Konstitusi senantiasa harus dijunjung, tak boleh dilanggar oleh apa pun, sekalipun itu keperluan sepenting menanggulangi teror bom Bali. Itulah makna keputusan sidang Mahkamah Konstitusi 23 Juli lalu, yang membatalkan berlakunya sebuah undang-undang yang membolehkan UU Anti-Terorisme berlaku surut terhadap para pelaku pengeboman di Legian, Bali, 12 Oktober 2002. Mahkamah penjaga konstitusi itu telah berbuat benar, tapi berbagai komplikasi pelaksanaan hukum akan muncul sebagai akibatnya.
Konstitusi menyatakan bahwa memakai hukum yang berlaku surut untuk menuntut seseorang adalah pelanggaran atas hak asasi manusia. Hak asasi itu tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Mahkamah Konstitusi (MK) dengan setia menjaga konsistensi perintah tersebut, dan membatalkan UU Nomor 16 Tahun 2003 mengenai pemberlakuan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bagi peristiwa peledakan bom Bali yang terjadi sebelumnya. Keputusan itu tegas dan tepat, tapi konsekuensinya bisa membingungkan.
Banyak pelaku peristiwa bom Bali yang memakan korban jiwa lebih dari 200 orang itu sudah diadili dengan memakai dasar UU No. 16 Tahun 2003. Beberapa terdakwa dijatuhi hukuman mati, seumur hidup, dan ada yang divonis hukuman penjara 15 sampai 20 tahun. Kalau sekarang dinyatakan bahwa undang-undang yang digunakan itu batal dan tidak sah, apakah berarti keputusan pengadilan harus gugur dan para terpidana pelaku atau yang turut melakukan teror tersebut akan dibebaskan? Dengan kata lain, apakah keputusan MK itu juga boleh atau harus diberlakukan mundur, retroaktif? Mestinya tidak.
Tidak semua terdakwa pelaku teror bom Bali akan menikmati keputusan MK itu. Sebagian dari para terdakwa telah melewati tingkat kasasi, dan mendapat putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap. Mereka tak berpeluang banyak mengubah nasibnya. Sebagian masih dalam proses banding, dan ada yang belum dibawa ke pengadilan. Bagi mereka, keputusan MK bisa dimanfaatkan. Perbedaan waktu ketika mengadili menyebabkan adanya perbedaan perlakuan. Pada hakikatnya ini adalah perbedaan penerapan keadilan, yang seharusnya dijalankan seimbang bagi semua perbuatan yang serupa.
Lekuk liku pembuatan hukum dan pelaksanaannya tak selalu mudah diikuti. Ketika peristiwa bom Bali terjadi, kita belum punya undang-undang antiterorisme. Peristiwa dahsyat dengan korban besar ini membuat pemerintah cepat-cepat menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Sebuah Perpu hanya diterbitkan dalam kegentingan yang memaksa. Berlakunya hanya sementara, karena segera harus disahkan jadi undang-undang dengan persetujuan DPR.
Namun Perpu Nomor 1/2002 yang keluar 18 Oktober 2002 ini tidak bisa dikenakan terhadap peristiwa bom Bali yang terjadi sebelumnya, 12 Oktober 2002. Sebuah peraturan tidak bisa berlaku ke belakang, retroaktif. Ini adalah asas universal dan mutlak yang tercantum dalam undang-undang hukum pidana: tak ada kejahatan, sebelum ada undang-undang menyatakan demikian. Karena itu pemerintah mengeluarkan Perpu Nomor 2/2002, yang khusus menyatakan bahwa Perpu Nomor 1/2002 berlaku bagi peristiwa bom Bali yang terjadi sebelumnya. Dengan demikian, Perpu Nomor 1/2002 berlaku surut, dan mengecualikan peristiwa bom Bali dari asas yang melarang sebuah peraturan berlaku retroaktif. Maka beberapa pelaku bom Bali yang tertangkap pun diadili berdasarkan pengecualian itu. Pokok permasalahan dimulai di sini.
Lalu DPR menyetujui kedua Perpu jadi undang-undang, masing-masing UU Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan UU Nomor 16 Tahun 2003 yang menyatakan berlakunya undang-undang tadi bagi peristiwa peledakan bom Bali. Sekilas tampaknya tak ada persoalan, karena asas larangan retroaktif dalam undang-undang hukum pidana disisihkan dengan kekuatan undang-undang juga. Yang terabaikan ialah ternyata Undang-Undang Nomor 16/2003 bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi, yakni konstitusi. Hal ini yang jadi dasar MK menguji dan memutuskan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan konstitusi sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Putusan MK adalah final, sehingga sekalipun UU Nomor 15/2003 tentang antiterorisme tetap sah, namun tidak bisa dikenakan pada pelaku peristiwa bom Bali. Sementara itu, putusan hukuman mati bagi Imam Samudra dan Amrozi, misalnya, sudah tetap dan tak bisa diubah lagi. Andaikata mereka mengajukan upaya "peninjauan kembali" (PK), rasanya tak akan dikabulkan Mahkamah Agung. Sebabnya ialah pembatalan UU Nomor 16/2003 bukan merupakan keadaan yang sudah ada?belum merupakan fakta?ketika proses peradilan bagi mereka berlangsung.
Keadilan dicederai, karena proses perundang-undangan yang tidak sempurna, atau gegabah. Pembuat undang-undang?DPR bersama pemerintah?boleh dikatakan tidak menjalankan fungsinya dengan cukup bertanggung jawab. Tak perlu disangkal, kesembronoan itu telah membawa korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini