Salah satu jalan keluar yang diusulkan untuk mengatasi harga obat yang mahal ialah mendorong dokter meresepkan obat generik (TEMPO, 10 Desember 1988, Kesehatan). Usaha lain, memotong biaya promosi dan pengurangan laba yang diraih berbagai mata rantai produksi dan distribusi. Yakni, mulai dari pemasukan bahan baku sampai obat diterima oleh penderita. Desakan dan celaan ke alamat dokter kini makin menjadi-jadi. Sehingga, timbul kesan bahwa dokterlah biang keladinya. Untuk dapat memahami masalah peresepan obat oleh dokter, terlebih dulu perlu dikemukakan pengertian obat paten dan obat generik. Obat paten adalah obat yang ditemukan sendiri oleh suatu perusahaan farmasi melalui riset dan pengembangan. Kegiatan ini mulai dari penyaringan (sekrining) bahan aktif dilanjutkan dengan pengembangan formulasi sampai ke pengujian klinis pada orang sakit. Dapat dipahami, pengembangan dan penyediaan itu menuntut biaya tinggi dan waktu lama. Untuk mengembangkan dan menguji suatu obat baru, diperlukan biaya di atas US$ 75 juta (Rp 131 milyar) serta waktu sekitar tujuh tahun, sampai obat itu diperbolehkan beredar di pasar. Atas dasar itu perusahaan farmasi mendapatkan perlindungan hak ciptanya dan mendaftarkan obat jadi (finished drug) tersebut dengan nama paten. Selama perlindungan hak paten masih berlaku, atau selama belum ada saingan, obat paten (branded innovation) ini dijual dengan harga tinggi. Itu guna mengembalikan biaya investasi, yang dikeluarkan untuk penelitian dan pengembangan. Dan sebagai peluang untuk mengecap keuntungan dari jerih payah selama ini. Setelah itu, walaupun sudah ada saingan dari obat generik, obat paten tetap laku keras. Sebab, para dokter telah terbiasa menuliskan dalam resep. Setelah masa paten suatu obat baru lewat, pabrik kimia boleh memproduksi bahan baku yang sama dan melemparkan ke pasaran. Dengan tersedianya bahan baku di pasaran, berbagai perusahaan farmasi non-innovator dapat membelinya. Kemudian membuat formulasi sendiri dan mengeluarkan produk obat baru mereka dengan nama dagang sendiri (branded generic). Sementara itu, beberapa perusahaan lain menghasilkan produk yang sama tanpa memberikan nama dagang, tetapi menggunakan nama generik bahan baku tersebut (pure generic). Saya tak membedakan branded generic dan pure generic. Sebab, keduanya diproduksi setelah lewat masa paten dengan bahan baku yang didapat dari pasar bebas. Di mana sebenarnya letak perbedaan antara obat paten dan obat generik? sehingga dokter enggan menuliskan obat generik dalam resepnya? Sudah saya kemukakan bahwa obat paten, sebagai obat jadi, telah mengalami berbagai tahap pengembangan formula dan pengujian klinis. Sehingga, dapat dipastikan kualitas formulasi dan manfaat terapinya terjamin pula, karena diproduksi dan diawasi mutunya oleh pabrik itu sendiri. Bagaimana dengan obat generik? Baik branded generic maupun pure generic sama-sama membeli bahan baku dari pasaran bebas. Sehingga, kualitas, kemurnian, stabilitas, dan sifat fisikokimia lainnya dapat berbeda. Formulasi pembuatan obat jadi dari bahan baku yang sama dapat berbeda dari satu pabrik ke pabrik lainnya. Lebih-lebih bila obat jadi itu berbentuk tablet, suntikan, dan cairan. Sebab, di samping bahan baku, diperlukan pula zat lain sebagai tambahan untuk perekat, pelapis, pengharum, pengawet, pencegah gumpalan, dan lain-lain. Alhasil, obat jadi yang berasal dari bahan baku generik yang sama mungkin kualitasnya berbeda. Dalam prakteknya, pengujian kualitas obat jadi (baik generik maupun paten) dilaksanakan secara bertahap. Yaitu di laboratorium dan di klinik. Pengujian di laboratorium diselenggarakan sendiri oleh pabrik farmasi dalam rangka good manufacturing practice. Dan secara berkala ditinjau oleh petugas pengawasan obat atau ahli dari lembaga akademis. Sedangkan pengujian klinis dilakukan di rumah sakit atau di lembaga kedokteran akademis dan melibatkan sukarelawan sehat atau orang sakit yang memerlukan obat tersebut. Pada pengujian ini, obat yang diberikan pada subyek penelitian diukur kadarnya dalam darah secara cermat dan berulang kali. Dari hasil pengukuran itu, dapat dibuat profil disposisi (naik-turunnya) kadar obat dalam darah. Bila dalam satu pengujian obat generik memperlihatkan profil disposisi yang sama dengan obat paten maka obat generik itu dinyatakan sama kualitasnya dengan obat paten. Dan dari kedua obat jadi yang sama mutunya itu (obat generik dan obat paten) diharapkan dapat diperoleh efek terapi yang setara pula. Di negara-negara Eropa Utara dan Amerika Serikat, telah disyaratkan bahwa suatu obat generik barulah boleh dipasarkan bila profil disposisinya dalam tubuh manusia sama dengan profil disposisi obat paten. Artinya, kualitasnya harus sama. Bagaimana keadaan di Indonesia? Setahu saya pengujian klinis untuk membuktikan kesamaan kualitas belum merupakan persyaratan. Beberapa pabrik farmasi memang telah melakukan hal itu secara sukarela terhadap beberapa produknya. Hasilnya, ada obat generik yang mutunya menyamai mutu obat paten. Tetapi ada pula yang hasilnya memberikan kesan mutu yang rendah. Namun, bagaimana dengan obat lain yang jumlahnya ribuan itu? Tidak semuanya harus diuji secara klinis, memang. Tetapi berdasarkan fakta penelitian dari berbagai negara, telah terlihat bahwa banyak sekali obat penting yang bersifat life saving tak memperlihatkan kesamaan mutu. Kekosongan informasi tentang kesetaraan kualitas obat generik dan obat paten ini agaknya merupakan sebab utama keengganan dokter meresepkan obat generik. Siapa yang dapat menjamin bahwa obat generik mempunyai kesetaraan efek terapi dengan obat paten? Itulah dilema dokter dalam meresepkan obat generik. DR. ARMEN MUCHTAR Percetakan Negara Kavling 39 Jakarta Pusat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini