Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Investigasi

Terengah Menangkal yang Radikal

Mahasiswa di Jawa dan Sulawesi terpapar paham radikalisme berbasis agama. Menyasar anak muda dan kaum intelektual.

27 Mei 2018 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA pelantang suara itu hanya terpisah lima meter. Secara bersamaan, kedua loudspeaker seukuran minikompo itu mengeluarkan suara dengan volume penuh di kompleks unit kegiatan mahasiswa (UKM) Institut Teknologi Bandung. Loudspeaker dari UKM Harmoni Amal Titian Ilmu (HATI) memperdengarkan orang berdiskusi, sementara pelantang suara UKM band mengeluarkan bunyi instrumen gitar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dua suara yang bersahutan itu meramaikan kampus ITB di Jalan Ganesha 7, Bandung, pada Kamis malam tiga pekan lalu. Tak ada mahasiswa yang mendatangi kelompok mahasiswa lain untuk meminta mengecilkan volume suara. Seorang mahasiswa dari ruang UKM HATI yang memulai diskusi setelah lagu-lagu rock mengalun dari ruang band memilih memutar volume untuk mengimbangi suara lagu-lagu grup band Dewa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari itu ada enam mahasiswa yang duduk melingkar di ruang UKM HATI seukuran 2 x 3 meter. Dari suara di loudspeaker, terdengar mereka tengah membahas sosok ilmuwan Andalusia, Spanyol, Abbas Ibnu Firnas (810-887), yang disebut-sebut sebagai ilmuwan muslim penemu konsep pesawat terbang. "Muslim yang menemukan pesawat, tapi industri dirgantara malah dikuasai Barat," kata penceramah, lindap di antara bunyi gitar.

Dari diskusi soal pesawat, pembicaraan selama sekitar satu jam yang dimulai setelah magrib pukul 18.30 itu merembet ke urusan radikalisme. Penceramah mengatakan ilmuwan muslim tak memakai temuan pesawatnya untuk menjadi teroris. "Muslim tidak menyalahgunakan ilmu itu," ujarnya.

Kalimat mahasiswa itu terdengar seperti apologia. Di ITB, HATI masuk radar kampus karena diduga terafiliasi dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), terutama setelah pemerintah menyatakan organisasi yang berdiri sejak 1982 ini organisasi terlarang karena menyerukan pembentukan Khilafah Islamiyah-pemerintahan pan-Islamisme yang meleburkan batas negara yang dipimpin seorang khalifah di tingkat dunia.

HATI kini beranggotakan 59 mahasiswa. Rektorat ITB sempat hendak membekukan kegiatannya pada 2017 setelah dua kali menegur pengurusnya karena mendatangkan pembicara dari HTI Jawa Barat dan mendiskusikan pentingnya pemerintahan khilafah. "Dari situ kami menduga mereka berafiliasi ke HTI," kata Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan ITB Bermawi Priyatna, Rabu pekan lalu.

Priagung Satyagama, Ketua HATI ITB, membantah tuduhan Bermawi bahwa organisasinya berhubungan dengan HTI ataupun afiliasinya. "Kami independen," ujarnya. Ia mencoba membuktikannya dengan menunjukkan lambang HATI yang sama sekali berbeda dengan HTI. "Background lambang UKM kami itu bendera Rasulullah, tak ada hubungan sama sekali dengan HTI," kata mahasiswa tingkat II Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB ini.

Klaim Priagung dibantah anggotanya sendiri. Seorang mahasiswa Teknik Kelautan yang biasa disapa Samsul mengaku masih aktif di HATI. Ia bercerita bahwa di UKM ini para seniornya mengajarkan menjadi muslim yang kaffah merujuk pada 13 buku pedoman yang diterbitkan HTI. "Buku pertama tentang syariah," ujarnya.

Samsul masuk ke HATI karena diajak kakak kelasnya di sekolah menengah atas di Kediri, Jawa Timur, yang sudah menjadi pengurus HATI. Setelah itu, ia menclok di beberapa mentor yang mengajarkan pelbagai ajaran Islam sesuai dengan tingkatannya. Banyak hal yang diajarkan dalam setiap pengajian: dari soal tauhid hingga demokrasi, dari soal pergaulan hingga cara-cara menguasai badan eksekutif mahasiswa untuk meluaskan syiar HATI.

Ujung pembicaraan dari setiap masalah yang mereka bedah, kata Samsul, selalu berakhir pada sistem Khilafah Islamiyah. Mereka selalu menekankan bahwa Islam adalah ajaran Tuhan yang komplet sehingga tak perlu lagi hukum buatan manusia, seperti Pancasila atau demokrasi. Cara menentangnya adalah dengan berdemo. "Itu bentuk amaliyah kita menegakkan hukum Tuhan," katanya.

Di Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, HTI tak lagi memakai UKM untuk menyebarkan ajarannya kepada mahasiswa. Mereka membuka kajian langsung dengan mendatangkan pembicara yang diikuti mahasiswa. Salah satu mahasiswa yang aktif adalah Fathullah Syahrul. "Saya sering mengikuti kajian HTI saat semester III dan IV," ujarnya.

Dosennya sendiri yang mengajaknya masuk HTI. Fathullah menyetujui ajakan itu karena ingin memperdalam pengetahuan tentang Islam. Setelah kuliah pada 2014, ia kian rajin ikut kajian yang digelar HTI. Diskusi di masjid kampus diadakan dua kali dalam sepekan. Sekali diskusi, pesertanya rata-rata 5-10 orang.

Selain membahas akidah dan soal-soal ketauhidan, di UIN Alauddin, tema diskusi HTI lebih terang, yakni membahas kedudukan Pancasila dan demokrasi dalam politik Islam. "Kajiannya menolak tegas keduanya karena itu sistem buatan manusia non-Islam," kata Fathullah, yang studi di Jurusan Ilmu Politik. Menurut dia, diskusi seputar politik mulai berkurang setelah pemerintah membekukan HTI tahun lalu.

Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UIN Alauddin Makassar Siti Aisyah mengaku tak tahu bahwa ada rekrutmen HTI secara sembunyi-sembunyi di kampusnya. Ia juga tidak mendeteksi adanya kajian anti-Pancasila dalam diskusi yang digelar mahasiswanya. "Kajian boleh saja, tapi yang mengarah ke eksklusivitas harus diantisipasi," ujarnya.

Fathullah kini lebih banyak berkonsentrasi ke skripsi. Pembekuan HTI oleh pemerintah juga menyurutkan ajakan dari para seniornya untuk ikut pengajian di masjid. Anggota-anggota pengajian HTI kini melebur ke dalam organisasi Gema Pembebasan. "Cara merekrut anggota baru tidak lagi lewat seminar, tapi melalui teman dan keluarga," kata Fathullah.

Gema Pembebasan juga organisasi ekstra-kampus yang masuk daftar organisasi kampus radikal oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Organisasi itu ada di kampus-kampus besar, seperti ITB, Universitas Indonesia, dan UIN. Priagung Satyagama menyangkal ada anggota HATI yang sekaligus anggota Gema. "Dulu mungkin ada, tapi sekarang setahu saya tidak ada lagi," ujarnya.

BNPT mensinyalir semua kampus negeri di Jawa dan Sulawesi terpapar paham radikalisme berbasis agama. "Walaupun kadarnya beda-beda, semua sudah kena," kata Direktur Jenderal Pencegahan BNPT Brigadir Jenderal Hamli.

Temuan BNPT sejalan dengan survei Badan Intelijen Negara yang dirilis April lalu. Dari 20 perguruan tinggi yang disurvei di 15 provinsi selama 2017, sebanyak 39 persen mahasiswa antidemokrasi dan tak setuju Pancasila sebagai dasar negara Indonesia. "Sekitar 23 persen setuju bentuk negara Islam," ujar Direktur Komunikasi dan Informasi BIN Wawan Purwanto.

Menurut Hamli, data itu merupakan akumulasi masuknya paham radikalisme ke kampus sejak 30 tahun lalu. Selain UI, ITB, dan UIN Alauddin, kampus yang paling parah paparan radikalismenya adalah Institut Pertanian Bogor. Kampus negeri ini merupakan rumah lahir Hizbut Tahrir Indonesia pada 1982.

Adalah Abdurrahman al-Baghdadi, anggota Hizbut Tahrir Australia, yang datang ke Masjid Al-Ghifari karena berkenalan dengan Abdullah bin Nuh, kiai besar di Bogor. Abdullah berkenalan dengan Abdurrahman karena anaknya bersekolah di Sydney. Abdullah lalu mengajak Abdurrahman ke Bogor.

Karena Hizbut Tahrir merupakan organisasi lintas negara, di IPB wujudnya organisasi kampus yang diberi nama Badan Kerohanian Islam Mahasiswa. Di situs resmi organisasi ini, BKIM menyebut diri sebagai organisasi dakwah untuk menjadikan muslim taat kepada syariat Allah.

Seperti di kampus lain, BKIM merekrut anggotanya dengan menyasar mahasiswa baru. Para pengurus organisasi menawarkan tempat tinggal bagi mahasiswa baru yang umumnya berasal dari daerah karena lolos lewat jalur undangan siswa peringkat atas di SMA. Di tempat kos yang menjadi markas BKIM itu, kajian tentang Khilafah Islamiyah digeber. "Dulu memang ujungnya selalu khilafah," kata Ainuz Zaim, Ketua BKIM sejak awal 2018.

Ainuz tak menyangkal BKIM identik dengan HTI, terutama setelah Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus 2016 di IPB, ketika pesertanya mengucap sumpah mendukung syariat Islam. Setelah HTI dibubarkan dan kampus memperingatkan mereka, kata dia, BKIM mulai melunak. "Kajian-kajian kami tak lagi eksklusif," ujarnya.

Wakil Rektor Bidang Pendidikan IPB Drajat Martianto mengatakan rektorat melangkah lebih jauh untuk mencegah radikalisme di kampus. Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus 2016 menampar IPB karena video sumpah setia mahasiswa kepada syariat Islam menyebar lewat Internet. Untuk mengimbangi paham radikalisme, IPB akan membangun Asrama Kepemimpinan.

Asrama ini rencananya dipakai untuk menampung para ketua organisasi siswa intra-sekolah (OSIS) dari semua SMA di Indonesia yang mendaftar ke IPB. Rektor Arif Satria membuat program menerima ketua OSIS masuk IPB tanpa tes mulai tahun ini. "Asrama Kepemimpinan untuk mendidik mahasiswa menjadi pemimpin yang cinta Pancasila," ujar Drajat.

Sementara di IPB sudah berkurang, di Universitas Indonesia kajian agama yang digelar Hizbut Tahrir masih marak. "Di sini sangat terbuka, meskipun pengurusnya sangat hati-hati setelah pemerintah membubarkan HTI," kata Putri Gita, mahasiswa Ilmu Politik, yang masih ikut kajian organisasi itu.

Menurut Putri, kajian Hizbut Tahrir di UI sangat terencana dan rapi. Isu-isu yang dibahas disesuaikan dengan jurusan mayoritas peserta agar mudah dipahami dan anggotanya dipecah dalam jumlah yang kecil agar terfokus. "Kitab HT diajarkan secara saklek, tanpa penafsiran. Kalau ada peserta yang kritis, akan ditangani senior," ujarnya.

Tema-tema yang didiskusikan sama dengan di kampus lain. Setelah urusan akidah dan tauhid untuk mahasiswa baru, para mentor akan menaikkan derajat diskusi ke dalam topik-topik politik Indonesia dan dunia yang sedang menghangat. Diskusi soal demokrasi, kata Putri, selalu menjadi topik hangat karena berhubungan dengan sistem politik yang ditawarkan HTI, yakni Khilafah Islamiyah sebagai penggantinya.

Juru bicara UI, Rifely Dewi Astuti, membantah masih ada kegiatan HTI di kampusnya setelah pemerintah membekukan organisasi ini. Menurut Dewi, sejak peraturan pemerintah itu terbit, kampusnya sudah melarang apa pun bentuk kegiatan HTI atau organisasi yang diduga berafiliasi dengannya, termasuk tema-tema yang menyimpang dari asas negara. "Kami telah melakukan mekanisme pencegahan," ujarnya.

Berbeda dengan klaim sejumlah pengurus kampus, Ketua Gema Pembebasan Jawa Barat Indra Lesmana mengatakan mereka masih aktif menggelar kegiatan atau kajian dengan mahasiswa di banyak perguruan tinggi. Ia menyayangkan banyak kampus yang curiga terhadap kegiatan Gema Pembebasan hingga menuduh organisasi ini menyebarkan paham radikalisme. "Tak seharusnya kami ditakuti," katanya. "Kegiatan kami transparan dan kami hanya ingin mengajarkan Islam kepada mahasiswa."

Juru bicara HTI, Ismail Yusanto, juga meminta kampus tak berlebihan menuding organisasinya menyebarkan radikalisme kepada mahasiswa. Ia mengakui HTI mendukung khilafah dan syariat Islam. "Tapi tak mengajarkan radikalisme," ujarnya. "Mahasiswa perlu tahu ada ide dan gagasan dari Islam."

Toh, pemerintah telah menarik garis tegas. Brigadir Jenderal Hamli menyebut meresapnya paham radikalisme ke kampus sebagai bentuk kecolongan pemerintah yang tak awas sejak mula. BNPT baru sadar kampus telah tersusupi paham ini ketika ada pola yang berubah pada pelaku terorisme pada 2016.

Sebelumnya, para pelaku teror adalah lulusan pesantren, tapi Bahrun Naim, yang menjadi dalang bom Sarinah pada 2016, mematahkan pola tersebut. Ia lulusan program diploma-3 ilmu komputer dari Universitas Sebelas Maret, Solo, Jawa Tengah. Setelah itu, kata Hamli, beberapa mahasiswa lain, termasuk perempuan, terlibat jaringan terorisme.

Mahasiswa terakhir adalah Siska Nur Azizah, mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, yang datang ke Markas Komando Brigade Mobil untuk membantu para teroris yang terkepung setelah menyandera polisi dan membuat kerusuhan. Siska Nur Azizah datang bersama Dita Siska Millenia ke Mako Brimob karena bersimpati kepada para terpidana terorisme itu.

Menurut Kepala BNPT Suhardi Alius, bukan hanya mahasiswa yang terpapar paham radikal, melainkan juga dosen dan rektornya. Selain memetakan organisasi dan mahasiswa yang diduga sudah terjangkiti paham ini, BNPT membuat profil dosen dan calon rektor yang sudah terpapar. "Di Jawa Tengah ada calon rektor yang dibatalkan pelantikannya karena diduga terpapar paham ini," katanya.

Setelah BNPT turun ke kampus, penyebaran paham radikalisme paling masif dilakukan melalui gawai dan media sosial. Suhardi mengaku terengah-engah mencegah penyebaran lewat peranti teknologi ini karena memerlukan peran lembaga lain. Media sosial yang paling masif menyebarkan ajaran radikal, kata dia, salah satunya Telegram, platform percakapan instan dari Rusia.

Direktur Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Didin Wahidin mengakui pemerintah dan kampus kecolongan menangkal paham radikal karena menganggap kegiatan pengajian sebagai pembinaan rohani belaka. "Belakangan, baru kami tahu mahasiswa banyak yang terpapar," ujarnya. "Dan sekarang sasarannya lebih muda, anak SMA."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus