Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Godaan Cepu buat Dahlan Iskan

9 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MELEPAS empat ladang minyak bekas di Cepu, Pertamina sebetulnya bagai lelaki kehilangan angsa bertelur emas. Keempatnya bisa membantu perusahaan negara itu mendongkrak produksi minyak dalam negeri, yang saat ini baru 500 ribu barel per hari—jauh di bawah target 800 ribu barel. Tapi, bukannya dikelola sendiri, ladang minyak di perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah itu justru diserahkan ke Geo Minergy Sungai Lilin, perusahaan minyak swasta. Sorot mata curiga layak diarahkan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan dan Direktur Utama Pertamina Karen Agustiawan.

Meskipun sudah tua, empat ladang itu—Semanggi, Kawengan, Ledok, dan Nglobo—masih bisa menghasilkan banyak minyak. Melalui keempatnya, PT Pertamina Eksplorasi dan Produksi (Pertamina EP)—anak perusahaan Pertamina—bisa menaikkan produksi. Di Semanggi, perusahaan itu bisa memperbesar hasil dari 95 barel menjadi 685 barel per hari.

Dalam perhitungan Pertamina EP, empat lapangan bisa memproduksi minyak hingga 74 juta barel sampai tahun 2035. Dengan harga rata-rata minyak Indonesia per Oktober US$ 109,25, lapangan itu bisa menghasilkan sekitar US$ 8 miliar atau Rp 92 triliun dalam 20 tahun. Jika menggarapnya sendiri, Pertamina bisa mengantongi sekitar Rp 37 triliun—dalam persentase perbandingan pembagian minyak 60 : 40 antara pemerintah dan operator.

Potensi sebesar itu hilang karena Pertamina harus berbagi ladang dengan Geo Minergy—anak perusahaan Geo Corporation Limited, Hong Kong—melalui pola kerja sama operasi (KSO). Pernyataan Pertamina EP bahwa mereka sanggup menaikkan produksi ladang diabaikan direksi Pertamina. Aneh bin ajaib, Menteri Dahlan malah memberi "pengarahan" agar Pertamina menyerahkan lapangan minyak itu ke Geo Minergy.

Di samping merugikan secara ekonomi, pelepasan ladang jelas menyalahi aturan. Geo Minergy mendapat ladang ini melalui penunjukan langsung. Padahal, berdasarkan aturan, penunjukan langsung hanya boleh dilakukan untuk lapangan yang pengelolaannya dapat dilakukan dengan teknologi sangat sederhana. Di luar itu, pemilihan mitra KSO mesti dilakukan melalui beauty contest alias tender. Direksi baru belakangan mengubah aturan, setelah penunjukan terhadap Geo dilakukan.

Pertamina beralasan anak usahanya belum berpengalaman memompa sumur tua dengan teknologi enhanced oil recovery. Semestinya Pertamina justru memberikan kesempatan kepada anak usahanya agar lebih berpengalaman dan bukan mengebiri mereka. Apalagi Komisaris Pertamina pernah memberikan dua jempol kepada Pertamina EP ketika berkunjung ke Cepu, Agustus lalu. Pengebirian Pertamina EP jelas bertentangan dengan program Brigade 300K—upaya mencari minyak sebanyak-banyaknya, termasuk dari ladang-ladang tua—yang digagas Dahlan.

Direksi Pertamina yang juga Komisaris Pertamina EP sebetulnya sudah menunjuk konsultan independen Gaffney, Cline & Associates untuk menguji proposal Pertamina EP dan Geo Minergy. Hasilnya, proposal Pertamina EP dianggap lebih menjanjikan. Pertamina menargetkan produksi 75 juta barel selama 20 tahun, sementara Geo hanya 18 juta. Dalam proposalnya, Pertamina EP mencantumkan biaya produksi, sementara Geo tidak. Mengabaikan rekomendasi konsultan independen, Pertamina seperti buang-buang duit untuk sesuatu yang akhirnya tak dipakai.

Di luar berbagai kejanggalan, "petunjuk" Dahlan mesti dipersoalkan. Kedekatan Dahlan dengan General Manager Geo Minergy Gunawan Hadi Saputro makin membuat kita layak curiga. Gunawan pernah menjadi anak buah Dahlan di perusahaan daerah Jawa Timur—ketika pendiri grup usaha Jawa Pos itu belum menjadi Menteri BUMN. Pada 2003-2005, Gunawan adalah General Manager PT Petrogas Wira Jatim, sementara Dahlan menjabat Direktur Utama Panca Wira Usaha—perusahaan induk Petrogas Wira. Dalam surat kepada Dahlan, sebagai tanda keakraban, Gunawan membuka layang dengan tulisan "Dear DIS"—inisial yang merujuk pada nama Dahlan Iskan. Gunawan mengakui hubungannya dengan sang Menteri sebagai sahabat pena.

Memang belum ada bukti Dahlan mendapat keuntungan pribadi atas inisiatif menyorongkan perusahaan konco lawasnya itu. Terlalu jauh juga mengaitkan aksi itu dengan posisi Dahlan sebagai peserta konvensi Partai Demokrat—hajatan mencari calon presiden yang diyakini banyak orang mengeruk banyak dana dari kantong para kandidat. Tapi, tanpa penjelasan yang memadai, kecurigaan bisa melebar ke mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus