Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IBU KOTA baru Burma, Naypyidaw, mendapat giliran menyelenggarakan Southeast Asian (SEA) Games ke-27 pekan depan. Tapi yang akan terjadi tak bakal beranjak jauh dari "lagu lama": sukan olahraga senyap prestasi. Dari negara yang sudah 44 tahun absen sebagai tuan rumah itu, sulit diharapkan pecah rekor Asia, apalagi bicara performa dunia.
Perjamuan sebelas negara Asia Tenggara itu telanjur berubah menjadi sekadar perlombaan mengejar medali dan kejayaan semu. Perhelatan mahal ini semakin jauh dari cita-cita penggagasnya, Luang Sukhumnaipradit, waktu itu Wakil Presiden Komite Olimpiade Thailand, sebagai batu loncatan meraih prestasi Asia dan dunia.
SEA Games ke-26 di Palembang dua tahun lalu adalah contohnya. Meraih 182 emas, Indonesia merebut gelar juara umum kesepuluh kali. Tumpukan medali emas dari event yang menelan biaya lebih dari Rp 1 triliun itu seolah-olah menunjukkan Indonesia merupakan yang terkuat di kawasan ini. Justru di situ ironinya. Dari 577 nomor yang dilagakan di Palembang, tak sebiji pun rekor Asia bisa dilampaui, apalagi prestasi tingkat dunia. Malah yang tersebar adalah embel-embel tak sedap: pembangunan Wisma Atlet di Palembang berlumuran korupsi.
Dengan posisi cukup diperhitungkan di SEA Games Federation Office, Indonesia bisa mengusulkan agar sukan itu kembali ke jalan yang benar: hanya mempertandingkan olahraga yang dimainkan di Olimpiade dan Asian Games. Itu pun kalau Kementerian Olahraga tak ikut-ikutan terjebak dalam "syahwat" besar memburu gelar juara umum. "Arisan" gelar juara umum semestinya dihentikan.
Selama ini peserta, terutama tuan rumah, punya hak memasukkan olahraga tradisional dalam perhelatan itu. Maka lahirlah cabang-cabang yang aneh dan ajaib, yang lebih pas disebut permainan ketimbang olahraga. Vietnam memasukkan vovinam, bela diri yang dimainkan dengan pedang, tongkat, atau kipas. Di Palembang, Indonesia menambang 12 medali emas dari sepatu roda.
Trik kurang elok mengumpulkan medali ini semakin mengkhawatirkan. Indonesia, contohnya, terancam kehilangan sejumlah medali emas di Naypyidaw dalam angkat besi. Soalnya, beberapa nomor di mana atlet Indonesia tanpa pesaing di Asia Tenggara sengaja tidak dipertandingkan oleh tuan rumah.
Sebaiknya pemerintah meninjau kembali prioritas dana untuk SEA Games. Tapi sangat tak bijaksana memotong separuh bujet pada saat atlet berada dalam pemusatan latihan dan bahkan pada detik-detik terakhir keberangkatan ke SEA Games, seperti yang terjadi dengan kontingen Indonesia saat ini. Menteri Olahraga mesti malu—dan kemudian memperbaiki keadaan—manakala ada atlet yang melapor belum menerima honor bulanan, berlatih dengan peralatan seadanya, bahkan membeli vitamin dan suplemen sendiri. Kacaunya kebijakan bujet olahraga pemerintah—di mana Dewan Perwakilan Rakyat juga ikut terlibat—terlihat antara lain dalam cabang panahan. Atlet terpaksa berlatih dengan busur retak! Padahal cabang olahraga ini menyumbangkan empat medali emas di Palembang—dan medali perak di Olimpiade Seoul 1988.
Kementerian Olahraga, dan siapa pun Menteri Olahraga baru setelah pergantian kabinet tahun depan, perlu kembali pada pembinaan olahraga olimpik. Selain jumlahnya tak sebanyak cabang SEA Games, Indonesia punya peluang mencatat kejayaan sejati di pentas dunia lewat beberapa cabang potensial, misalnya angkat berat, bulu tangkis, dan renang. Itu lebih baik ketimbang sibuk menumpuk medali emas SEA Games tanpa mampu berbicara di Asia dan dunia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo