Todung Mulya Lubis
Praktisi hukum
DI zaman Orde Baru, kekuasaan mendikte dan mengontrol politik dengan sangat telanjang. Semua pelaku politik harus menghamba kepada kekuasaan. Dan hampir tak ada ruang untuk berkreasi. Pisau-pisau sensor dengan sangat setia mengikuti gerak-gerik warga negara, politisi, intelektual, pelajar, ataupun wartawan. Semua orang mesti hati-hati dengan mulutnya, sehingga ada lelucon politik yang mengatakan bahwa kalau mau buka gigi harus pergi ke Singapura. Kekuasaan itu kejam tanpa perasaan dan kita melihat betapa banyak korban yang jatuh: mahasiswa yang ditahan, pers yang diberangus, politisi yang dibuat mati perdata, serta anggota DPR yang di-recall atau diberhentikan.
Tanpa rasa malu, pemerintah Orde Baru mengatakan bahwa mereka adalah pemerintahan yang menjalankan demokrasi meski disebut sebagai Demokrasi Pancasila. Sesungguhnya Demokrasi Pancasila adalah demokrasi yang tidak demokratis atau, tepatnya, bukan demokrasi. Yang ada adalah kekuasaan yang tanpa pengawasan, DPR yang pajangan, pers yang tiarap, dan mahasiswa yang banci. Kalau pada satu ketika Anthony Giddens berbicara tentang "a process of deepening and widening of democracy", saya kira itulah inti dari reformasi politik yang dilakukan sejak jatuhnya Soeharto. Dengan kata lain, kita berbicara tentang "demo-cratizing democracy".
Dalam konteks ini, misalnya, kita menghilangkan hak recall di DPR dan MPR. Kita mulai berbicara tentang wakil rakyat, tidak lagi wakil fraksi. Kita berbicara tentang konstituen politik, tidak lagi partai politik. DPR pasca-Orde Baru hendaknya tak lagi membolehkan recall terhadap anggotanya seperti yang pernah dialami Sri Bintang Pamungkas dari PPP dan Bambang Warih Kusumo dari Golkar atau Raja Kami Sembiring Meliala dari ABRI. Adalah menarik bahwa bagai paduan suara, banyak politisi pada awal-awal jatuhnya Soeharto setuju dengan penghapusan hak recall walau dalam UU Nomor 4/1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD kita masih mengenal apa yang disebut sebagai "pergantian antarwaktu". Kenaifan politik sepertinya mengatakan bahwa "pergantian antarwaktu" itu tak akan mencakup recall terhadap anggota DPR yang kritis dan vokal, apalagi karena rumusan pasal "pergantian antarwaktu" sepertinya sangat limitatif, hanya mencakup soal anggota DPR yang meninggal, mundur, pindah ke luar negeri, melanggar sumpah, merangkap jabatan, dan tak lagi memenuhi syarat sebagai anggota DPR. Jadi, kalau anggota DPR tersebut kritis terhadap fraksinya atau terhadap pemerintah, tak akan ada recall. Suatu politik lintas partai (bipartisan) tampaknya akan mulai diterima sebagai satu realitas politik baru.
Tak bisa dimungkiri bahwa kini DPR kita berubah sontak, dari DPR yang bisu dan tumpul menjadi DPR yang dinamis dan tajam. Anggota-anggota baru DPR menjanjikan masa depan politik yang cerah bagi negeri ini dengan bakal adanya perdebatan dan perseteruan yang tajam dan menarik. Politik bukan lagi tontonan yang men-jemukan. Di antara anggota DPR yang cerdas, kita melihat juga mereka yang asal bunyi, malah dengan kekuasaan DPR yang mulai membesar tak bisa disangkal bahwa di sana-sini ada yang tidak proporsional dan laku lajak. Sayangnya, dinamika dalam tubuh DPR tak diikuti dengan kesiapan pemimpin partai politik untuk menerima semua itu dengan lapang dada. Banyak yang kebakaran jenggot. Dan dari sinilah gagasan recall muncul kembali, yang sudah didukung oleh beberapa pemimpin partai.
Apakah ini salah? Semangat reformasi mengkhotbahi kita tentang perlunya anggota DPR bersikap bebas dan mandiri, tidak menjadi bebek partai, serta mewakili kepentingan konstituen. Sayangnya, hal ini tak terjadi karena konon para anggota partai yang terpilih menjadi anggota DPR pada awal masa jabatannya sudah disodori formulir bermeterai kesetiaan terhadap partai. Tidak semua mengakui hal ini, tapi banyak yang membenarkannya. Jika hal ini benar, sesungguhnya kita tengah memutar jarum jam ke belakang.
Kita mungkin tak harus gusar karena jika kita mau teliti membaca UU Nomor 3/1999 tentang Pemilihan Umum, dengan sangat jelas digaris-bawahi bahwa peserta pemilu adalah partai politik yang mengirimkan calon-calon anggota DPR yang berlaga sebagai wakil-wakil partai. Jadi, sejak dini para anggota DPR sudah dibaptis sebagai anggota partai yang berurusan dengan partai, dan hal ini menjadi semakin mulus karena sistem pemilu kita tak menganut sistem distrik yang mensyaratkan calon anggota DPR berdomisili di daerah pemilihannya. Karena itu, tidak aneh jika banyak anggota DPR yang tak mengenal dan tak memiliki konstituen di daerah pemilihan mereka. Jadi, ketergantungan anggota DPR seratus persen ada pada partai politik, bukan pada konstituen.
Karena itu, jika ada anggota DPR yang menyimpang dari kebijakan partai, secara hukum bisa saja partai politik melakukan recall. Di sini anggota DPR yang tak mempunyai konstituen tersebut tak akan berdaya dan, kalaupun dia tetap ingin di DPR, yang paling mungkin dilakukan adalah menyeberang ke fraksi yang lain seperti yang dilakukan oleh Hartono Mardjono dan Abdul Qadir Djaelani, yang pindah dari Fraksi PBB ke Fraksi Daulat Ummat. Atau, kalau memang tak ada fraksi yang berkenan di hati, bisa diambil langkah meninggalkan DPR dan partai seperti yang dilakukan oleh Dimyati Hartono dari Fraksi PDIP. Atau, kalau mau lebih santun, mengundurkan diri dari DPR dengan alasan kesehatan dan kelelahan seperti yang dilakukan oleh Sophan Sophiaan dari Fraksi PDIP. Sungguh banyak jalan ke Roma.
Betapa tidak nikmatnya menjadi anggota DPR meski dari luar terkesan gagah dan garang. Pemasungan hak berbicara pada hakikatnya adalah pelanggaran hak-hak berparlemen dan ini jelas suatu pengkhianatan terhadap demokrasi. Sebetulnya ini adalah cermin dari kegagalan partai politik kita, kegagalan sistem pemilu kita. Nyatanya, para pemimpin partai politik kita yang bibirnya kerap berteriak tentang demokrasi tak mengerti dan tak sudi untuk berdemokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini