hingga beberapa dekade lalu menunjukkan bahwa bukanlah alam dan pembakaran oleh suku Dayak yang menyebabkan penggundulan hutan di masa lalu.
Manusia-manusia barulah?para perambah hutan profesional itu?dengan ketamakannya yang mengganas, yang membuat kebakaran hutan Kalimantan kini begitu genting. Pemanfaatan lahan dan sumber daya hutan secara komersial sangat terbatas pada dasawarsa 1950, tapi berubah dramatis sejak rezim Orde Baru berkuasa pada 1966. Soeharto memberikan konsesi hutan jutaan hektare kepada segelintir pengusaha, terutama di Sumatra dan Kalimantan (lihat Tabel Raja Hutan).
Dasawarsa 1990 adalah era pasang naik usaha perkebunan?yang mengubah lanskap dua pulau itu kian dramatis. Juga mengubah hidup orang-orang seperti Leuang. Banyak konglomerat menyerbu. Anthony Salim adalah salah satunya, yang memiliki lahan perkebunan seluas 1,3 juta hektare. Perusahaan dan yayasan milik Angkatan Darat, seperti Kartika Eka Paksi pun, yang juga banyak menerima konsesi HPH (hak pengusahaan hutan), belakangan membuka lahan-lahan perkebunan, antara lain lewat perusahaan bernama ITCI (International Timber Corp Indonesia) Hutani Manunggal?yang sebagian sahamnya dimiliki tentara.
Seperti dalam konsesi HPH, banyak perkebunan dimiliki oleh kroni-kroni Soeharto, baik sipil maupun militer. Di samping Salim, masuk juga Prajogo Pangestu. Pada 1992, pemilik Barito Pacific Group ini mengirimkan PT Anangga Pundinusa untuk membuka hutan tanaman industri dan perkebunan tak jauh dari Matalibaq, si desa yang malang. "Enam tahun kami punya persoalan dengan perusahaan itu," kata Leuang. Dan puncaknya adalah kebakaran yang nyaris memusnahkan desanya.
Seperti pada kasus HPH, perkebunan menciptakan daftar panjang masalah lingkungan dan sosial, termasuk sebagai sumber utama risiko kebakaran. Ini tertuang dalam laporan WWF yang terbit Mei lalu, berjudul "Indonesia on Fire ? A Drama in Two Acts". Perusahaan perkebunan dan kontraktor yang disewa menggunakan cara tunggal dalam menyiapkan lahan (land-clearing): membakar?meski sebenarnya terlarang. "Skala pembakaran tumbuh secara eksponensial pada dasawarsa 1990 bersama meluasnya lahan perkebunan."
Dari penelitian lapangan dan wawancara dengan sejumlah pelaku pembakaran serta saksi, sebuah lembaga swadaya masyarakat membuat laporan yang mencengangkan. Dalam laporan itu disebutkan beberapa perusahaan yang layak dicurigai secara sengaja melakukan pembakaran dengan motif keuntungan. Antara lain: PT Surya Hutani Jaya milik Barito Pacific Group, PT Gelora Mahapala milik London Sumatra Group, dan PT ITCI Hutani Manunggal milik ITCI Group (lihat Kesaksian Para Pembakar).
Skandal seperti itu juga menjadi santapan media asing, terutama di Amerika Serikat, salah satu negeri yang para pembayar pajaknya ikut membiayai ongkos pemadaman hutan Kalimantan. Dalam edisi November lalu, majalah investigasi Amerika, Mother Jones, mengungkapkan bukti baru. Yakni, salinan kontrak antara perusahaan perkebunan GPI Pratama, produsen kelapa sawit, dan CV Alam Lestari yang disewa untuk menyiapkan lahan perkebunan seluas 1.000 hektare. Dalam kontrak, jelas disebutkan perintah menebang, mencabut, menimbun, dan membakar, sesuai yang diminta oleh pihak manajemen.
"Ini sungguh terjadi, bahkan lazim saja dilakukan," begitu menurut Jusuf Hamka, bekas pemilik HPH Dayak Besar?yang kemudian diambil alih Bob Hasan. Ia menyebutkan tiga motif di balik pembakaran hutan "hidup" itu. Pertama, untuk membersihkan lahan. Cara membakar memang sering dipilih pengusaha maupun BUMN Inhutani karena paling murah. Dengan mekanisasi, biaya pembersihan lahan hingga tanam mencapai Rp 2,6 juta per hektare. Kalau dibakar, paling-paling cuma Rp 800 ribu per hektare.
Motif kedua, mencari keuntungan. Misalnya, orang yang ingin mendapat dana reboisasi mengajukan proposal untuk reboisasi yang sudah ia kerjakan sebanyak 80 ribu hektare. Padahal, dia hanya menanami lahan seluas 10 ribu hektare. "Apa akal bila tiba-tiba ada pemeriksaan? Ya, membakar hutan." Ada pula perusahaan HPH yang ingin terbebas dari kewajiban kepada kreditur dengan buru-buru membakar hutan, sehingga bisa mengemplang utang dengan alasan force majeure (halangan di luar dugaan).
Motif ketiga, sudah mirip-mirip adegan film: menghapus jejak. Misalnya, seorang pengusaha mendapat izin menebang hutan hanya seluas tertentu. Karena ingin lebih untung, ia menebang melebihi jatahnya. "Agar ulahnya tak diketahui, dibakarlah hutan tersebut," kata Jusuf, tanpa tedeng-aling-aling. Semua motif bermuara pada satu hal: keserakahan. Leuang dari Desa Matalibaq terbiasa benar dengan nafsu manusia pendatang itu. "PT Anangga telah mengambil dan mencuri ribuan kubik kayu di luar kawasan haknya," katanya. "Jangan dikira kami bodoh. Kami juga menghitung apa saja yang mereka curi. Kami juga tahu bagaimana mereka menghalangi tim pemeriksa dari Jakarta."
Leuang yakin jika protesnya ini direstui oleh para arwah leluhurnya?yang makamnya musnah oleh kebakaran. Ia bahkan bersumpah mengambil kembali apa yang dicuri. Bersama kawan-kawan sesukunya, Leuang menuntut Anangga mengganti rugi Rp 900 juta untuk perbaikan desa dan Rp 3 miliar untuk pelanggaran hak ulayat. Itu jumlah yang tak seberapa dibandingkan dengan keuntungan bersih Barito Pacific Timber Group sekitar Rp 1 triliun pada 1997.
Gugatan serupa juga muncul ke permukaan, meski dengan hasil yang masih amat samar-samar karena kasusnya masih disidangkan. Salah satunya, diajukan oleh 106 anggota masyarakat Dayak Samihim, Kotabaru, Kalimantan Selatan, kepada tujuh perusahaan di bawah manajemen Indo Agri Inti Plantation milik Salim Group. Dasar gugatan: pembakaran hutan.
Amin Aryoso, pengacara ketujuh perusahaan ini, menyangkal keras tuduhan pembakaran yang dilakukan kliennya. "Di lokasi kebakaran ada kebun kelapa sawit yang sudah berusia empat tahun. Masa, perusahaan mau membakar kebunnya sendiri. Dasar gugatannya tidak rasional," kata pengacara yang juga pernah menangani kasus "dana revolusi" (Soebandrio) itu. Ia yakin kliennya akan menang karena melihat gugatan itu punya "kelemahan fatal", termasuk hasil pengindraan satelit. "Taruhlah gambar-gambar itu benar. Tapi, apakah bisa dibuktikan bahwa yang melakukan pembakaran adalah klien kami," katanya.
Martin Hardiono dan Rezal Ashary, yang merancang GIS (geographical information system) untuk Bapedal, mengakui kelemahan data satelit. "Pengindraan jarak jauh ini sulit untuk melahirkan bukti-bukti yang jitu karena kuncinya ada di lapangan," kata Martin. Dan itulah kendala besar bagi lembaga-lembaga seperti Walhi (Wahana Lingkungan Hidup) maupun YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), yang mewakili orang-orang terdesak seperti Leuang, jika menggugat.
Meski begitu, dengan melakukan pemantauan jangka panjang dan mengaitkan data-data lain, Martin punya alasan kuat untuk mencurigai kesengajaan perusahaan-perusahaan besar. "Jika titik api yang kami pantau terus berada di peta dalam jangka waktu lama, dua bulan misalnya, artinya jelas tidak ada upaya pemadaman. Itu bisa menjadi indikasi kuat kesengajaan," katanya. Juga fakta bahwa titik-titik api terletak pada kawasan perusahaan yang tak jauh dari jalan atau sungai yang mudah dicapai. Artinya, tidak di tengah rimba yang tanpa penghuni.
Indikasi yang kuat itu pula yang pada September 1997 tampaknya membuat mantan Menteri Kehutanan Djamaluddin berani mengumumkan nama 176 perusahaan perkebunan, pemegang HPH, dan kontraktor land-clearing yang dicurigai melakukan pembakaran secara sengaja di kawasannya. Sang Menteri mengancam akan mencabut izin mereka.
Pada Januari 1998, Komandan Korps Reserse Mabes Polri, Mayjen Drs. Pol. Nurfaizi?kini Kapolda Jawa Tengah?melayangkan tiga helai surat ke kantor Kapolri, Jenderal Pol. Drs. Dibyo Widodo. Dalam surat itu disebut-sebut sejumlah perusahaan yang berdosa memerkosa hutan Kalimantan. Mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup, Sarwono Kusumaatmadja, bahkan mengaku "menangkap basah" perusahaan yang membakar (lihat Wawancara Sarwono).
Hasilnya? Hanya lima perusahaan HPH yang dicabut izinnya. Data Kepolisian RI per Desember 1998 menunjukkan, 26 dari 27 perusahaan yang tersangkut perkara pembakaran hutan "belum selesai disidik". Akan halnya temuan Sarwono, "tak ada tindak lanjut penyidikan dari kepolisian."
Begitulah, kasus kebakaran hutan tersesat di tengah rimba hukum Indonesia yang kental dengan praktek korupsi dan kolusi. Di samping para kroni besar Soeharto, banyak yayasan polisi dan Angkatan Darat terlibat dalam bisnis hutan itu. "Jadi, bagaimana polisi mau menyidik perusahaan miliknya sendiri?" kata Martin Hardiono. "Tak ada lagi hasrat aparat kepolisian, kejaksaan, dan pemda, untuk menggugat pihak yang diduga terlibat pembakaran," ujar Abrianto Amin, Direktur Eksekutif Walhi.
Tak adakah harapan bagi Leuang?juga seluruh rakyat negeri ini?untuk menebus surganya yang hilang? Dalam kesimpulan laporannya, WWF mengharapkan bahwa turunnya Soeharto akan menandai kecenderungan ke arah manajemen kehutanan yang lebih bertanggung jawab di Indonesia. Jika ini terjadi, impian Leuang agar masyarakat Matalibaq bisa "meneruskan" hidupnya, tidak berlebihan. Dan, barangkali, sekaligus mengembalikan kenangan kecilnya dalam dunia baru yang nyata. Meski tak bakal seindah wujud aslinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo