Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MELIHAT putra semata wayangnya, Isti Rezki Ramadhan kerap bingung. Pada usia dua tahun delapan bulan, putranya, Alifiandra, belum bisa diajak mengobrol."Misalnya saya tanya, ’Makan apa?’ Dia enggak jawab," kata Isti, Kamis pekan lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Andrademikian Alifiandra biasa disapajuga tak menengok kalau dipanggil. Ia baru menaruh perhatian jika yang memanggil berdiri tepat di depannya dan membawakan sesuatu yang dia sukai, seperti bola atau perkedel favoritnya."Kalau enggak, ya, dia tetap asyik main sendiri," tutur Isti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Isti pernah berkonsultasi dengan dokter anak langganannya. Menurut dokter, selama masih bisa mengucapkan beberapa kata, Andra tergolong normal. Andra memang sudah fasih mengatakan"mama","papa","makan", bahkan menyanyikan lagu anak.
Namun Isti merasa ada yang tak beres pada anaknya. Terlebih jika ia membandingkan Andra dengan anak tetangga atau anak temannya yang sebaya."Anak lain kalau ditanya menjawab, dipanggil menengok, tapi Andra enggak," ujar perempuan 30 tahun yang tinggal di Bekasi, Jawa Barat, itu.
Beberapa bulan lalu, ia berikhtiar membawa Andra ke dokter spesialis anak subspesialis tumbuh kembang anak, Bernie Endaryani Medise. Dari Bernie, Isti mendapat jawaban penyebab anaknya tak menaruh perhatian pada sekitarnya."Garagara TV (televisi) sama gadget. Di rumah, dia bisa nonton TV sampai enam jam. Pengasuh yang menjaganya pun jarang ngajak ngobrol," katanya.
Perkara anak yang terlambat bicara juga membuat Nora Meriyanti pusing. Anak sulungnya, Zeezan, 5 tahun, belum bisa bercerita dengan kalimat utuh. Ia bahkan kalah dibanding adiknya, Adam, 3 tahun."Misalnya, kalau main, Adam bisa bilang, ‘Abang, main yuk. Bantuin yuk, angkatin kursinya.’ Zeezan cuma bisa bilang, ’Main yuk, angkat, niiih,’ sambil nunjuk kursi," ucap Nora, 35 tahun. Nora memberitahukan kondisi anaknya itu kepada pembicara dalam acara peringatan Hari Anak Nasional di Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita, Jakarta, Senin pekan lalu.
Zeezan dan Adam dibesarkan dengan pola asuh yang sama. Ketika Nora dan suaminya berangkat kerja, duaduanya dititipkan kepada pengasuh di rumah."Biar anteng, disetelin televisi dari pagi sampai sore," kata Nora.
Banyak penelitian yang membuktikan televisi atau gawai apa pun yang berlayar membuat kemampuan bicara anak terlambat berkembang. Salah satunya dipresentasikan dalam pertemuan Pediatric Academic Societies di San Francisco, Amerika Serikat, Mei tahun lalu. Penelitian yang melibatkan 894 anak berusia 6 bulan2 tahun ini membandingkan durasi mereka mengakses layar di gawai yang digenggam dengan kemampuan bicara.
Dari hasil pemeriksaan dengan alat screening untuk keterlambatan kemampuan berbahasa, peneliti menemukan bahwa makin banyak waktu yang digunakan anak untuk menonton layar alias screen time, makin besar kemungkinan anak itu mengalami keterlambatan berbahasa ekspresif, yakni kemampuan anak mengutarakan pikirannya. Untuk setiap peningkatan 30 menit waktu yang dihabiskan di depan gawai, risiko keterlambatan berbahasa ekspresif naik 49 persen.
Penelitian serupa dilakukan tiga dokter dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Silva Audya Perdana, Bernie Endaryani Medise, dan Erni Hernawati Purwaningsih. Mereka meneliti 84 anak berusia 18 bulan3 tahun pada JanuariMei 2015. Kemampuan bicara anak dites menggunakan Kuesioner PraSkrining Perkembangan, yang biasa dipakai tenaga kesehatan di Indonesia; dan Early Language Milestone Scale2, yang digunakan dokter spesialis anak di dunia. Para orang tua juga diminta mengisi kuesioner, termasuk tentang berapa lama anaknya memelototi layar.
Hasilnya, kebanyakan anakanak itu sudah terpapar layar televisi sebelum berusia dua tahun. Sebanyak 47 anak memiliki kemampuan bicara normal, sementara 37 lainnya tergolong terlambat. Separuh anak yang terlambat bicara ini menonton televisi lebih dari empat jam, jauh lebih lama dibanding mereka yang perkembangan kemampuan bicaranya normal."Anak yang menonton televisi lebih dari empat jam per hari 4,4 kali lebih besar kemungkinan terlambat bicaranya dibanding mereka yang menonton di bawah empat jam," ujar Bernie. Hasil penelitian mereka dipublikasikan di jurnal Paediatrica Indonesiana pada tahun lalu.
Menurut Bernie, selain mengalami keterlambatan bicara, biasanya mereka yang terlalu sering menatap layar akan cuek, tak menoleh ketika dipanggil, dan asyik sendiri."Karena ini, kadangkadang mereka didiagnosis di tempat lain sebagai anak autis," katanya. Berbeda dengan anak autis, mereka yang terlambat bicara karena layar masih bisa melakukan kontak mata, meski hanya sebentar.
Screen time pada anak memang berdampak besar. Musababnya, usia nol sampai lima tahun adalah masa emas perkembangan otak anak. Pada usia dua tahun, perkembangan otak anak melesat sampai 80 persen. Pada usiausia itu, mereka betulbetul seperti spons. Apa yang kita berikan akan diserap semuanya.
Maka, ketika anak dibiasakan menonton tayangan berbahasa Inggris, biasanya mereka akan tertular mengucapkan beberapa kosakata atau menyanyikan lagu Inggris dengan fasih. Namun yang diucapkan adalah bahasa dengan intonasi yang sangat mirip dengan di televisi."Saya menyebutnya TV talk," tutur Bernie.
Masalahnya, Bernie menambahkan, komunikasi lewat layar itu hanya berlangsung satu arah. Anak hanya menerima apa yang diucapkan oleh karakterkarakter di televisi. Dengan demikian, mereka tak terlatih berkomunikasi dua arah, tak terbiasa dipanggil atau diberi pertanyaan."Mereka tak terbiasa memilah panggilan buat mereka," ucapnya.
Karena itu, American Academy of Pediatrics merekomendasikan anak di bawah usia 18 bulan tak terpapar oleh layar, kecuali untuk berkomunikasi lewat video telepon, misalnya dengan orang tuanya. Anak baru boleh menonton televisi setelah berusia dua tahun. Itu pun maksimal dua jam."Karena usia emas, anak semestinya diberi stimulasi yang optimal," ujar Bernie.
Ia mengatakan makin banyak orang tua yang berkonsultasi dengannya dalam setahun terakhir. Sebab, makin banyak yang peduli terhadap keterlambatan bicara anak mereka.
ADA dua penyebab anak terlambat bicara, yakni primer dan sekunder. Termasuk golongan primer jika penyebabnya murni, misalnya genetik atau kurang stimulasi."Sedangkan masuk ke golongan sekunder kalau ada penyakit lain yang menyertai, seperti tuli," kata dokter spesialis anak subspesialis tumbuh kembang anak, Eva Devita.
Untuk mengetahui apakah anaknya terlambat bicara atau tidak, orang tua mesti memahami dulu tahap perkembangan anak. Setiap tahap ada rentang waktunya."Misalnya paling lambat mengeluarkan katakata pertama itu usia 18 bulan," ucap psikolog Annelia Sari Sani.
Gampangnya, kata Bernie Endaryani Medise, pada usia satu tahun, anak bisa mengucapkan satu kata. Dua tahun, dua kata. Tiga tahun, tiga kata. Dan empat tahun, empat kata. Orang tua bisa menggunakan buku Kesehatan Ibu dan Anak yang dibagikan gratis di fasilitas kesehatan sebagai pedoman.
Selain tahap perkembangan anak, kata guru besar Ilmu kesehatan anak Soedjatmiko, di buku tersebut tercantum cara menstimulasi anak. Misalnya anak usia 36 bulan diperdengarkan bunyibunyian dan anak usia 12 tahun diajari menyebutkan bagian tubuh serta dibacakan cerita. Gawai baru boleh diberikan setelah usia anak dianggap cukup."Itu pun orang tua yang memegang untuk mengajari, misalnya ditanya, ’Ini gambar apa? Ini warna apa?’," ujarnya.
Kalau anak telanjur telat bicara lantaran banyak menonton, solusinya adalah menghentikan screen time. Orang tua juga mesti memberi stimulasi dengan banyak mengajaknya mengobrol. Jika diperlukan, anak diikutkan terapi wicara."Biasanya dua minggu atau maksimal sebulan sudah kelihatan perubahannya," tutur Bernie.
Isti Rezki pun melakukan hal itu untuk Andra. Sejak anaknya divonis telat bicara garagara terlalu banyak nonton, Isti meminta pengasuh tidak membiarkan anaknya melihat televisi dan bermain gadget. Andra lebih banyak diajak mengobrol dan ikut terapi wicara."Saya mulai tiga bulanan yang lalu, sekarang sudah normal," katanya.
Nur Alfiyah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo