Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak tahan serbuan bara, sebagian warga lalu mengungsi. "Mereka menyebar mencari penghidupan ke desa-desa yang jauh," kata Ding Kueng, Kepala Adat Matalibaq. Padahal, selama entah berapa generasi, mereka terjalin dalam ikatan primordial yang erat. Hampir semua penduduknya keturunan suku Dayak Bahau Telivaq dan beragama Katolik. Apa boleh buat, memang, akibat tragedi lingkungan tersebut, kehidupan Matalibaq yang penuh warna itu kini terasa hambar.
Damar, rotan, dan akar mit tak ada lagi di hutan sekitar. Suara enggang?burung keramat yang mengilhami seni kerajinan dan arsitektur tradisional suku Dayak?juga hilang begitu saja. Ding Kueng, 60 tahun, ikut pula merasakan pahitnya. Ia kini susah mempraktekkan keahliannya?warisan sang ayah?meramu obat dari daun dan akar pohon. Semua bahan ramuan berkhasiat itu kini terbawa pergi oleh api.
Ding masih ingat betapa pagi itu api mulai menyeberangi ladang penduduk saat ia sedang menulis surat teguran kepada PT Anangga Pundi Nusa. Ini sebuah perusahaan hutan tanaman industri (HTI) trasmigrasi, anak perusahaan PT Barito Pacific Timber, yang dikontrol konglomerat Prajogo Pangestu. Ding meminta perusahaan itu agar api yang berasal dari lahan mereka dipadamkan. Itulah surat teguran yang kesekian dari lembaga adat setempat kepada PT Anangga.
Kepala Desa Satuan Penduduk II HTI Trans mengaku bahwa api sulutan perusahaan itulah yang menyebabkan kebakaran. Rasa bersalah itu membuat mereka ikut memadamkan api dan membangun kembali rumah adat yang terbakar. Sebetulnya, jilatan api Anangga bukan soal baru. Tiap tahun ada saja percik dan jalaran yang mencemaskan penduduk desa. Namun, kadar api pada Oktober 1997 itu terlalu besar. Akibatnya, 15 lumbung padi beserta bakul, tikar, dan lanjung untuk menggarap jekau (ladang sekunder yang sudah ditanami) habis dimakan api. Juga perkebunan warisan nenek moyang, kuburan, rumah adat, dan pondok ladang tempat menjaga kebun.
Sejak saat itu, penduduk berpencar menuju ke hulu Sungai Mahakam dan muara Sungai Ratah, tempat emas mungkin masih bisa didulang. Yang bertahan di desa hidup sebagai pengumpul rumput telunjuk langit, yang konon dipakai sebagai obat penyakit dalam. "Hidup kami sangat susah karena hasil panen tidak berhasil, kemarau belum juga usai, sementara hutan perburuan kini harus ditempuh dalam dua hari perjalanan," kata Ding yang kini bertani itu.
Pelanduk, kijang, babi, dan ular tidak lagi terlihat di hutan itu. Pohon-pohon yang tersisa pun menjadi sangat menakutkan karena bisa roboh kapan saja oleh angin. Soal lain adalah anak-anak yang putus sekolah karena tak ada lagi hasil ladang yang bisa disulap menjadi biaya sekolah. Jumlah anak SMP dan SMA di desa itu dan sekitarnya yang berhenti sekolah sejak Oktober lalu lebih dari 50 persen. Dari bangku sekolah, mereka pergi ke ladang, mengukir, atau sesekali menganyam lampit (tikar).
Dewan Adat Matalibaq meminta ganti rugi kepada Anangga. Besarnya Rp 900 juta untuk perbaikan desa dan Rp 3 miliar untuk pelanggaran hak ulayat. Pihak Anangga menawarkan Rp 200 juta?tentu saja ditolak Ding Kueng dan kawan-kawan. Sengketa ganti rugi itu masih berlangsung sampai tulisan ini diturunkan. "Kami tidak akan mundur dari jumlah tuntutan itu," Ding Kueng menegaskan.
Uang itu memang dapat digunakan untuk membenahi desa?kecuali menghidupkan Lahae Ajang atau mengembalikan seisi hutan yang melingkungi desa di tepian Sungai Pariq itu. Andai orang mau mendengarkan surat-surat Ding Kueng.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo