Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
CERITA tentang Artalyta Suryani adalah cerita tentang makelar. Ia dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi dua pekan lalu karena dituding menyuap Urip Tri Gunawan, jaksa yang memimpin penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).
Acungan jempol patut diberikan kepada komisi antikorupsi itu. Penangkapan ini diharapkan bisa menguak misteri yang lebih besar di balik lolosnya sejumlah konglomerat pengemplang dana BLBI. Soalnya, Ayin, begitu nama kecil Artalyta, disangka orang suruhan Sjamsul Nursalim, konglomerat yang bertanggung jawab atas Rp 28,4 triliun fulus BLBI. Dua hari sebelum kasus suap itu terbongkar, kejaksaan menyatakan Sjamsul tak bersalah.
Patut disayangkan, Ayin telanjur merajalela. Ia pengurus partai politik dan punya banyak koneksi. Pesta perkawinan anaknya dihadiri oleh banyak petinggi politik, di antaranya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Ketua DPR Agung Laksono, dan Kepala Polri Jenderal Sutanto. Ayin juga kerap ”mondar-mandir” di lingkungan kejaksaan. Seorang kerabat Ayin menyebut Artalyta sebagai, ”Seorang yang tidak terkenal tapi mengenal dan dikenal banyak orang.” Dengan kata lain, ia di belakang layar.
Makelar, calo, broker, atau cengkau politik sebetulnya bukanlah fenomena baru. Kisah tentang mereka selalu ada dalam jagat politik. Di Indonesia peran mereka makin terdengar setelah reformasi 1998. Itulah saat Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi—ketika lubang peraturan bisa diakali dengan tawar-menawar, demokrasi belum kukuh berdiri, dan hukum tak sepenuhnya bisa ditegakkan.
Makelar politik atau makelar perkara bisa bersembunyi di balik berbagai profesi. Kerap kita dengar pekerjaan ini dilakukan oleh pengusaha, pegawai, anggota legislatif, pengacara, jaksa, polisi, atau wartawan. Perannya bermacam-macam: menyuap, memeras, atau sekadar mempertemukan penegak hukum dengan orang yang berperkara. Memberantas calo sulit dilakukan karena keberadaan mereka diakui sekaligus ditolak: diakui ketika dibutuhkan oleh penggunanya, tapi ditolak beramai-ramai ketika suatu skandal terbongkar. Dalam kasus Ayin, berbondong-bondong kini orang menyangkal mengenalnya.
Kunci memberangus calo adalah dengan memagari politikus dan penegak hukum. Di negara maju, polisi, jaksa, dan hakim ”dimatikan” hak perdatanya. Mereka, misalnya, dilarang berbisnis, tak boleh menerima hadiah, tak sembarangan boleh menerima tamu. Anggota komisi antikorupsi di Jepang, sebagai contoh, tinggal di kompleks perumahan khusus sehingga tak mudah didatangi ”tamu”. Hubungan telepon dan komunikasi lainnya dipantau dengan seksama.
Aturan yang mengurusi perilaku penegak hukum di Indonesia bukan tak ada. Yang relatif lengkap adalah kode etik Komisi Pemberantasan Korupsi. Di lembaga itu pegawai dilarang membawa tamu yang tak jelas juntrungannya ke kantor. Kegiatan dengan pihak ketiga yang bisa menimbulkan konflik kepentingan juga diharamkan. Seorang penyidik dilarang ikut meneliti suatu kasus jika sang tersangka punya hubungan famili dengan penyidik itu.
Seperti juga penyelenggara negara lainnya, pegawai KPK dilarang menerima hadiah. Gratifikasi Rp 10 juta atau lebih haruslah dilaporkan dan dibuktikan bukan suap. Dalam konteks ini patut disokong aksi KPK yang merazia kotak sumbangan dalam hajatan perkawinan keluarga pegawai negeri dan penyelenggara negara lainnya.
Ada lagi yang unik: pegawai KPK, kecuali karena tugas dan atas perintah atasan, dilarang mendatangi tempat tertentu yang bisa merusak citra Komisi. Pasal ini bisa dikenakan kepada mereka yang hadir di hajatan orang yang berperkara. Artalyta ketika mengawinkan anaknya memang tak sedang menjadi tersangka sebuah kasus. Tapi terlalu naif untuk mengatakan para pejabat kita tak tahu sepak terjangnya. Seandainya kode etik KPK ini bisa diberlakukan untuk penyelenggara negara lainnya, kehadiran Presiden, Ketua DPR, dan Kepala Polri di pesta Artalyta mestinya bisa disemprit.
Melihat perannya dalam kasus suap jaksa Urip, bukan tak mungkin Ayin banyak ”menebar budi”. Penegak hukum mestinya tak sungkan menelusuri kasus ini hingga akar terjauh. Komisi antikorupsi tak perlu takut. Urip kuat diduga bukan satu-satunya penerima. Apalagi koruptor dalam birokrasi kita mengenal istilah ”waskat”, ”wasping”, ”waswah” (wajib setor ke atas, wajib setor ke samping, dan wajib setor ke bawah)—istilah yang menunjukkan bahwa korupsi melibatkan jaringan yang bertali-temali.
Kasus Artalyta dan jaksa Urip adalah pintu masuk. Pengungkapan skandal ini tak boleh berhenti hanya pada keduanya. Gunung es itu harus terungkap seluruhnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo