Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akhir April 2024 merupakan salah satu waktu tersibuk bagi delegasi berbagai negara, akademikus, pihak industri, organisasi internasional, dan tentunya pegiat lingkungan. Sesi keempat Komite Negosiasi Antarpemerintah (INC-4) yang digelar di Ottawa, Kanada, menjadi ajang debat untuk mengembangkan instrumen yang mengikat secara hukum internasional mengenai polusi plastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selama tujuh hari penuh, semua peserta membahas apa yang perlu dilakukan untuk mengelola sampah plastik secara detail dari berbagai sudut pandang dan latar belakang peserta. Walaupun masih terdapat suara minor yang menyatakan sesi ini belum menghasilkan kesepakatan kuat untuk mengatasi polusi plastik, pada akhir sesi, delegasi dan peserta INC-4 menyepakati dua hal. Pertama, mengembangkan mekanisme tata kelola dari sisi pendanaan serta keuangan. Kedua, menganalisis isi produk plastik dan bahan kimia penyusunnya sehingga dapat mengoptimalkan prosedur daur ulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengapa sampai ada pembahasan global perihal polusi plastik? Sampah plastik sudah menjadi ancaman serius karena mengganggu keseimbangan ekosistem pesisir dan laut, bahkan menyebabkan kematian banyak satwa. Plastik juga berkaitan dengan perubahan iklim karena produksinya yang amat bergantung pada bahan bakar fosil. Makin banyak plastik baru diproduksi, jumlah karbon yang lepas ke atmosfer makin tinggi. Padahal plastik awalnya dibuat untuk mengurangi laju penebangan pohon.
Plastik sejatinya dapat didaur ulang. Namun saat ini tingkat daur ulang plastik masih sangat rendah, sekitar 10 persen. Proses pengambilan limbah plastik juga masih bergantung pada sektor informal, itu pun jenis yang dapat didaur ulang terbatas. Sedangkan sisanya? Terlepas ia diantarkan ke tempat pengolahan akhir (TPA), dapat dikatakan sebagian besar sampah plastik akan berakhir dan telantar di lingkungan, baik di jalan, taman, sungai, maupun pesisir dan lautan.
Studi awal yang dipublikasikan pada 2015 oleh Jenna Jambeck dari University of Georgia menempatkan Indonesia sebagai negara penyumbang sampah plastik ke lautan terbesar kedua di dunia, setelah Cina. Studi dengan model simulasi itu menyebutkan 0,48-1,29 juta ton sampah plastik masuk ke perairan laut Indonesia setiap tahun. Kajian ini kemudian dikonfirmasi oleh Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yang kini bertransformasi menjadi Pusat Riset Oseanografi pada Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dengan hasil 0,27-0,59 juta ton per tahun.
Dibanding studi Jambeck, angka hitungan studi terbaru yang didapatkan dengan verifikasi data lapangan tersebut 8-16 kali lebih kecil. Walau demikian, angka kebocoran sampah itu tetaplah besar dan dapat mengganggu lingkungan. Penelitian itu juga memperkirakan terdapat 8,32 ton per hari sampah plastik yang sampai ke Teluk Jakarta.
Banyaknya sampah plastik yang tidak terkelola dengan optimal berimbas pada pergerakan sampah plastik dari satu tempat ke tempat lain. Ketika sudah sampai wilayah pesisir dan laut, sampah plastik dapat berlayar lintas batas, lintas wilayah kabupaten/kota, provinsi, hingga lintas negara dan benua.
Hasil penelitian BRIN menemukan lebih dari setengah sampah plastik yang dibuang penduduk menuju daerah aliran sungai pada sungai utama di Jawa dan Bali, lalu terdampar di wilayah yang tidak jauh dari muara sungai. Setengah sisanya bergerak ke wilayah lain hingga garis batas perairan Indonesia.
Sampah plastik Indonesia juga dapat berkelana ke negara tetangga. Dari hasil riset tersebut diketahui, dalam hitungan bulan, sebanyak 10-20 persen sampah plastik dari Indonesia bisa bergerak ke Samudra Hindia dan berlabuh di pantai negara kepulauan, seperti Maladewa, Seychelles, Mauritius, dan Madagaskar. Bahkan, dalam waktu kurang-lebih satu tahun, sampah Indonesia juga bertualang hingga Afrika Selatan sampai akhirnya menjelajahi Samudra Atlantik.
Di sisi lain, letak geografis Indonesia yang sangat unik mengakibatkan sampah plastik dari negara tetangga atau lintas samudra dapat masuk ke perairan Tanah Air. Pantauan lapangan di wilayah perbatasan dengan aktivitas transportasi laut, seperti di Selat Malaka dan Selat Karimata, menunjukkan adanya pertukaran sampah keluar dan masuk wilayah Indonesia. Ya, arus laut dengan segala keindahan dan misterinya seperti pedang bermata dua: dapat menjemput sekaligus mengantar sampah plastik keluar-masuk wilayah pesisir dan laut di dunia.
Permasalahan sampah plastik yang masuk ke ekosistem pesisir dan laut bukan hanya perpindahan posisinya. Sampah plastik di lingkungan akan terpapar radiasi sinar ultraviolet, gaya mekanik, reaksi oksidasi dan hidrolisis, serta biodegradasi karena peran mikroba di alam. Faktor tersebut menyebabkan ukuran sampah plastik makin kecil. Sampah plastik yang makin kecil hingga ukuran mikroskopis atau yang dikenal dengan istilah mikroplastik menambah kontribusi pada tantangan global sampah plastik.
Berdasarkan hasil riset, mikroplastik dapat tersebar lebih jauh karena terbawa arus laut hingga wilayah tanpa penghuni di perairan laut dalam sampai lebih dari 10 ribu meter. Bahkan mikroplastik juga ditemukan “berlayar” di udara sehingga kita berpotensi menghirupnya. Kabar buruknya, makin kecil ukuran plastik, makin besar kemungkinannya masuk ke tubuh sehingga mengakibatkan dampak lebih besar.
Sampah mikroplastik yang “berlayar” dan kasatmata ditengarai sebagai pemicu makin seringnya orang mengalami gangguan kesehatan, dari masalah pencernaan, pernapasan, hormon, hingga reproduksi. Secara hipotesis, bukan tidak mungkin penyakit-penyakit yang timbul sekitar satu dekade terakhir, seperti sejumlah tumor atau kanker serta gangguan autoimun, disebabkan oleh sampah plastik. Walaupun demikian, hal ini memerlukan pembuktian dan riset lebih lanjut.
Memang, sampah plastik tidak menyebabkan kematian secara langsung. Namun sampah plastik dapat menimbulkan efek kronis dengan konsekuensi jangka panjang. Karena itu, dapat dikatakan sampah plastik adalah bom waktu yang dapat meledak kapan pun.
Sampah plastik yang "berlayar" tanpa batas harus dihentikan agar tidak mengganggu keseimbangan ekologi. Terlebih, di masa depan, ancaman akibat kompleksitas sampah plastik dengan berbagai ukuran yang "berlayar" antar-bagian ekosistem diprediksi makin besar. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi yang tidak diiringi pengelolaan lingkungan yang tepat akan menimbulkan implikasi yang tidak terkendali.
Lalu apa yang perlu dilakukan? Presiden Majelis Lingkungan Hidup Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEA) kelima, Espen Barth Eide, menyatakan, “Ini bukanlah perlawanan melawan plastik; ini adalah pertempuran melawan polusi plastik!" Perlu ada gebrakan khusus yang dapat meliputi sistem pengelolaan sampah yang memadai dan terpadu serta sesuai dengan karakteristik masyarakat di Indonesia.
Pengelolaan harus dilakukan dari sumbernya: aktivitas masyarakat. Solusi darurat yang harus diwujudkan adalah meningkatkan persentase penjemputan sampah dari sumber, membersihkan sampah yang telah bocor ke lingkungan, serta mengimplementasikan berbagai terobosan teknologi di TPA. Di sisi lain, peran besar produsen atau industri, periset, dan akademikus diperlukan untuk mengubah desain produk serta meningkatkan efektivitas dan efisiensi daur ulang sehingga dampak sampah plastik dapat dikurangi secara signifikan.
Memang, hal tersebut membutuhkan dana yang besar, diperkirakan Rp 16-30 triliun. Namun, jika itu tidak dilakukan secepatnya, kerugian ekonomi akibat sampah plastik yang "berlayar" bisa mencapai 10 kali lebih besar.
Solusi lebih panjang berikutnya adalah meningkatkan peran pendidikan dalam mengubah pola pikir masyarakat untuk kehidupan yang berjalan berdampingan dengan alam dan lingkungan hidup. Kita patut mengingat peribahasa yang cukup terkenal dari suku Cree Indian, "Hanya ketika pohon terakhir telah mati, sungai terakhir telah teracuni, dan ikan terakhir telah tertangkap, kita akan menyadari bahwa kita tak bisa makan uang."
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo