Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Pre-Power Syndrome

7 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ignas Kleden Sosiolog, Direktur Center for East Indonesian Affairs (CEIA)

Kekuasaan tampaknya selalu memberikan efek kejiwaan. Seseorang yang mengakhiri kekuasaannya sering terkena gejala post-power syndrome berupa kondisi kejiwaan yang ditandai oleh depresi, stres, gangguan kesehatan, atau perilaku yang menonjol-nonjolkan kekuasaan yang dalam kenyataan tak dimilikinya lagi.

Mengapa orang dapat terganggu keseimbangan jiwanya jika dia tiba-tiba terpisah dari kekuasaan yang untuk jangka waktu tertentu diberikan kepadanya? Mungkin ada berbagai sebab. Namun, salah satu faktor yang menentukan adalah persepsi terhadap hubungan antara identitas pribadi dan posisi kekuasaan. Biasanya seorang pemimpin yang melihat identitas pribadinya sebagai hal yang berbeda dari kekuasaan yang sedang dimilikinya dapat mengatasi dengan cepat perubahan situasi dari berkuasa menjadi tidak lagi berkuasa. Dia tidak menjadi linglung dan kaget terlalu lama, dan dapat segera meneruskan peranannya sebagai anggota aktif masyarakat, dengan mengajar, menulis di surat kabar, menjadi pembicara dalam seminar dan diskusi, atau terlibat sebagai anggota aktif organisasi kemasyarakatan.

Kita mengenal beberapa tokoh kita yang cukup lama berkecimpung dalam pemerintahan yang setelah meninggalkan jabatannya tetap aktif dan kreatif sebagai anggota masyarakat biasa. Dari masa Orde Lama, patut disebut Bung Hatta sebagai contoh seseorang yang tetap mengisi hidupnya dengan berbagai kegiatan dan kebajikan setelah mengundurkan diri dari posisi tertinggi nomor dua. Atau juga Haji Agus Salim, yang setelah meninggalkan tugas-tugas politik dan diplomatiknya tetap giat membimbing para cendekiawan muda, memberi kuliah di dalam dan di luar negeri, dan menuliskan buah pikirannya tentang berbagai soal.

Dari masa Orde Baru, para bekas menteri seperti Prof. Mukti Ali (alm.), Prof. Sumitro Djojohadikusumo (alm.), Prof. Sarbini Sumawinata, Prof. M. Sadli, dan Drs. Frans Seda adalah beberapa nama yang tetap mempertahankan ketokohan mereka dengan pikiran-pikiran yang menjadi rujukan masyarakat, juga setelah mereka tidak punya posisi kekuasaan lagi. Para tokoh ini adalah orang-orang yang mengandalkan identitasnya, dan tidak melihat dirinya identik dengan posisi kekuasaan yang pernah diembannya. Kebetulan pula identitas para tokoh tersebut ditandai pertama-tama oleh kecendekiaan mereka, dengan kompetensi dan reputasi yang diakui publik. Maka, dengan cepat mereka memanfaatkan kembali kompetensi tersebut di luar kekuasaan, dengan berbagai kegiatan yang tidak hanya berhubungan dengan kepentingan pribadi tetapi menyangkut nasib orang banyak.

Sebaliknya, kesulitan besar sering menimpa orang-orang yang melihat posisi kekuasaannya sebagai bagian penting atau bahkan sebagai unsur konstitutif dari identitas mereka. Di sini kekuasaan tidaklah dihayati sebagai kesempatan mewujudkan kompetensi dan bakat-bakat seseorang, tetapi malahan sebagai faktor penting yang membentuk keberadaannya sebagai pribadi. Seakan dalil filsafat Descartes diterapkan dalam parafrase: saya berkuasa, maka saya ada. Kalau hal ini terjadi, jelas pula akibatnya bahwa hilangnya kekuasaan efektif menjadi ancaman atau gangguan yang bersifat eksistensial. Sendi-sendi identitas dan tiap topang bagi kepribadian dan kedirian seseorang menjadi guncang dan menimbulkan efek kejiwaan yang tampak dalam berbagai gejala psikosomatis.

Namun, keguncangan jiwa dan terganggunya mental equanimity tidak hanya terdapat pada orang-orang yang kehilangan kekuasaan, namun juga dapat diamati pada diri mereka yang sedang berjuang untuk berkuasa tetapi belum memiliki kekuasaan itu dalam tangannya. Menarik disimak bagaimana para ketua partai politik yang lolos ambang elektoral tiba-tiba merasa diri sebagai presiden-potensial dan berubah tingkah-lakunya. Sekonyong-konyong rakyat Indonesia disuguhi pemandangan tentang banyaknya orang-orang yang seakan layak jadi presiden. Media audio-visual semakin memaksa orang-orang yang merasa berkemungkinan menjadi presiden supaya "terdengar dan terlihat" presidensial.

Dengan penuh keahlian, para calon presiden "dikemas" oleh para spesialis media. Gaya bicaranya semakin berat, pasti, dan penuh determinasi. Tampilannya bertambah rapi dengan outfit yang semakin hari semakin protokoler. Erudisi mereka juga sangat meningkat dalam waktu singkat, dan sanggup berbicara dengan elokuensi yang lumayan tentang keamanan dan penyelesaian konflik, tentang stabilisasi rupiah dan tingkat pertumbuhan ekonomi, tentang globalisasi dan utang luar negeri, tentang kemiskinan dan pengangguran serta resep mengatasinya, tentang kualitas manusia dan SDM, tentang pendidikan dan lapangan kerja, tentang kehidupan agama dan moralitas politik, hingga ke soal-soal lingkungan hidup dan perlunya rezim-rezim internasional. Seakan media audio-visual dirasa belum cukup, mereka pun rajin menyusun biografi atau otobiografi dalam format dan ukuran yang kadang kala menimbulkan rasa heran.

Para teoretisi pos-modernis ternyata banyak benarnya bahwa kehidupan dunia modern hampir seluruhnya ditentukan oleh simulacra, yaitu persepsi, imaji, dan tanggapan terhadap kenyataan, atau citra yang ditawarkan kepada kita oleh media massa, dan bukannya oleh interaksi kita sendiri secara langsung dengan kenyataan. Maka, iklan bertujuan menciptakan citra dan persepsi yang dikehendaki oleh produk-produk industri, seperti juga kampanye politik menciptakan simulacra tentang produk-produk kebijakan publik dan ketokohan orang yang menjalankannya.

Dari segi itu, dapat dipahami bahwa para calon presiden kita cekatan sekali memanfaatkan segala media yang tersedia untuk mempengaruhi persepsi politik?melalui penciptaan simulacra, yaitu bayangan, tanggapan, dan citra?yang membenarkan visi politik mereka atau yang meyakinkan kita tentang kompetensi dan integritas mereka masing-masing. Acara talk show di televisi, pertemuan tatap muka dengan kalangan terbatas, political rally dengan massa pendukung adalah program penciptaan simulacra yang akan mempengaruhi persepsi publik. Demikian pun biografi dan otobiografi dalam versi panjang atau pendek terpampang di toko buku atau di kios buku dan berusaha menciptakan kesan kedekatan tiap calon presiden dengan rakyat dan kesungguhan mereka mengatasi masalah-masalah yang sampai sekarang belum terselesaikan.

Ini tentulah sebuah gejala baru yang memberi lapangan kerja kepada para penulis yang bersedia mengemas narasi tentang calon yang dijagokan, seperti halnya para copywriter menulis iklan dan advertorial untuk produk-produk industri. Dalam sejarah, lebih sering terjadi hal yang sebaliknya, yaitu bahwa para pemimpin politik menuliskan kenang-kenangan atau memoar mereka justru setelah mereka mengundurkan diri dari posisi kekuasaan.

Presiden John F. Kennedy menulis Profiles in Courage sebelum menjadi presiden, tetapi buku itu sama sekali bukan berisikan kampanye buat dirinya, melainkan berisi riwayat para negarawan Amerika Serikat yang justru tidak mau tergoda oleh simulacra dan enggan berkompromi dengan persepsi publik karena hendak mempertahankan keyakinan politik mereka. Barulah setelah Presiden Kennedy meninggal dunia, muncul berbagai versi biografi tentang dirinya, dari biografi dengan dokumentasi yang cermat dan ditulis dengan metode dan teknik yang baik seperti yang dilakukan oleh Arthur M. Schlesinger Jr. hingga ke biografi yang lebih menyoroti segi-segi personal kehidupan Kennedy. Jimmy Carter menulis memoar Keeping Faith setelah meninggalkan Gedung Putih. Di Jerman, bekas kanselir Helmut Schmidt menuliskan pengalamannya bergaul dengan para penguasa dunia dari tiga negara besar pada waktu itu, yakni Rusia, Cina, dan Amerika Serikat. Bukunya, Menschen und Maechte (manusia dan kekuasaan) terbit setelah dia tidak jadi kanselir lagi tetapi kembali menjadi pemimpin umum koran intelektual Jerman, Die Zeit, dan penceramah internasional.

Contoh yang paling spektakuler tentulah mahakarya Winston Churchill tentang pengalamannya memimpin Inggris sebagai pihak yang tak terkalahkan selama Perang Dunia II. Tiga jilid besar The Second World War (dengan ketebalan rata-rata 750 halaman) ditulis dengan semangat yang merupakan kombinasi nasionalisme dan humanisme yang tinggi: in war: resolution, in defeat: defiance, in victory: magnanimity, in peace: good will, yaitu tegas dalam perang, bertahan selagi kalah, baik hati kalau menang, dan menjaga hubungan baik dalam masa damai. Di negeri kita, Bung Hatta menulis Memoir dengan disiplin dan mutu yang dapat dibandingkan dengan memoar pemimpin dunia lain. Bung Karno pernah mendiktekan riwayatnya kepada Cindy Adams, tetapi dia sendiri tidak menuliskan biografinya, meskipun para peneliti asing seakan berebut menulis riwayat hidup dan perjuangan politiknya.

Biografi dan historiografi berhubungan bagaikan adik dengan abang. Penulis biografi yang baik selalu menyadari bahwa tokoh yang hendak diriwayatkan memang penting, tetapi dia tidak selayaknya menjadi fokus seluruh narasi. Tokoh itu selayaknya diperlakukan sebagai sebuah perspektif, yaitu jendela tempat pembaca dapat memandang sejarah pada suatu masa. Dia hanya simulacrum yang merepresentasikan masanya. Demikian pula penulis otobiografi yang berhasil ternyata selalu berusaha bercerita tentang diri dan hidupnya, tetapi dengan cara itu mengatakan jauh lebih banyak perkara penting lainnya yang memberi konteks bagi pemahaman pembaca tentang zamannya. Sebaliknya, sebuah otobiografi yang gagal biasanya ditandai oleh personal bias yang tidak terkontrol. Pengarang seakan menyinggung banyak perkara dalam kisahnya, tetapi pada akhirnya hanya bercerita tentang dirinya sendiri. Sejarah seakan simulacrum yang merepresentasikan diri sang tokoh.

Kebiasaan para calon presiden kita menuliskan otobiografi mereka bisa bermanfaat kalau otobiografi itu menjadi kisi-kisi bagi pembaca untuk memahami politik Indonesia masa kini. Kalau buku-buku itu hanya bermaksud mengejar pasaran politik saat ini, hanya setelah beberapa waktu buku-buku itu akan menjadi dokumen yang diabaikan. Sebab, daripada menjadi testamen untuk masanya, penulisan itu hanya akan diingat sebagai ekspresi dari pre-power syndrome.

Jakarta, 1 Juni 2004

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus