Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Susanto Pudjomartono

10 Maret 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Megawati dan Media Redaktur Senior The Jakarta Post SELAMA bertahun-tahun, saat ia memerintah, hampir tidak ada rakyat Amerika yang tahu bahwa presiden mereka, F.D. Roosevelt, sebenarnya sudah lama lumpuh. Mereka hanya tahu bahwa FDR, begitu ia biasa disebut, menderita polio. Selama bertahun-tahun itu pula FDR "bergaya" bahwa ia masih bisa berjalan. Setelah lama berlatih, ia menemukan "gaya berjalan" yang khas. Ia akan bertumpu pada lengan anaknya yang ke mana-mana selalu menyertainya, lalu sebelah tangannya lagi memegang tongkat, sehingga terlihatlah bahwa ia seakan memang "berjalan". Padahal sebenarnya ia "diangkat" dan kedua kakinya dibalut pelat baja--yang agar tersembunyi dicat hitam seperti warna celananya, yang selalu hitam--seberat hampir lima kilogram. Agar rahasia itu terjaga, berbagai upaya dilakukan. Misalnya, mobil Presiden harus bisa mencapai podium sedekat mungkin, kursinya harus ditempatkan sedemikian rupa hingga FDR tidak perlu "berjalan" jauh, dan sebagainya. Roosevelt baru mengungkapkan rahasia ini saat ia untuk terakhir kalinya berpidato (sambil duduk) di depan Kongres AS setelah Konferensi Yalta, yang mengakhiri Perang Dunia II. FDR melakukan semua itu demi menjaga citranya agar rakyat Amerika tidak patah semangat karena punya presiden yang lumpuh di saat negaranya tengah berperang. Sekarang, di saat televisi bisa masuk dan mengawasi ke mana-mana, cara yang dilakukan Roosevelt pasti tidak mungkin lagi dilakukan. Namun, esensi dari cerita ini: citra seseorang, terutama bagi seorang pemimpin, sangat penting untuk dijaga. FDR, misalnya, menjaga citranya sebagai seorang presiden yang sehat sebagai bentuk tanggung jawabnya. Dalam banyak hal, politik memang sangat dipengaruhi citra atau image. Citra ini muncul atau dibangun terutama lewat media. Karena itulah image secara aktif diciptakan, dibangun, dan dipelihara untuk memperoleh dan menjaga dukungan publik. Tentu saja substansi lebih penting dari citra. Toh, pengaruh citra sering lebih menentukan. Begitulah, Bung Karno adalah pemimpin besar revolusi dan penyambung lidah rakyat. Presiden Soeharto membangun citra sebagai "bapak pembangunan". B.J. Habibie mengembangkan citra sebagai "pakar teknologi" yang siap membawa Indonesia ke masa depan. Citra Abdurrahman Wahid adalah tokoh populis dan pluralis yang bisa merukunkan bangsa. Bagaimana dengan Presiden Megawati Sukarnoputri? Tidak adanya seorang juru bicara menyebabkan Megawati lebih mengandalkan para pembantunya, baik di pemerintahan maupun di partai, untuk mengomunikasikan pendapat dan gagasannya. Selain itu, tidak adanya upaya sistematis membangun citra menyebabkan yang lebih banyak muncul adalah citra Megawati sebagai seorang yang "tertutup", "lebih banyak diam", "kurang komunikatif", "lamban", dan sebagainya, yang semuanya berkonotasi negatif. Gaya seorang presiden memang bisa berbeda. Persepsi mereka terhadap media juga tak sama, bergantung antara lain pada kepribadian, pendidikan, pengalaman, dan interaksi mereka dengan media. Almarhum Presiden Sukarno adalah seorang yang kepribadiannya hangat dan suka mengobrol dan berdebat dengan wartawan, meski selama pemerintahannya ia menutup beberapa koran yang dianggap "kontrarevolusi". Kepribadian Presiden Soeharto jauh lebih "dingin" dibandingkan dengan Sukarno. Ia tidak akrab dengan media. Pers, di mata Soeharto, hanya alat untuk mendukung "pembangunan". Karena itu, kemerdekaan pers sangat dikekangnya. Bila mereka berulah, gampang saja, tutup saja media yang nakal itu seperti yang terjadi pada TEMPO, Editor, dan Detik. Namun, pentingnya peran media diam-diam diakuinya, terbukti dengan penguasaan beberapa media cetak dan elektronik oleh keluarganya yang masih bertahan hingga kini. Presiden B.J. Habibie juga tahu betul tentang pentingnya media, sampai-sampai ia mendukung terbitnya sebuah koran. Citra Habibie sempat rusak ketika secara berlebihan ia menuntut harian The Jakarta Post, yang memberitakan versi lain dari penyebab kecelakaan sebuah pesawat terbang IPTN (Industri Pesawat Terbang Nusantara) yang ia pimpin, meski koran tersebut sesuai dengan kode etik jurnalistik telah meralatnya. Tatkala Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden, pers menyambutnya dengan antusias. Ironisnya, hampir semua media massa kemudian berbalik sikap ketika ia mulai menuduh pers sering memelintir ucapannya. Tampaknya, cukup besar peran pers dalam kejatuhan Gus Dur sebagai presiden. Megawati muncul sebagai wakil presiden dan kemudian presiden, antara lain berkat dukungan pers. Karena itu, banyak media yang kaget tatkala Megawati, dalam masa pendek kepresidenannya, beberapa kali mengecam sebagian pers yang dianggapnya "kebablasan". Ia pernah mengundang sejumlah wartawan senior untuk bertemu dia, tapi ia memang belum pernah mengadakan pertemuan pers secara terbuka. Mungkin itu sebabnya sebagian masyarakat kemudian menganggap sikap Presiden Megawati itu sebagai suatu citra ketertutupan. Ketertutupan selalu mengundang desas-desus, spekulasi, bahkan juga dapat memunculkan disinformasi. Ketertutupan itu bisa pula menumbuhkan citra yang negatif. Kurangnya komunikasi juga menghalangi tumbuhnya sikap saling percaya antara publik dan Presiden--suatu bentuk hubungan yang rasanya sekarang makin penting karena, tanpa adanya saling percaya itu, kerja sama, dukungan, dan saling pengertian akan sulit tercipta. Para politisi kita juga perlu mengantisipasi masa depan. Bila sistem pemilu kita nanti menganut sistem distrik dan presiden dipilih langsung oleh rakyat, hanya pemimpin yang bisa dipercaya rakyat dan punya citra yang positif yang akan terpilih. Di sinilah seorang politisi harus membangun dan menjaga citranya. Seperti dikatakan Bruce I. Newman dalam bukunya, The Mass Marketing of Politics, masa kini bukan hanya zaman ketika politisi harus mengomunikasikan gagasan dan programnya, tapi sang politisi harus juga pintar "menjual", "mengiklankan", dan memasarkan ide-idenya agar bisa mendapat dukungan publik. Karena itu, di banyak negara demokrasi liberal, para politisi memakai jasa konsultan public relations, ahli pemasaran, atau media strategist. Demi masa depan, demi kepentingan bangsa, mungkin sudah mendesak waktunya bagi Kantor Kepresidenan RI untuk lebih membuka diri. Banyak hal yang bisa dilakukan, misalnya membuka website sendiri. Jadi, mungkinkah nanti kita bisa membaca istanamerdeka.com, presidenri.com, atau mungkin ibumegawati.com?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus