Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peningkatan harga minyak dunia belakangan ini banyak diberitakan media massa, karena kenaikannya memang sangat cepat dan bahkan sudah mencapai US$ 42 per barel, melampaui harga pada masa-masa krisis sebelumnya.
Kemudian hasil pertemuan sebelas negara anggota organisasi pengekspor minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries, OPEC) tentang kenaikan atau penurunan pasokan minyak menjadi berita yang ditunggu-tunggu untuk memberikan arah pergerakan harga minyak ke depan.
Bahkan para pemimpin ekonomi negara maju pengimpor minyak juga turut memberikan tekanan agar OPEC menaikkan pasokan. Yang lebih mengejutkan, Indonesia, yang selama ini selalu bangga disebut sebagai negara kaya penghasil minyak, juga terkena imbas negatif.
Kenaikan harga minyak dunia disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain kenaikan permintaan riil oleh negara raksasa baru di bidang ekonomi, seperti Cina dan India, serta kenaikan permintaan pada masa mendatang (future demand) oleh negara-negara kaya yang sedang mengalami pemulihan ekonomi, terutama Amerika Serikat dan Jepang.
Di sisi lain, tambahan penyediaan minyak sangat kecil bahkan ada kemungkinan penurunan produksi yang disebabkan ketidakpastian keamanan, seperti terjadi di Irak, atau serangan teroris terhadap pekerja minyak di Arab Saudi baru-baru ini.
Hal yang terakhir ini membuat pelaku pasar minyak dunia menjadi tidak nyaman dan bahkan mencoba membuat berbagai skenario dari yang optimistis sampai yang sangat pesimistis.
Fakta yang harus kita sadari, dan sebetulnya bukan hal baru, adalah bahwa Indonesia ternyata sudah menjadi pengimpor minyak (net importer). Artinya, jumlah minyak yang diimpor lebih besar ketimbang yang diekspor.
Hal ini disebabkan oleh dua faktor. Pertama, produksi minyak Indonesia sudah turun dari 1,450 juta barel per hari pada 1999 menjadi 1,072 juta barel tahun ini. Kedua, konsumsi minyak dalam negeri naik dari sekitar 50 juta kiloliter menjadi 62 juta kiloliter pada periode yang sama.
Kenaikan konsumsi tentu hal yang wajar sesuai dengan peningkatan aktivitas ekonomi, akan tetapi penurunan produksi patut menjadi pertanyaan besar: mengapa?
Berdasarkan perhitungan Departemen Keuangan, dengan mempertimbangkan kenaikan pendapatan (dari pajak penghasilan minyak dan hasil penerimaan negara bukan pajak) maupun kenaikan pengeluaran dari kenaikan subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan bagi hasil ke daerah, setiap kenaikan harga US$ 1 per barel akan menambah defisit anggaran tahun ini Rp 0,1 triliun.
Dampak kenaikan harga minyak ini terhadap Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun depan akan lebih besar. Defisit akan membengkak Rp 0,9 triliun untuk setiap kenaikan harga minyak US$ 1 per barel.
Tahun depan tambahan defisit lebih besar karena ada tambahan pengeluaran untuk dana alokasi umum maupun subsidi karena kenaikan konsumsi.
Asumsi tambahan yang menjadi dasar perhitungan adalah harga BBM tidak dinaikkan, alokasi bagi hasil sesuai dengan realisasi, dan nilai rata-rata kurs rupiah 8.700 per dolar AS.
Secara singkat dapat dihitung bahwa akan ada tambahan defisit anggaran Rp 1 triliun sampai Rp 1,3 triliun apabila harga rata-rata minyak naik US$ 32-35 per barel sepanjang tahun ini. Selanjutnya dampak kenaikan minyak terhadap APBN 2005 tentu akan menjadi lebih besar lagi dan dapat dihitung berdasarkan rumusan tersebut.
Dari perhitungan sederhana tersebut dapat disimpulkan bahwa dampak kenaikan harga minyak terhadap anggaran 2004 (APBN Perubahan) tidaklah terlalu besar dan masih manageable. Jadi, apa yang menyebabkan hal ini menjadi berita besar bagi media massa serta para analis keuangan?
Tidak bisa dimungkiri, dari hasil perhitungan di atas bahwa memang ada dampak negatif dari kenaikan minyak. Namun pada saat yang bersamaan bercampur baur pula dengan berita permasalahan arus kas Pertamina.
Yang lebih utama adalah kurangnya distribusi informasi yang akurat dari pemerintah tentang besaran dampak terhadap anggaran seperti tercantum dalam contoh perhitungan di atas.
Hal lain yang sangat mengganggu persepsi pelaku pasar maupun para analis adalah bahwa negara kita telah menjadi pengimpor minyak serta tidak adanya kebijakan strategis untuk mencari solusinya.
Seiring dengan gonjang-ganjing kurs dan pasar saham, para analis maupun para pengelola portofolio investasi mulai mencari-cari dan mengais-ngais data kelemahan fundamental, termasuk kebijakan fiskal yang selama ini justru menjadi tulang punggung keberhasilan penanganan ekonomi Indonesia.
Departemen Keuangan telah mengusulkan beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk mengurangi dampak negatif kenaikan harga minyak terhadap APBN 2004 dalam jangka pendek.
Pertama, APBN Perubahan dipercepat persetujuannya oleh DPR, sehingga bisa dilakukan penyesuaian angka penerimaan, pengeluaran, maupun defisit. Demikian pula soal penetapan sumber pembiayaan, apakah melalui cadangan yang memang selalu dipersiapkan oleh pemerintah untuk kejadian di luar perkiraan, ataupun dari realisasi tambahan setoran Badan Penyehatan Perbankan Nasional.
Kedua, permasalahan internal Pertamina, baik yang menyangkut arus kas maupun masalah strukturalnya, harus segera diselesaikan, sehingga tidak bercampur baur dengan masalah anggaran negara.
Di samping hal tersebut, beberapa tambahan langkah yang dapat ditempuh adalah: penghematan pemakaian BBM perlu digiatkan, sehingga kenaikan subsidi dapat dikurangi. Selain itu, mengawasi secara ketat penyelundupan BBM serta mengurangi terjadinya penyalahgunaan pemakaian BBM yang disubsidi.
Sedangkan untuk APBN 2005 dapat ditempuh kebijakan yang lebih struktural, yang tidak feasible ditempuh pada tahun 2004. Langkah-langkah tersebut antara lain, pertama, pengurangan subsidi komoditas menjadi subsidi langsung kepada yang benar-benar membutuhkannya (tepat sasaran) melalui penyesuaian harga BBM sesuai dengan harga minyak dunia. Hal tersebut tidak feasible dilakukan tahun ini karena begitu besarnya risiko politik pada saat pemilihan umum.
Kedua, diperlukan langkah strategis untuk menanggulangi masalah net importer. Caranya, dengan menggiatkan investasi dan usaha eksplorasi minyak yang sudah tertunda lama sejak krisis karena lingkungan usaha yang tidak mendukung.
Menurut informasi dari para ahli perminyakan, cadangan minyak di Indonesia masih cukup besar akan tetapi tidak ada kegiatan eksplorasi baru. Untuk ini perlu kebijakan komprehensif yang mengikat pemerintah pusat maupun daerah dalam menciptakan lingkungan investasi yang kondusif.
Ketiga, perlu penyesuaian bagi hasil minyak ke daerah. Adalah kurang adil kalau semua subsidi harus ditanggung oleh pemerintah pusat, termasuk subsidi dari konsumen yang tinggal di daerah penghasil minyak.
Keempat, perlu digalakkan efisiensi dan diversifikasi penggunaan energi sehingga ketergantungan terhadap BBM bisa dikurangi secara bertahap.
Gonjang-ganjing harga minyak dunia seharusnya tidak terlampau berpengaruh besar terhadap ekonomi (anggaran) Indonesia. Lagi pula sumber pembiayaan untuk menutupi kenaikan defisit masih tersedia.
Komunikasi yang cepat tentang keadaan anggaran yang sesungguhnya, didukung dengan angka akurat, perlu disebarluaskan kepada para pelaku ekonomi maupun analis sehingga tidak ada lagi yang mempertanyakan (second quest) ketahanan fiskal pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo