Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Yang berteriak tinggal serak

Suasana kampanye pemilu di yogya semarak. mereka meneriakkan allahu akbar, kecuali golkar. kampanye lalu usai. golkar menang. mereka yang mendapat musibah masih di rumah sakit.

9 Mei 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

YOGYA bukan kota alon-alon waton kelakon: kampanye pemilu di sini sungguh penuh show of force. PPP yang gembos dan panik keluar tanduknya. Golkar sebisa-bisa bertiwikrama, bahkan memparadekan baju Korpri-nya. PDI asyik meriah, pakai Allahu Akbar juga bagai di Perang Uhud. Sebuah histeria sesaat. Tapi ini memang peristiwa politik yang mendasar juga. Yang memekik-mekik itu seperti bukan mulut dan tenggorokan, tetapi jiwa. Jiwa itu memekik-mekik meramaikan gelora yang sekaligus sebuah pesta kebudayaan. Terserah pak jurkam mau kasih isu yang mana, tapi kamilah kuda yang sesaat boleh keluar kandang: boleh teriak-teriak sekerasnya, boleh tak pakai helm di jalan utama, boleh terbang menggedor langit. Para penganggur mendadak mendapat proyek, dan tiba-tiba punya "tema dialog". Hari ini menggalah bmtang, besok cari kaus beringin, lusa naik ke punggung banteng. Sebuah lapis sosial yang lain malah merasa rusuh mendengar gemuruh pawai, kemudian mengecam lalu mengkritik lalu menggerundel. Kita bikin partai ideal nanti, di aman pascasejarah. Orang lantas berdoa, waqinaa 'adzaaban-naaro..., lindungi kami dari api neraka. Jadi, memilih apa? Luber. Namun, tergolonglah saya dalam kelompok penggerundel itu, sampai suatu hari saya menjadi seekor tikus yang di-cengkiing untuk ditaruh di panggung kampanye bintang gemintang. Enak-enak bermain gaple, datang ibu-ibu pengurus partai. "Mau es dawet to, Dik?". Saya pun bengong. "Apa to yang diragukan, Dik?". Lho, mestinya 'kan kita berdebat dulu soal partai ibu itu soal perpolitikan kita soal 600 kursi DPR bedanya partai dengan partai, Islam dengan Islam, rakyat dengan rakyat. Soalnya, ini menyangkut tanggung jawab saya ke masyarakat, kepada Tuhan, kepada diri sendiri. Dan lagi saya ini orang independen Iho, Bu! Tapi ini pergaulan Jawa, bukan tawar-menawar politik dan masa depan. Tiba-tiba pula sudah ada pengumuman dalam kampanye bahwa hamba bakalan naik panggung. Juga di koran. Hqarakadah! Kontan seluruh anggota partai surga menikmati mainan baru: Jurkam nih, ye? Sudah gatal - maklum lama nggak naik pentas! Saksikan besok puluhan ribu cewek mencopot jilbab mereka, dikibarkan ke arah panggung...! Sudah saya bikin surat resmi: "Ibu-Ibu 'kan sudah sampai di rakaat pertama sedang saya belum lagi berwudu ...." Tapi lautan manusia itu mengerikan saya. Mereka tidak tahu-menahu "politik tinggi". Mereka murni, berteriak dari relung jiwa dan ulu hati. Dan tiap hari saya ketemu ulu hati itu di kampung, di masjid, di gardu-gardu. Saya tak mau omong. Saya datang ke alun-alun, dan sebuah kampanye diguyur hujan. "Kalau Saudara-saudara mengundang orang independen kayak saya, itu menunjukkan Saudara-saudara tidak sok kuasa. Saudara-saudara mau menerima pihak yang mungkin berbeda pendapat dengan Saudara-saudara...!" Berpuluh-ribu wajah memandang bengong: ini samudra histeria, yang menyetujui hanya satu hal dan siap melindas hal lain. Saya ketakutan. "Setuju, tidak?!" Ternyata: "Setujuuuu. . . !" Jadi, saya kemudian berani tidak teriak hidup ini dan hidup itu. "Tanpa teriak hidup, hidup, 'kan kita sudah selalu hidup, ya, 'kan ?" "Yaaaa . . . !" Tak satu kali pun saya ucapkan nama partai. Saya menyembunyikan diri di belakang punggung Tuhan. Saya bacakan puisi karya Allah swt: janji-Nya, bahwa mereka yang dilemahkan kelak akan dijadikan para pemimpin dan diwarisi kekuasaan. Dan tatkala di setiap ujung ayat Al-Qashash itu berpuluh ribu orang menggeremang "Allaaaah", saya merasa telah bertemu tidak dengan massa kampanye, melainkan dengan derita sepi sejarah yang universal. "Kampanye pemilu boleh berakhir besok pagi, Saudara-saudara!". Dengan gagah - tapi pucat - saya berteriak. "Tapi kampanye kebenaran dan keadilan tak bisa disetop. Harus terus dilakukan di rumah Saudara-saudara, di kampung-kampung, di tempat-tempat ibadat. Itu diwajibkan oleh Quran, oleh agama-agama, oleh Pancasila!" "Setuju... !" "Beranikah Saudara-saudara menuntut kepada para pemimpin Saudara-saudara di panggung ini, agar mengurus umat mereka tidak hanya pada masa eksploitasi pemilu? Beranikah bilang jangan hanya pintar membakar-bakar sehingga kita menabrak tembok atau memukuli udara? Beranikah menuntut bahwa yang terlebih penting justru proses pendidikan politik yang lima tahun, di antara momen-momen pemilu? Beranikah . . ." tapi itu semua tidak jadi meloncat dari mulut saya. Saya ingat sebuah lagu Rhoma Irama dan akhirnya saya hanya melanjutkan omong perkara panjangnya napas panjang, kapasitas pelari maraton, atau keberanian meniup klilip gemuk di kelopak mata hari depan kita. Kemudian saya turun. Dan hilang. Kemudian samudra manusia bergerak melampiaskan pawai terakhir. "Allahu Akbar" menaburi seantero Kota Yogya. Kemudian Golkar menang. Joyoboyo pun sudah tahu. Segala sesuatunya kembali tenang. Massa kampanye bagaikan pertunjukan musik rock beberapa jam, bagai Jalal Rumi mabuk dengan tamburnya, bagai impian sesaat yang ahistoris. Sayang, Golkar belum berteriak Allahu Akbar. Why didn't you, Dear? Ribuan serdadu Rusia nyahok sebab ngeri mendengar gaung Allahu Akbar dari lautan jubah Mujahidin Afghanistan. Mestinya mereka teriak yang sama. Tapi tanpa Allahu Akbar, Golkar juga menang. Cuma, kata orang, soalnya memang tergantung siapa memangku siapa. Allahu Akbar itu memangku atau dipangku. Sehabis pemilu pun kita asyik pangku-pangkuan. Yang menang tinggal menang, yang kalah tinggal kalah. Yang hidup tinggal hidup, yang bocor kepalanya tinggal di rumah sakit. Yang teriak-teriak tinggal serak di tenggorokan. Yang terpilih duduk di kursi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus