Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setyaningsih*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“KIRA-kira ada seperempat jam lamanya Hidjo dan Raden Ajeng Biroe berjalan-jalan di dalam Sriwedari sambil omong-omongan. Lalu mereka duduk di kursi yang sudah tersedia di depan restoran yang sedikit remang dan terlindung dari pandangan orang […] Sesudah meminta dua botol limun kepada jongos restoran, lalu dia berkata kepada Raden Ajeng.” Dalam novel Student Hidjo garapan Mas Marco Kartodikromo yang semula dimuat bersambung di Sinar Hindia dan terbit pertama kali pada 1919, lalu diterbitkan ulang oleh Bentang, itu, bisa saja Hidjo tidak mengucapkan kata bahasa Melayu “limun”, tapi bahasa Prancis “limonade” saat memesan minuman kecut dan segar tersebut.
Kita menduga saja Hidjo menangkap bahasa-bahasa asing di tanah jajahan yang sedang bergolak oleh ide-ide kebangsaan. Hidjo pemuda Jawa modern calon insinyur Institut Teknik Delf, fasih bahasa Melayu dan bahasa Belanda, serta mengenakan jas dan sepatu. Dalam tutur bersifat intelek atau sekadar bercakap keseharian, Hidjo biasa mencampur bahasa. Sebagai pribumi ningrat dan perlente, Hidjo pasti karib dengan lema Prancis “mode”.
Hubungan Indonesia dan Prancis yang panjang mencipta jembatan bahasa. Sejarawan Bernard Dorléans menggarap buku Orang Indonesia & Orang Prancis, Dari Abad XVI sampai dengan Abad XX (KPG, 2018). De Molins, misalnya, menerbitkan reportase tentang Jawa dalam majalah Le Tour du Monde (Keliling Dunia) pada 1864. Reportase menjadi semacam panduan turis Prancis berpelesir ke Jawa. Meski De Molins cenderung menonjolkan citra visual jalan, kehidupan hotel, pemandangan alam, dan bahkan hukuman bagi pelaku kejahatan, reportase sepertinya sempat membangkitkan imajinasi kebahasaan di tanah jajahan Belanda itu.
Dorléans juga mengutip artikel sejarawan Denys Lombard dalam majalah Archipel (1975) tentang koran berbahasa Prancis yang pernah terbit di Batavia pada 1 Oktober 1875-25 Februari 1876 yang dirintis petualang-artis Z. Berger-Deplace. Koran memang mengulas pertunjukan teater, tapi ada iklan perniagaan kecil-kecilan orang Prancis di Batavia, seperti jasa jahit pakaian, rajutan, reparasi mebel dan lukisan, kursus musik, serta salon rambut, juga perajin emas, perak, dan perunggu.
Meski koran berbahasa Prancis dibaca oleh publik terpelajar pengguna bahasa Prancis, terutama orang Prancis dan Belgia di Hindia Belanda, mungkin saja ada seorang pribumi turut sebagai pembaca. Atau mungkin kaum terpelajar sempat menggunakan potongan istilah dalam bahasa Prancis pada hubungan sehari-hari. Terutama dari ranah perniagaan, istilah perlahan terakulturasi secara tidak sengaja. Orang-orang di Hindia Belanda jadi akrab dengan istilah mode, salon, parfumerie, dan café. Justru bukan dari kalangan elite birokrat, yang secara politis mengatur kuasa bahasa, kemajemukan bahasa ditawarkan.
Majalah Archipel secara intelektual, dikatakan Ramadhan K.H. dalam kumpulan kesaksian para tokoh perantau di Prancis berjudul Rantau dan Renungan (Pustaka Jaya, 1992), hadir sebagai “jembatan bagi masyarakat yang berbahasa Perancis khususnya untuk mengenal lebih jauh keadaan wilayah Asia Tenggara, ditambah Madagaskar yang secara antropologis banyak sekali hubungannya dengan negeri kita”. Keterbukaan mempelajari kebudayaan dan bahasa Indonesia dirayakan oleh perguruan tinggi, misalnya École des Hautes Études en Sciences Sociales, tempat Lombard mengajar. Universitas Paris X-Nanterre juga membuka studi kebudayaan dan bahasa Indonesia. Di sini, wartawan berkebangsaan Indonesia, Erwin Ramedhan, mengajar bahasa Indonesia.
Kesaksian para perantau Indonesia di Prancis sering membentangkan gairah belajar bahasa. Bahasa (asing) itu menantang dan menggoda. Ada kesaksian penerjemah sastra Prancis ke bahasa Indonesia, Ida Sundari Husen, yang menyambung studi di Fakultas Sastra Toulouse Institut Normal (1960-1962) setelah merampungkan studi Sastra Prancis di Universitas Indonesia. Melintasi batas identitas, geografis, dan bahasa mencipta emosionalitas. Ida terharu tidak hanya mendengar bahasa “dipelajari”, tapi juga dialami dalam lingkungan asal, “Yang saya pelajari di antara empat dinding kelas, dipakai orang sekeliling saya, dalam situasi yang sebenarnya.” Ida tentu merasakan ketimpangan ekonomi-politik antara Indonesia yang baru beberapa tahun lepas dari kolonialisme dan modernitas Prancis cukup dilihat dari pasar swalayan.
Jembatan bahasa tidak cukup kokoh tanpa penerbitan kamus. Salah satu yang penting adalah Dictionnaire Général Indonésien-Français (Association Archipel, Paris, 1984) garapan Pierre Labrousse dari Institut National des Langues et Civilisations Orientales, Paris. Kolaborator penerbitan kamus adalah para ahli kajian Indonesia-Prancis: Farida Soemargono, Winarsih Arifin, dan Henri Chambert-Loir.
Kamus ini berat, tebal, dan serius. Ia sangat tidak imut dibanding kamus pelesiran saku atau kamus dalam gawai dan menunjukkan kelainan di antara massalnya terbitan kamus bahasa Inggris miliaran atau triliunan. Namun di sini tampak perasaan setara di hadapan bangsa-bangsa. Jembatan bahasa dibangun dan bahasa tidak (lagi) direngkuh dalam perasaan inferior atau terjajah. Setidaknya, bagi penutur-pembelajar bahasa Indonesia, barangkali menjadi ujian sangat personal untuk tidak menginferiorkan bahasa sendiri demi merengkuh bahasa asing.
*) ESAIS DAN PENULIS KITAB CERITA (2019)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo