Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEJAHATAN korupsi di Mahkamah Konstitusi mungkin tak terbayangkan bila Akil Mochtar, ketuanya yang kemudian dipecat, tak keburu tertangkap. Akil tidak hanya diduga menerima uang puluhan miliar rupiah dari penyuapnya. Lebih dari itu, akal-akalannya mengeruk uang membuat kita terbelalak. Modus operandi korupsi Akil sungguh kasar dan vulgar. Dia, misalnya, memerintahkan perusakan segel dan kunci kotak suara hasil pemilu daerah demi memenangkan penyuapnya.
Melihat modusnya, besar kemungkinan Akil tidak bertindak sendirian. Putusan majelis Mahkamah bersifat kolektif-kolegial, melibatkan lebih dari satu hakim. Bukan mustahil ada hakim lain yang terlibat. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu mendalami soal ini. Membongkar seluruh jaringan Akil di dalam dan di luar Mahkamah sangat penting demi mengembalikan kepercayaan masyarakat. Kita juga perlu mengkaji usul pembentukan pengadilan khusus sengketa pemilihan kepala daerah. Sangat berbahaya membiarkan Mahkamah, dengan kekuasaan begitu besar, mengurusi ratusan sengketa pilkada.
Besarnya kekuasaan itulah, ditambah minimnya pengawasan, yang menyebabkan Akil leluasa memainkan putusan Mahkamah. Akil bahkan tak perlu menggunakan cara yang rumit. Dengan bantuan Muhtar Ependy, teman dan adik kelasnya semasa kuliah di Universitas Panca Bhakti, Pontianak, Akil menawarkan kemenangan kepada pasangan kepala daerah yang sedang menggugat atau digugat di Mahkamah Konstitusi.
Agar gugatan itu "masuk akal", Akil memerintahkan perusakan kotak suara yang dijadikan bukti ke Mahkamah. Dengan cara ini, suara itu dianggap tidak sah. Penghitungan pun dilakukan dengan menggunakan rekapitulasi suara yang sudah dipalsukan sehingga kemenangan bisa diberikan ke pihak penyuap. Semua tidak gratis, tentu saja. Tarif Akil berkisar Rp 10-25 miliar.
Akil bahkan bisa meneror penyuap yang mengulur waktu pembayaran uang jasa. Ketika penyuap yang dimenangkan terlambat membayar, Akil memerintahkan panitera Mahkamah menyurati Menteri Dalam Negeri agar menunda pelantikan. Tentu saja "pemenang" pilkada itu ketakutan kemenangannya batal. Ia pun segera melunasi pembayaran. Modus inilah yang terjadi dalam sengketa pilkada Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan.
Sepak terjang Akil ini sekali lagi membuktikan betapa berbahayanya kekuasaan tanpa pengawasan. Undang-undang membekali Mahkamah Konstitusi dengan kekuasaan yang begitu besar. Tapi mekanisme pengawasan oleh Komisi Yudisial terhadap lembaga penting ini telah dihapus melalui judicial review pada 2006. Bahkan, kalaupun undang-undang tentang Mahkamah diamendemen sesuai dengan semangat Perpu Nomor 1 Tahun 2013 yang menambahkan pentingnya pengawasan, tak ada jaminan lembaga ini bersih dari penyalahgunaan kekuasaan.
Itu sebabnya kita mesti memikirkan lebih serius kemungkinan membentuk pengadilan khusus sengketa pemilihan kepala daerah. Pengadilan ini bisa dibuat berjenjang, baik untuk menangani sengketa pilkada tingkat provinsi maupun kota/kabupaten. Tugasnya memutus semua sengketa menyangkut pemilihan kepala daerah.
Bila pengadilan ini terbentuk, beban Mahkamah Konstitusi, yang dalam setahun bisa menyidangkan lebih dari 100 sengketa pilkada, bisa dipangkas. Mahkamah dapat berkonsentrasi pada tugasnya menyidangkan sengketa undang-undang. Selama ini terbukti Mahkamah justru terjerembap ketika menjalankan tugasnya sebagai penengah sengketa pilkada—karena sengketa inilah yang sangat rentan dengan urusan suap-menyuap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo