Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalah kenaikan harga kedelai saat ini mencerminkan problem laten pemerintah: lamban. Pemerintah baru tergopoh-gopoh ketika para perajin tempe dan tahu mendemo Istana. Padahal, kenaikan harga kedelai sudah terjadi jauh sebelumnya. Para ahli dan pelaku pasar dunia juga sudah meramalkan.
Empat tahun lalu, salah satu legenda pasar komoditas Wall Street, Jim Rogers, sudah mengeluarkan peringatan soal itu. Menurut pendiri perusahaan investasi Quantum Fund ini, dunia memang sedang memasuki siklus tingginya harga komoditas. Tidak hanya kedelai, tapi juga kelapa sawit dan jagung. Suplai dan permintaan dunia timpang.
Suplai dari Amerika Serikat, sebagai produsen kedelai terbesar di dunia, turun. Petani Amerika lebih suka menanam jagung karena pemerintahnya sedang getol mengembangkan etanol berbahan baku jagung. Pada saat yang sama, produksi kedelai di Indonesia terus-menerus turun. Sebaliknya, permintaan kedelai terus meningkat, tidak hanya di Indonesia tapi juga di seluruh dunia.
Kasus Indonesia tidak sesederhana yang disampaikan Rogers. Sejak 1975, Indonesia menjadi importir kedelai. Jumlah impor bahkan terus meninggi. Saat ini, sekitar 60 persen dari kebutuhan kedelai Indonesia—sekitar 2 juta ton setahun—dipasok negara lain. Penyebabnya adalah kebutuhan yang meningkat jauh lebih pesat ketimbang produksi yang justru terus menurun.
Penurunan produksi kedelai sudah lama diketahui penyebabnya, tapi tak kunjung dipecahkan: lahan menyempit dan petani enggan menanam. Ini urusan hukum ekonomi semata. Keuntungan yang diperoleh petani dari kedelai jauh lebih rendah dibandingkan menanam jagung atau beras. Produktivitas kedelai di sini juga jauh di bawah negara lain. Mudah diterima, harga kedelai lokal melesat.
Di pasar hanya ada empat importir besar yang menguasai 60 persen pangsa pasar. Merekalah yang menyetir harga. Tidak salah bila pengusaha tahu dan tempe menuding importir memainkan harga kedelai dalam dua pekan terakhir ini. Kecurigaan itu makin kuat tatkala diketahui, berdasarkan data Departemen Pertanian, cadangan kedelai saat ini masih sekitar 250 ribu ton. Cadangan ini mestinya aman untuk dua bulan.
Dugaan tentang adanya tangan-tangan kuat yang bermain di jalur distribusi, yang mengakibatkan harga naik setiap hari, juga beralasan. Sebab, menjelang pengusaha tempe dan tahu berdemonstrasi ke Istana, tiba-tiba harga kedelai di pasar lokal turun walaupun di pasar internasional harga masih bergejolak.
Boleh jadi, penurunan terjadi karena pemerintah memangkas bea masuk kedelai menjadi nol persen. Bisa juga para importir sedang meredam kenaikan harga kedelai. Untuk mengujinya, Komisi Pengawas Persaingan Usaha perlu turun ke lapangan. Patut diduga, pasar yang hanya berisi empat pemain itu bersifat oligopolistik dan itu merugikan konsumen. Komisi bisa meneliti kemungkinan terjadinya kartel di pasar kedelai Indonesia.
Itu memang bukan solusi tunggal. Sektor pertanian harus dibereskan. Melihat tren dunia, sulit berharap harga kedelai akan turun. Departemen Pertanian, yang selama ini tak bisa mendata secara persis produksi bahan pokok seperti beras, bisa mendorong petani menanam kedelai dengan menyediakan bibit gratis, misalnya. Pemerintah juga perlu menjaga pasar agar adil bagi siapa pun, termasuk konsumen.
Keseimbangan suplai dan permintaan di pasar bisa dimonitor kalau pemerintah bekerja lebih bergegas dan lebih terkoordinasi. Pada zaman informasi ini, kegagalan membaca tren pasar dunia adalah aib memalukan—yang sayangnya telanjur merugikan rakyat kecil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo