Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BEGITU dilantik menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta pada Oktober tahun lalu, Sandiaga Uno membentuk tim yang ia beri nama "Road to WTP" dan langsung memimpinnya. Anggotanya terdiri atas para pejabat pelbagai dinas, mantan auditor Badan Pemeriksa Keuangan, dan sepuluh orang anggota Ikatan Akuntan Indonesia (IAI).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim ini harus bekerja memperbaiki laporan keuangan DKI Jakarta dengan target mendapatkan predikat wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK. Sepuluh anggota IAI itu berada dalam komando Ilya Avanti, 59 tahun. Ia guru besar Universitas Padjadjaran, Bandung, yang kini menjabat Komisaris Utama Bank DKI. Sebelumnya, ia auditor utama di BPK. Ilya tak lain promotor program doktor Kepala BPK Moermahadi Soerja Djanegara di Unpad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan pengalamannya itu, Ilya menghela tim ini memperbaiki laporan keuangan Jakarta selama delapan bulan, terutama pencatatan aset yang membuat predikat laporan keuangan DKI paling mentok wajar dengan pengecualian (WDP) selama 20132016. Ada banyak temuan BPK dalam laporan keuangan DKI yang bermasalah selama Jakarta dipimpin Joko Widodo hingga Djarot Saiful Hidayat itu. Tahun lalu, ada 6.000 temuan audit yang harus dibereskan pemerintah."Ini masalah pelik sehingga harus dikeroyok," kata Sandiaga, pekan lalu.
Hasilnya moncer. BPK puas terhadap laporan itu dan memberikan WTP pada Mei lalu. Sandiaga sedang menunaikan umrah ketika BPK mengumumkan status baru itu dalam sidang paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Jakarta. Ia bersujud syukur di depan Ka’bah ketika mendengar pengumuman BPK tersebut.
Masalahnya, banyak yang ragu terhadap predikat itu. Bahkan Moermahadi Soerja Djanegara. Kepada beberapa koleganya, Kepala BPK ini mengatakan laporan keuangan BPK paling mentok hanya mendapatkan WDP. Ia selalu menghindar setiap kali akan dimintai konfirmasi soal itu."Masalah opini keuangan DKI wewenang tim pemeriksa yang semuanya ada di BPK perwakilan DKI," ujarnya, melalui pesan tertulis.
Menurut seorang koleganya, penilaian Moermahadi itu bertolak dari masih amburadulnya pengelolaan aset di Jakarta, yang tak jauh berbeda dengan tahuntahun sebelumnya. Misalnya soal pembelian Rumah Sakit Sumber Waras di Jakarta Barat yang belum beres. Pada 2014, Gubernur Basuki Tjahaja Purnama membeli rumah sakit ini senilai Rp 775 miliar untuk dijadikan rumah sakit kanker.
BPK menilai harga itu terlampau mahal Rp 191 miliar karena pemerintah berpatokan pada nilai jual obyek pajak di dalam lokasi rumah sakit. Menurut BPK, basis penghitungan harga semestinya memakai nilai jual obyek pajak jalan kampung di belakang rumah sakit yang lebih murah. Dalam rekomendasi, BPK meminta pemerintah menagih kelebihan pembayaran itu.
Pada 23 Agustus 2017, Gubernur Djarot Saiful Hidayat menagih kelebihan itu. Namun Yayasan Sumber Waras menolaknya karena merasa tak ada yang salah dalam transaksi tersebut. Gubernur berganti, Sandiaga kembali menagih kelebihan itu setelah menjadi wakil gubernur."Sebelumnya tak ada yang menagih," katanya. Yayasan tetap menolaknya.
Sandiaga kemudian memanggil pengelola Yayasan untuk merundingkan penyelesaiannya. Seusai diskusi yang panjang dan alot, kedua pihak sepakat memakai opsi terakhir, yakni membatalkan jualbeli."Kalau kami bayar berarti kami salah," ujar Ketua Yayasan Sumber Waras Safzen Noerdin."Kalau transaksinya dibatalkan harus melalui pengadilan."
Masalahnya, proses pembatalan ke pengadilan belum dilakukan oleh pemerintah. Walhasil, pembelian Sumber Waras yang dipersoalkan BPK masih menggantung. Rekomendasi BPK mengambil kembali uang tersebut belum sepenuhnya bisa dilaksanakan pemerintah Jakarta.
Toh, ketika BPK Jakarta yang mengaudit laporan keuangan pemerintah DKI, para auditor memaklumi kekacauan pembelian tersebut. Tak seperti di zaman Basuki, BPK menilai urusan Sumber Waras sudah klir."Kami nilai dari sisi kepatuhan," ujar pelaksana tugas Kepala Perwakilan BPK Jakarta, Aryo Seto Bomantari."Sepanjang masalah itu diungkapkan dan dilaporkan, tidak jadi masalah."
Belum lagi pembelian tanah di Cengkareng, Jakarta Barat, seluas 4,6 hektare tahun 2015 senilai Rp 668 miliar. BPK menemukan tanah itu ternyata dimiliki Dinas Kelautan dan Perikanan sejak 1980. Karena tertarik pada lahan itu untuk rumah susun guna menampung masyarakat yang kampungnya digusur karena ilegal, pemerintah membelinya dari Toeti Noezlar Soekarno melalui Rudy Hartono Iskandar, pedagang mobil mewah. Kisruh ini masih disidangkan di Pengadilan Tinggi Jakarta.
Ketika Tempo menyambangi lahan itu, sejumlah orang berbadan tegap yang menjaganya keluar menghardik. Mereka adalah orangorang PT Sabar Ganda milik pengusaha D.L. Sitorus, pebisnis asal Medan yang tepergok jalanjalan naik pesawat ketika ia menjadi pesakitan di penjara Cirebon, Jawa Barat. Sabar Ganda merupakan pihak ketiga yang juga mengklaim sebagai pemilik sah tanah tersebut. Dalam audit 20152016, BPK memakai temuan sengketa ini untuk memberikan rapor merah terhadap laporan keuangan DKI Jakarta.
Kini BPK tak menganggapnya sebagai masalah lagi."Itu temuan 20152016," kata Seto."Dulu dicatatkan di dua dinas sehingga salah, sekarang sudah direklasifikasi ke aset lainlain." Menurut Seto, persoalan hukum dan sengketa yang belum kelar bukan urusan BPK dan tak menjadi pertimbangan predikat audit.
Sama seperti Sumber Waras, Sandiaga Uno berencana membatalkan pembelian tanah Cengkareng. Artinya, pemerintah mesti menagih kepada Toeti Noezlar dan Rudy Hartono mengembalikan uang Rp 668 miliar tersebut. Menurut Kepala Bidang Bantuan Hukum Biro Hukum DKI Jakarta Nur Fajar, keluarga Toeti hanya menerima Rp 4 miliar. Rudy mengambil porsi paling besar dari transaksi itu.
Rudy tak bisa ditemui untuk menjelaskan duduk soal pembelian tanah itu. Dua kali disambangi ke rumahnya di Pondok Indah, Jakarta Selatan, ia tak pulangpulang. Penjaga rumahnya memberi tahu bahwa Rudy acap berkantor di ruang pamer mobil mewahnya di Kebayoran Baru. Tapi, di RHYS Auto Gallery, Rudy juga tidak ada.
Menurut Sandiaga, pembatalan transaksi tanah Cengkareng adalah rekomendasi BPK karena temuan adanya indikasi kerugian kas daerah."Kami sedang mengkajinya," ujarnya. Kepala Biro Hukum DKI Yayan Yuhana menambahkan, pemerintah akan terus menagih uang itu hingga kembali. Jika perlu, pemerintah menyita asetaset milik Rudy Hartono.
Belum lagi puluhan hektare tanah DKI yang tak jelas sertifikatnya. Di pengadilan saja kini total ada 21 hektare lahan yang sedang disengketakan. Salah satunya tanah kantor Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (Samsat) Jakarta Timur. Pemerintah kalah melawan gugatan orang yang mengklaim pemilik lahan seluas 2,9 hektare itu (lihat"Aset Hilang Gugatan Terbilang").
Seto mengakui pengelolaan aset Jakarta masih amburadul. Tapi rapat tim pemeriksa aset dari BPK tak memasukkan problemproblem itu ketika mengaudit laporan keuangan DKI. Soalnya, kata Seto, audit memakai sampel yang kriteria dan penentuannya diputuskan sesuka auditor."Bisa dari nilai aset yang besar atau aset kecil tapi bermasalah," ujarnya."Kalau semua aset diperiksa, kami bisa kehabisan peluru."
Problem lain yang dulu menjadi temuan BPK tapi kini diabaikan auditor adalah penagihan aset fasilitas umum dan fasilitas sosial. Menurut laporan BPK 2016, sejak 1971 ada 1.434 surat izin penunjukan penggunaan tanah (SIPPT). SIPPT adalah dokumen izin yang dipegang pengembang agar bisa membangun properti di atas tanah lebih dari 5.000 meter persegi. Mereka belum menyerahkan fasilitas umum dan fasilitas sosial seluas 1.761 hektare atau 22 kali luas lapangan Monumen Nasional.
Ketika gubernur beralih ke Anies Baswedan, jumlah penunggak berkurang menjadi 1.163 pengembang dengan luas 936,8 hektare. Seto Bomantari mengakui bahwa penagihan utang fasilitas umum dan fasilitas sosial tak berjalan dengan baik. Sandiaga Uno sependapat."Kami kesulitan menagih karena banyak pengembang yang sudah tidak ada lagi," ucap Sandiaga.
Kebijakan pelanggaran koefisien lantai bangunan (KLB) yang dibuat Gubernur Basuki juga menjadi catatan BPK. Pada audit 2016, kompensasi pelanggaran KLB dinyatakan sebagai temuan audit karena pembahasan dan eksekusinya tak melibatkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Waktu itu Basuki beralasan KLB tak berbentuk uang sehingga tak masuk kas daerah.
KLB adalah penalti bagi pemilik gedung yang melanggar koefisien tinggi bangunan. Pelanggaran itu harus ditebus dengan menyediakan dana sesuai dengan kelebihan tinggi tersebut untuk membangun fasilitas umum. Jembatan Lingkar Semanggi adalah KLB dari PT Mitra Panca Persada senilai Rp 350 miliar.
Dalam audit 2017, permintaan agar KLB dibahas bersama DPRD tak ada lagi. Padahal pemerintah Jakarta belum mengkonsultasikan apa pun terkait dengan perkara ini dengan anggota Dewan. Seto beralasan pemerintah memberikan penjelasan dalam laporan mereka bahwa tengah menakar pelibatan DPRD dalam kebijakan KLB."Mekanismenya sedang berproses," kata Seto.
Toh, segala centangperenang laporan keuangan itu tak menyurutkan dan memberi keraguan kepada BPK menyematkan predikat WTP."Saya tahu upaya mereka sangat keras dalam memperbaiki laporan keuangan," ujar Seto. Salah satu ukurannya, kata dia, adalah ribuan aset Jakarta itu kini bisa ditelusuri bahkan melalui foto udara.
Seto menyangkal anggapan bahwa WTP merupakan lobi pemerintah Jakarta. Menurut dia, laporan keuangan DKI tahun 2017 sudah sesuai dengan standar akuntansi keuangan yang diatur dalam UndangUndang Keuangan Negara.
Ilya Avanti, sebagai komandan para akuntan dalam tim Road to WTP, juga menyangkal jika disebut melobi mantan koleganya agar memberikan penilaian yang bagus bagi laporan keuangan DKI Jakarta."Saya memang kenal Moerma, tapi tak pernah menemui dia untuk urusan ini," ujarnya."Saya bekerja profesional saja."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Tim Investigasi: Penanggung jawab: Bagja Hidayat | Kepala proyek: Erwan Hermawan | Penyunting: Bagja Hidayat, Mustafa Silalahi | Penulis: Erwan Hermawan, Riky Ferdianto, Mustafa Silalahi | Penyumbang bahan: Erwan Hermawan, Mustafa Silalahi, Riky Ferdianto (Jakarta), Ahmad Fikri (Bandung)