Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR gembira datang dari Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme. Seperti diberitakan Antaranews.com pada 19 Juli lalu, mereka sepakat bersamasama mencegah masuknya paham radikal dan intoleran ke sekolahsekolah. Meski agak terlambat, langkah koordinatif bersama ini patut diapresiasi karena makin merebaknya gejala intoleransi dan radikalisme di kalangan generasi muda kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tidak ada yang lebih berbahaya daripada aksi kekerasan dan terorisme. Seperti ditemukan dalam beberapa riset mutakhir tentang meningkatnya intoleransi dan radikalisme di Indonesia, ada sejumlah akar masalah yang perlu mendapat perhatian serius dari masyarakat dan pemerintah. Di sini saya akan berfokus pada isu ancaman polarisasi keagamaan. Isu ini, apalagi jika dikaitkan dengan anggapan sebagian kalangan bahwa tahun depan adalah tahun politik, akan sangat krusial dan menentukan masa depan masyarakat Indonesia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua buku hasil riset Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Islam Negeri Jakarta, Potret Guru Agama dan Intoleransi dalam Buku Pendidikan Islam? yang diluncurkan pekan lalu di Jakarta menunjukkan adanya beberapa persoalan mendasar dalam dunia pendidikan kita mengenai agama. Pendidikan agama Islam (PAI) di sekolahsekolah, misalnya, sudah terindikasi terpapar paham keagamaan yang cenderung eksklusif, bahkan pada tataran tertentu menunjukkan sikap radikal.
Hal itu bisa dilihat dari dua sisi: sikap dan pandangan para guru agama PAI serta bukubuku ajar pendidikan agama Islam yang digunakan.
Tentu saja orang tua layak merasa senang ketika anakanaknya mempelajari agama dan mereka menjadi anak didik yang saleh. Itulah amanat konstitusi dan undangundang tentang perlunya pendidikan agama di Indonesia, yang memiliki misi menjadikan anak didik mempunyai pengetahuan agama yang cukup dan saleh serta religius. Religious mission ini menjadi salah satu pilar pendidikan agama.
Masalahnya, misi kedua pendidikan agama Islam di sekolah hampir luput dari perhatian kita, yakni mengajari anak didik menjadi siswa yang tidak hanya saleh dan religius, tapi juga berwawasan kebangsaan yang baik. Inilah yang disebut civic mission.
Orang tua siswa beberapa sekolah dasar di Jakarta mengeluhkan banyaknya hafalan ayat dan pendidikan agama yang melulu menekankan aspek hukum, seperti persoalan fikih dan halalharam. Tapi buku Intoleransi dalam Buku Pendidikan Islam? menunjukkan bahwa bukubuku ajar agama Islam yang seharusnya menghadirkan dan menghormati perbedaan ternyata memuat sikap eksklusif, dan cenderung mempromosikan satu paham Islam.
Akibatnya, meski disebutkan Islam adalah agama yang ramah dan penuh damai, muncul juga kosakata"sesat","bidah", dan bahkan"kafir" kepada pihak lain yang dianggap berbeda. Juga justifikasi dengan penilaian tertentu kepada nonmuslim. Di sekolah umum, anak didik yang beragama Islam mungkin duduk sekelas atau bahkan sebangku dengan temannya yang nonmuslim. Intinya, buku teks PAI, alihalih tegas soal Islam sebagai agama yang ramah dan penuh damai, ternyata justru memberi pesan ambigu dan terkadang kontradiktif.
Sementara itu, dalam buku Potret Guru Agama, para peneliti PPIM menemukan bahwa sebagian besar guru agama Islam di sekolah memiliki kecenderungan pada paham keagamaan yang eksklusif. Sebagian di antaranya bahkan memiliki kecenderungan islamis, seperti yang terindikasi dari tingginya tingkat kesetujuan mereka terhadap penerapan syariat Islam (78 persen) serta ketidaksetujuan terhadap pemimpin nonmuslim di sekolah (87 persen) dan kepala daerah (89 persen). Sikap dan pandangan toleransi mereka terhadap aliran Islam lain, seperti Syiah dan Ahmadiyah, juga rendah, yakni sekitar 20 persen. Sikap dan pandangan itu rupanya terbangun tidak melulu karena ideologi, tapi juga lantaran mereka kurang terlibat dalam kegiatan sosial keagamaan yang menyangkut agama lain, seperti memberi ucapan selamat hari raya kepada penganut agama lain (26 persen) dan menghadiri acara keagamaan penganut agama lain (1,7 persen).
Menurut saya, model pendidikan agama Islam yang tidak sensitif terhadap keberagaman dan perbedaan yang ada dalam diri bangsa Indonesia (termasuk mereka yang satu agama) merupakan ancaman yang berbahaya, bukan hanya pada tahun politik. Hal itu bisa menjadi ancaman serius bagi masa depan Indonesia, di mana orang menjadi terkotakkotak berdasarkan agama dan keyakinan masingmasing. Sikap dan pandangan masyarakat terpolarisasi dengan latar belakang keyakinan dan agama.
Menurut ahli sejarah Indonesia, Merle C. Ricklefs (2007), polarisasi dalam kaitan dengan kepercayaan dan agama sudah lama terjadi di Indonesia. Dalam kurun 18301950, sudah muncul polarisasi berdasarkan sikap kepercayaan dan keagamaan di tengah masyarakat Jawa, seperti kaum santri, abangan, priayi, dan gerakan mesianistis. Puncaknya adalah polarisasi antara kalangan santri dan abangan, khususnya dalam ranah politikseperti yang terjadi pada 1950an, diwakili wadah partai politik yang berbeda. Meski dinamis, seperti contoh yang ditunjukkan riset Clifford Geertz dan Robert Jay, penggunaan kerudung bukan dominasi kaum perempuan santri. Tapi, setelah polarisasi keagamaan menyentuh titik terendahnya, kerudung seolaholah menjadi hak paten kaum perempuan santri dan tidak lagi digunakan kalangan perempuan abangan.
Temuan riset PPIM UIN Jakarta ini bukan hal yang baru, tapi makin meneguhkan hasil riset sebelumnya yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia dengan dukungan UN Women dan Wahid Foundation. Penelitian pada awal 2018 itu menegaskan bahwa lebih dari separuh responden muslimin dan muslimah (57,1 persen) bersikap intoleran terhadap kelompok yang tak mereka sukai. Angka ini meningkat 6 persen jika dibanding dengan hasil survei serupa pada 2016, yang menunjukkan 51,0 persen responden bersikap intoleran.
Sebelumnya, pada Oktober 2017, survei oleh Alvara Research Center terhadap 2.400 pelajar sekolah menengah atas dan 1.800 mahasiswa di seluruh Pulau Jawa serta beberapa kota besar lain di Indonesia menunjukkan bahwa sebagian generasi muda memiliki bibit radikal dalam agama dan politik berupa ketidakpuasan terhadap bentuk pemerintahan demokrasi dan keinginan menggantinya dengan negara Islam atau khilafah. Sekitar 23 persen dari mereka bahkan siap berjihad untuk menegakkan citacita itu.
Sayangnya, ketika sikap ini disebut"radikal" dan temuan survei dikemukakan ke publik bahwa"radikalisme" sudah menyusup ke sekolah dan kampus, ada kalangan yang berkeberatan. Lebih buruk lagi, sebagian masyarakat mencibirnya sebagai"survei pesanan" atau"survei abalabal". Fakta riset di lapangan dilawan dengan kepercayaan dalam hati.
Radikalisme itu bertingkattingkat. Ada radikalisme yang hanya dalam pikiran, bukan berupa perbuatan. Ada juga radikalisme yang muncul dalam sikap, tapi belum pada level aksi. Yang terakhir adalah radikalisme ekstrem, karena tidak hanya ada dalam pikiran dan sikap, tapi juga termanifestasi dalam perbuatan. Pekerjaan rumah kita dalam bidang pendidikan agama masih cukup banyak, dan hal itu memerlukan sinergi tidak hanya antarkementerian dan lembaga pemerintah, tapi juga kemitraan dengan masyarakat.
Dadi Darmadi
Peneliti & Direktur Advokasi dan Knowledge Management | PPIM UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo