Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Antara NU dan PKB

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mahrus Irsyam Dosen Jurusan Ilmu Politik FISIP UI dan Ketua Laboratorium Ilmu Politik FISIP UI REFORMASI telah meruntuhkan landasan dasar lahirnya Khittah NU. Empat hal yang terkandung dalam khitah tersebut adalah, pertama, NU kembali menjadi ormas, bukan lagi parpol. Kedua, ulama dikembalikan sebagai kekuatan utama yang menentukan proses pengambilan keputusan di NU. Bahkan ditegaskan bahwa NU itu ormasnya para ulama. Ketiga, hak berpolitik dikembalikan kepada setiap individu kaum nahdliyin. Artinya, diakhirinya ketergantungan politik kaum nahdliyin terhadap ulama. Keempat, dalam berpolitik praktis hendaknya kaum nahdliyin berpegang pada akhlakul karimah, akhlak yang terpuji, sebagai sebuah etika politik. Khittah NU itu adalah produk hukum Islam, hukum fikih, yang harus dilihat dalam perspektif al hukmu maal illah, ditempatkan dalam kerangka sebab-akibat. Kebijakan Orde Baru seperti pemisahan agama (baca: Islam) dengan politik; UU Partai Politik yang membatasi jumlah partai, hanya Golkar, PDI, dan PPP; UU Keormasan yang melarang ormas menjadi onderbouw parpol; dan kebijakan massa mengambang adalah penyebab lahirnya Khittah NU tersebut. Jatuhnya Soeharto berarti runtuhnya pula kebijakan-kebijakan tersebut. Sistem kepartaian menjadi sistem multipartai; kedaulatan dikembalikan kepada rakyat, yang menandai jebolnya "tembok" massa mengambang; Islam kembali dijadikan ideologi oleh beberapa parpol; dan parpol-parpol mendirikan organisasi onderbouw. Tegasnya, landasan dari lahirnya Khittah NU ikut runtuh. Konsekuensinya, Khittah NU tidak lagi relevan untuk dijadikan pijakan bagi pengambilan keputusan di NU. Hanya dua butir Khittah NU yang relatif masih tetap relevan, yaitu hak individual nahdliyin untuk berpolitik dan anjuran kepada kaum nahdliyin agar dalam menjalankan hak berpolitik tetap berpegang teguh pada akhlakul karimah. Ternyata perubahan yang demikian mendasar ini tidak dipedulikan oleh PBNU di bawah kepemimpinan Abdurrahman Wahid. Mereka masih terbelenggu pada paradigma lama. Buktinya, PBNU membentuk tim untuk merancang berdirinya PKB. Padahal paradigma reformasi memberikan hak yang seluas-luasnya kepada setiap elite dan pemimpin NU untuk mendirikan parpol. Dengan terbentuknya tim itu, NU secara tidak langsung memiliki hubungan dengan PKB. Motivasi di belakang pembentukan tim itu ialah niat PBNU untuk tetap mengikat kaum nahdliyin sebagai basis massa PKB. Pola kemasan politik semacam ini bertentangan dengan akhlakul karimah karena mengingkari pengakuan PBNU terhadap hak individual kaum nahdliyin untuk berpolitik. Tampaknya, pelanggaran etika politik itu menjadi halal bila berlabelkan kepentingan elite dan pemimpin NU. Pelanggaran etika politik itu berlanjut terus sampai muncul kebohongan politik Presiden Abdurrahman, yang menyatakan bahwa Madura, Riau, Papua, dan Aceh akan memisahkan diri dari Negara Indonesia kalau sampai ia turun dari kursi presiden. Sikap yang tidak jujur terhadap perubahan tersebut menjadikan tingkah laku politik kaum nahdliyin mengalami kemunduran drastis, dari rasional menjadi ultra-irasional. Padahal, sejak lahirnya Khittah NU (1983), telah berlangsung proses pendidikan politik yang menyosialisasi pertimbangan nalar sehat dalam setiap pemilu di masa Orde Baru. Fatwa-fatwa K.H. Mahfudz Siddiq, K.H. Ali Mahsum, K.H. As'ad Sjamsul Arifin, dan Abdurrahman Wahid selalu menekankan wajib hukumnya mempergunakan hak pilih dalam pemilu, dan halal hukumnya bila memilih salah satu dari tiga kontestan yang tersedia. Hasil observasi yang penulis lakukan di beberapa desa dan pesantren di Jawa memperlihatkan, dalam setiap pemilu, pilihan kaum nahdliyin berubah-ubah berdasarkan pertimbangan yang rasional. Kecenderungan ini sama dengan tingkah laku politik kelas menengah perkotaan, khususnya kalangan intelektual dan budayawan. Sebuah prestasi yanq pantas dicatat dengan tinta emas! Sayangnya, prestasi yang gilang-gemilang itu dikalahkan oleh kepentingan politik elite dan pemimpin NU dengan menjadikan ulama beserta massa nahdliyin sebagai pion dan alat politik AbdurrahmanWahid. Akibatnya, kaum nahdliyin terseret ke dalam putaran arus konflik elitis antara Abdurrahman dan Akbar Tandjung, Amien Rais, serta Megawati. Diseretnya kaum nahdliyin menjadi pertanda bahwa mereka selalu dimanipulasi dan dieksploitasi sebagai sumber dukungan politik belaka. Ini adalah permainan politik rendahan, yang hanya mengandalkan kekuatan dan mengesampingkan argumentasi serta nalar sehat. Otomatis kaum nahdliyin tetap dibuat bodoh dan dipersempit pandangannya. Di basis NU, Jawa Timur, massa nahdliyin menghimpun diri dalam Barisan Berani Mati untuk Abdurrahman Wahid?bukan untuk Allah?dan mengamuk membabi-buta. Naudzubillahi mindzalik. Sekiranya almaghfurlah K.H. Mahfudz Siddiq, K.H. Ali Mahsum, dan K.H. As'ad Sjamsul Arifin masih dikaruniai usia panjang, mungkin yang akan keluar dari mulut beliau-beliau ini hanya istigfar yang panjang. Dari segi ketokohan, tampak jelas adanya ambivalensi pada diri Abdurrahman. Di satu pihak, ia adalah sosok seorang demokrat; di sisi lain, ia menampakkan diri sebagai orang yang otoriter. Hal yang terakhir itu tampak ketika ia memaksakan Matori diterima sebagai Ketua Umum PKB, segampang ketika ia menendangnya dari partai yang sama. Nasib yang sama tampaknya akan menimpa K.H. Hasyim Muzadi. Pemaksaan kehendak terasakan juga saat pengangkatan Saifullah Yusuf. Mungkinkah seorang Sekretaris Jenderal PKB adalah mantan anggota PDIP yang baru beberapa hari keluar dari partainya? Tiga langkah diperlukan untuk memperbaiki citra NU dan PKB. Pertama, elite dan pemimpin PBNU harus jujur mengakui bahwa Khittah NU memang sudah tidak laik lagi bagi sandaran pengambilan keputusan. Kedua, hak berpolitik kaum nahdliyin janganlah dipasung hanya untuk kepentingan segelintir elite dan pemimpin NU. Ketiga, figur ketokohan Abdurrahman adalah tipikal negara berkembang. Sebaiknya Abdurrahman segera mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan Syuro PKB dan mengembangkan diri sebagai pemikir bangsa. Bila Abdurrahman tidak rela melepaskan peran sebagai aktor politik, bersiap-siaplah NU dan PKB menjadi organisasi yang secara formal bisa mengklaim diri sebagai organisasi demokratis tapi realitasnya adalah organisasi dan parpol yang ultratradisional.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus