Markas Besar Kepolisian RI akhirnya mengayunkan langkah yang benar dalam menangani kasus VCD Banjarnegara. Ketika awalnya kasus ini muncul, sempat tertangkap kesan polisi melakukan langkah yang aneh, dan mungkin bodoh, yakni mengejar pelaku penggandaan VCD yang berisi ceramah Kepala Kepolisian Wilayah Banyumas, Komisaris Besar Achmad Afflus Mapparessa, yang meminta keluarga Bhayangkara memilih pasangan Megawati-Hasyim Muzadi.
Mengusut siapa yang menggandakan dan menyebarkan VCD itu tentu saja tidak perlu. Apalagi mengejar pelakunya. Puji Rahardjo, Ketua Satuan Tugas Angkatan Muda Partai Golkar, yang disangka menggandakan VCD itu, sampai meminta perlindungan ke Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia di Yogyakarta. Justru Puji Rahardjo harus diberi penghargaan kalau benar dia yang menyebarkannya. Sebab, ini adalah penyimpangan yang harus diketahui seluruh masyarakat Indonesia yang ingin menegakkan pemilu secara bersih. Setidak-tidaknya Puji Rahardjo berjasa kepada pemimpin kepolisian karena "melaporkan" ketidakberesan pemimpin polisi di daerah yang tidak bisa bersikap netral.
Undang-undang telah mengatur, Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia harus bersikap netral dalam pemilu, baik pemilu legislatif maupun pemilu presiden. Hak memilih dan hak untuk dipilih bagi anggota Tentara Nasional Indonesia bahkan diperintahkan tak dipakai. Kalau ada di antara mereka yang mau menggunakan hak memilih dan hak dipilih, ia harus keluar atau sudah pensiun dari TNI. Untuk menegaskan kenetralan polisi, Kepala Polri Jenderal Da'i Bachtiar telah pula mengeluarkan telegram kepada seluruh jajarannya di daerah.
Ini yang menurut juru bicara Markas Besar Polri Inspektur Jenderal Paiman "keliru diterjemahkan" oleh Achmad Mapparessa. Akibatnya, Mapparessa dicopot dari jabatannya sebagai Kepala Polwil Banyumas dan dipindahkan ke Jakarta sebagai Kepala Bagian Perencanaan dan Administrasi Deputi Sumber Daya Manusia Mabes Polri.
Langkah memberikan sanksi kepada Mapparessa inilah yang dinilai sebagai tindakan tepat dan cerdas, kendati belum cukup. Apalagi ia bersama Kepala Kepolisian Resor Banjarnegara, Ajun Komisaris Besar Widianto Poesoko, sudah diperiksa oleh tim dari Divisi Profesi dan Pengamanan Mabes Polri. Panitia Pengawas Pemilu Pusat juga sudah mengirim tim ke Jawa Tengah untuk memeriksa kedua perwira menengah ini. Kita tinggal menunggu hasilnya, apakah sekadar "keliru menerjemahkan" kebijakan pemimpin Polri atau ada unsur kesengajaan untuk melakukan pemihakan.
Melihat isi rekaman "VCD Banjarnegara" secara utuh, ada kesan Mapparessa memang melakukan manuver politik dan kentara betul melakukan pemihakan kepada pasangan Megawati-Hasyim Muzadi. Ia membandingkan plus-minus para kandidat presiden dan wakil presiden. Layaknya seorang anggota tim sukses Mega-Hasyim, ia kemudian menyebutkan apa yang akan terjadi pada Polri jika pasangan lain yang menang. Ketika menyebutkan kebijakan pasangan lain itu, Mapparessa menjurus melakukan fitnah karena tidak ada kebijakan seperti yang diungkapkan itu.
Dalam hal inilah ada baiknya kepolisian melakukan klarifikasi bahwa apa yang disampaikan Mapparessa sepenuhnya bersifat pribadi dan membawanya ke pengadilan bila terbukti melanggar undang-undang. Pemimpin kepolisian sebaiknya meminta maaf kepada kandidat presiden yang merasa difitnah. Dengan langkah ini, kenetralan polisi dalam pemilu tidak lagi perlu diragukan. Sebuah kondisi yang diperlukan dalam menghadapi pemilu presiden tahap kedua yang sebentar lagi akan berlangsung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini