Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bencana ini berawal dari keinginan sejumlah pemuda untuk mereguk kenikmatan seksual. Mereka beranggapan kenikmatan akan makin meningkat bila ukuran "burung" makin besar. Ketika ada tawaran untuk itu, berbondong-bondong pemuda menyambutnya.
Peminat suntik tak hanya orang-orang berpendidikan rendah atau buta huruf, tapi juga para sarjana dan mereka yang sudah berkeluarga. Data yang dihimpun TEMPO dari Timika menyebutkan, pengguna cairan yang disuntikkan ke alat kelamin ini antara lain karyawan perusahaan pertambangan raksasa PT Freeport Indonesia, anggota ABRI, dan karyawan pelabuhan laut (Portside).
Menurut Rudy, salah seorang karyawan Freeport yang sudah ngebet ingin memperbesar kaliber "senjata"-nya, ia mendapat cairan suntik dari sesama karyawan Freeport. Bersama kawan-kawannya, Rudy lalu meminta tolong seorang petugas kesehatan (mantri) dari Rumah Sakit Umum Timika yang tak ia ketahui namanya. Untuk satu kali suntikan ia membayar Rp 75 ribu.
Seminggu setelah disuntik, pemuda berusia 28 tahun itu mengaku alatnya memang menjadi lebih besar dan perkasa. Dan cerita "sukses" semacam ini rupanya diakui pula beberapa pengguna lain. Misalnya Uddin, Hendrik, dan Rinus?beberapa tukang ojek di Timika?yang mengaku mendapat kenikmatan setelah disuntik. Tak mengherankan, keampuhan obat ini pun cepat beredar dari mulut ke mulut hingga menyebar ke anak muda lain yang kemudian ikut-ikutan menyuntikkan diri.
Sialnya, mereka bukannya mereguk kenikmatan, malah mendapat kesengsaraan. Mulanya mereka memang mengalami hal seperti Rudy. Tapi lama-lama terasa gatal dan setelah digaruk muncul luka kecil, lalu menjelma menjadi borok mirip kudis. Karena malu, mereka enggan berobat. Baru setelah kondisinya makin parah, mereka terpaksa dilarikan ke Public Health and Malaria Control (PHMC) PT Freeport di Tembagapura. "Saya hanya disuntik dengan dosis kecil. Tapi teman-teman lain dosisnya cukup besar sehingga alat kelaminnya luka,'' ujar Rudi.
Menurut Direktur PHMC Freeport, Dokter Kunto Rahardjo, sejak November hingga Desember 1998 ini, sudah ada 39 korban yang menderita luka-luka pada alat kelaminnya. Borok itu disebabkan cairan suntik berwarna kuning mirip minyak goreng. Dengan cairan itu, menurut Kunto, sebenarnya bukan alat kelamin yang membesar tapi kulitnya saja. Cuma ia belum tahu persis apa isi kandungan cairan itu, yang sudah dikirim ke laboratorium di Jakarta untuk diteliti.
Para korban biasanya mendapat injeksi 1--9 cc. Satu korban rata-rata mendapat dua sampai tiga kali suntikan. Tapi baru setelah dua atau tiga hari kemudian ada reaksi. "Cairan itu seperti minyak yang masuk ke dalam tubuh. Tapi, ketika bertemu dengan darah, langsung terjadi reaksi, karena cairan itu ditolak," kata Kunto. Itu sebabnya, katanya, pada minggu ketiga atau keempat muncul luka kecil di alat kelamin.
Untuk menolong para korban suntikan yang agak parah, dilakukan pembedahan. Jaringan dalam kelamin yang rusak dikeluarkan. Tapi akibatnya "senjata" yang dioperasi itu jadi lebih pendek dan tidak dapat berproduksi lagi dengan baik, karena jaringan di dalamnya sudah rusak.
Ada dua pasien kiriman dari Puskesmas Timika yang harus dipotong habis alat kelaminnya. Sedangkan yang alat kelaminnya terluka "hanya" dibedah dan dikeruk. Tapi, "Mereka tidak bisa berhubungan seks lagi seumur hidup,'' kata Dokter Nurland Silitonga, Kepala Puskesmas Timika.
Wicaksono (Jakarta), Kristian Ansaka (Jayapura)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo