Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONTROVERSI tersulut dengan cepat setelah Menteri Kesehatan Nafsiah Mboi berikhtiar mengakrabkan kondom kepada kelompok usia muda. Niat Menteri sejatinya mulia: memperkenalkan manfaat kondom secara "total football" dari hulu ke hilir. Di hulu, para remaja diajak menghormati seks pascamarital—yang niscaya lebih sehat dan aman. Posisi hilir menyasar mereka yang telah menempuh seks berisiko agar taat kondom demi mencegah menularnya bala penyakit.
Kemudian meruyaklah pro-kontra. Yang mengusung panji-panji agama terkesiap dengan amarah. Upaya "meramahkan kondom" bagi mereka justru mendekatkan manusia pada akhlak maksiat. Kelompok pro bersetuju dengan alasan penggunaan sarana seks ini semata-mata merupakan wujud sikap rasional dan aman—semacam "sedia payung sebelum hujan".
Perdebatan sebetulnya masih bisa dihubungkan melalui "jembatan kesehatan". Sebab, satu hal sepertinya sulit dibantah, yakni tujuan pencegahan yang menyangkut kesehatan alat reproduksi. Di sinilah pentingnya melibatkan peran orang tua, pemuka agama, pendidik, serta pencerah kesehatan.
Salah satu kontribusi yang bisa mereka berikan adalah menjernihkan salah kaprah bahwa mengenalkan kondom berarti menganjurkan seks bebas. Ada dua argumentasi, paling tidak, yang bisa diajukan majalah ini. Pertama, perilaku seks bebas merupakan keputusan pribadi. Dengan atau tanpa kondom, orang tetap bisa terjun bebas dalam perilaku seks yang penuh risiko. Kondom bisa bermanfaat bahkan di arena paling mematikan: mencegah penularan AIDS serta penyakit akibat seks bebas. Kedua, dalam hubungan intramarital, sarana ini dapat pula digunakan secara patut, yakni mencegah kehamilan karena pertimbangan kesehatan atau sosial-ekonomi keluarga.
Bukan berarti langkah Kementerian Kesehatan tanpa catatan. Menteri Nafsiah perlu merenungkan derasnya tentangan yang dia terima, termasuk dari sejumlah koleganya di kabinet, kelompok-kelompok agama, hingga cendekiawan kampus. Menteri Kesehatan dan para pembantunya mungkin perlu menimbang strategi negosiasi klasik yang lazimnya bersandar pada dua hal: menyediakan data logis dan faktual, dan menaruh rasa empati dalam penyampaian.
Tolong pula diingat betapa urusan kondom masih merupakan isu sensitif di Indonesia. Berkampanye menggunakan gambar wanita muda yang auratnya exposed di wilayah publik—betapapun menariknya di mata "target pemakai kondom"—rasanya bukan cara berkomunikasi yang pas. Bila ada pihak yang ingin menebeng berdagang kondom dengan bus plus poster nona setengah telanjang, Kementerian Kesehatan harus tegas menimbang dan menolak bila cara ini kontraproduktif.
Gunakan saja fakta miris, masif, dan "bisa berbicara sendiri" dengan lantang: 2,3 juta perempuan Indonesia memilih aborsi karena seks di luar pernikahan, 6-7 juta pria Indonesia melakukan seks berisiko di tempat-tempat pelacuran, penyebaran HIV/AIDS di Indonesia pada 2011 meningkat 15 kali dibanding 2002—padahal sejak saat itu kondom sudah beredar luas—dan epidemi AIDS di Indonesia merupakan yang tertinggi di Asia. Belum lagi penularan penyakit melalui jarum narkotik.
Menteri Nafsiah memerlukan cara yang lebih bijak untuk mengundang keterlibatan masyarakat dalam kondisi kritis dan serius ini—dengan atau tanpa kondom.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo