Keadaan Ahmadiyah, demikian dilukiskan dalam Quran, "Mereka ingin sekali memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tapi Allah senantiasa menyempurnakan cahayanya." Karena sorotan cahaya Ahmadiyah itu, reporter TEMPO sampai grogi memahami perkataan Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah, bahwa beliau adalah nabi terakhir. Beliau tidak mengatakan yang dimaksud TEMPO. Kata "terakhir" hanya dalam hubungan dengan manusia masa sekarang. Bagi manusia masa datang, masih ada nabi lain yang terakhir. Sebab "kenabian akan tetap sama sampai hari kiamat," ujar Muhyiddin Ibn Arabi. Kalau "Ahmad" dalam Quran adalah juga untuk Nabi Muhammad saw., cobalah sekali-sekali majalah itu mengganti kalimat syahadat dengan "Aku bersaksi bahwa Ahmad adalah Rasul Allah." Saya yakin, TEMPO akan dilanda badai. Padahal, dalam Hadis dikatakan panggilan-panggiian lain itu seperti "Aqib" Rasulullah berkata, "Aku juga dinamai." Jelaslah bahwa panggilan itu bukan nama-nama asli, melainkan kuniat atau gelaran saja. Sedangkan nama asli beliau tetap Muhammad. Nama inilah yang diberikan orangtua beliau, yang dikenal kaum Arab di masa lalu, dan selalu disebutkan dalam Quran dan Hadis. Sedangkan dalam Quran "Ahmad" adalah nama asli (Ismuhu Ahmad). Tampaknya, TEMPO hendak berusaha menggeser seabad Ahmadiyah pada tahun 1989 depan menjadi tahun 2000. Sebab majalah berita itu mengatakan bahwa Ahmadiyah lahir tahun 1000, suatu selisih 11 tahun. Apakah itu sebabnya TEMPO masih terkesima oleh pemerintahan Zia ul-Haq, 11 tahun sebelum ia tewas mendadak 17 Agustus lalu. Pada masa itu orang-orang Ahmadiyah Pakistan dianiaya dengan cara yang tidak mengenal peri kemanusiaan sedikit pun? Ataukah mungkin TEMPO sudah mendengar bahwa peristiwa Zia ul-Haq telah diwahyukan dalam bahasa Parsi kepada pendiri Ahmadiyah pada tahun 1900, bahwa "jeritanmu sudah sampai ke langit, maka itu janganlah heran kalau Aku memberi kabar suka, sesudah 11 tahun insya Allah Taala." Siapa tahu? TEMPO masih menyebut-nyebut hubungan baik pendiri Ahmadiyah dengan Inggris. Tapi tak pernah muncul bukti apa pun yang menunjukkan bahwa beliau pernah menerima bantuan dari negeri penjajah itu. Sementara itu, pendiri Ahmadiyah menghadiahkan seruan Wali Ratu Bumi, kalau hendak selamat masuklah dalam Islam kepada Ratu Victoria ketika berada di puncak kekuasaan tertinggi atas daerah-daerah jajahan. TEMPO boleh menyimpulkan hubungan siapa yang mesra dengan kerajaan Inggris. Dalam tulisan itu dikutip Amin Djamaluddin yang menuduh Pendiri Jemaat Ahmadiyah memalsukan atau membajak ayat-ayat Quran. Saya ajak ahli peneliti dan pengkajian Islam itu meluncur turun melalui tabung waktu ke masa silam dan mendarat di Sevilla, Spanyol, di abad ke-12 Masehi. Penelitian dan pengkajiannya akan menghadapkannya dengan kenyataan bahwa Muhyiddin Ibn Arabi dari kota itu menerima wahyu dari Tuhan yang lafalnya sama dengan ayat Al-Baqarah 130. Kemudian Syaikhul Akbar itu berkata, "Maka, dalam ayat ini Dia memberikan kepadaku semua tanda dan mendekatkan bagiku urusan rohani dan Dia menjadikan ayat ini sebagai kunci tiap-tiap ilmu. Maka, aku mengetahui bahwa aku adalah kemajemukan seluruh nabi yang disebutkan dalam ayat ini." (Futuhatul Sakkiyah). Sekarang imam lain, Imam Rabbani, berkata bahwa ia menerima wahyu ketika anaknya akan lahir. Bunyi wahyu itu ialah, "Kami (Allah) akan memberi kabar suka dengan seorang anak laki-laki yang bernama Yahya" (Masamat Imam Rabbani). Wahyu ini sama dengan ayat 7 Surat Maryam. Sesudah anak itu lahir Imam Rabbani menamai anak itu dengan Yahya. Banyak imam besar lain yang mengalami sepeni yang dialami Ibn Arabi dan Imam Rabbani itu. Apakah semua raksasa ilmu Islam ini pemalsu dan pembajak Quran seperti yang dituduhkan Amin Djamaluddin terhadap Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, pendiri Ahmadiyah. Naudzubillah. SYAFI R. BATUAH Jalan Arimbi D473 Jakarta 10540
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini