Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Gagasan jabatan presiden tiga periode mencederai semangat gerakan Reformasi 1998.
Industrialisasi politik membuat gagasan jabatan presiden tiga periode sebagai gejala merosotnya demokrasi.
Dua cara agar industrialisasi politik tak makin menggerus demokrasi kita.
PEMBATASAN kekuasaan adalah jantung gerakan Reformasi 1998. Karena itu, bagi mereka yang masih punya kepekaan historis, ide perpanjangan masa jabatan presiden—tiga periode maupun perpanjangan di masa kedua—adalah penghinaan terhadap memori reformasi kita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bagaimana ide dan niat presiden tiga periode ini muncul? Sebegitu parahkah dekadensi dalam budaya politik demokrasi kita?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ide mengenai presiden tiga periode adalah simtom merosotnya politik sebagai arena dignitas yang dicaplok oleh ekonomisasi. Gagasan presiden tiga periode semacam transformasi dari politik menjadi industri politik. Aktor-aktornya bisa jadi politikus, lembaga-lembaganya disebut partai politik, pemainnya anggota Dewan Perwakilan Rakyat, tapi mekanisme dasar yang menggerakkannya bukan lagi ideal-ideal dalam politik, melainkan ekonomi.
Industri politik adalah praktik yang menempatkan dunia politik sebagai obyek dan komoditas. Industri politik bisa kita lihat gejalanya secara gamblang dari kemunculan seorang politikus. Kini orang memperlakukan politik sebagai investasi, bukan lagi jalan perjuangan ideasional. Seseorang yang sama sekali tak dikenal bisa muncul sebagai pemimpin hanya karena dia punya uang atau disokong oleh mereka yang punya uang.
Industri politik yang mengangkat seseorang dalam transformasi ini salah satunya konsultan politik. Para konsultan memoles dan menginstal nobody menjadi tokoh. Konsultan bekerja memetakan potensi seorang calon politikus. Mereka membuat program-program orang yang bukan siapa-siapa menjadi terkenal, lalu membuat survei-survei yang menyejajarkan namanya dengan tokoh-tokoh lain.
Setelah orang itu dikenal, para konsultan mempersiapkan supaya ia terpilih. Para konsultan terus bekerja dengan menyiapkan kebijakan-kebijakan. Mereka juga bekerja mengukur bagaimana seorang politikus diterima, didukung, dan bila perlu dipertahankan jabatannya sepanjang abad. Kita pun melihat sebuah gejala aneh, yakni narsisisme massal. Di setiap jalan hingga gang-gang kampung, mata kita diganggu oleh pemandangan baliho-baliho orang tak dikenal tapi menjajakan diri dengan menulis hal-hal bagus tentang diri mereka sendiri.
Gejala klasik industri politik bisa diukur dari besarnya biaya pemilihan umum di Indonesia. Seorang pemimpin DPR menyebutkan penyelenggara pemilu telah mengajukan permohonan anggaran Rp 140 triliun. Sementara itu, untuk biaya pencalonan presiden, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyebutkan setidaknya dibutuhkan Rp 10 triliun.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum, Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma'ruf Amin melaporkan dana kampanye untuk pemilihan presiden 2019 sebesar Rp 601,3 miliar. Sedangkan total penerimaan dana kampanye TKN berjumlah Rp 606,7 miliar. Pengeluaran paling besar adalah biaya operasional kampanye Rp 597,9 miliar. Sementara itu, Badan Pemenangan Nasional Prabowo Subianto-Sandiaga Uno melaporkan total penerimaan dana kampanye mereka sebesar Rp 213,2 miliar. Dana yang dikeluarkan untuk kampanye Rp 211,5 miliar.
Angka-angka itu baru dana resmi yang dilaporkan. Belum lagi dana “informal” yang tak teraudit atau sengaja tak dilaporkan ke KPU. Dengan cara seperti itu, industri politik tidak menghasilkan politikus-negarawan, melainkan para idola, investor, dan broker. Para elite dan politikus masuk ke gelanggang politik dengan taktik dan strategi seperti pedagang memikirkan lapak-lapak baru: bagaimana modalnya berkembang, produknya digemari di pasar, dan bagaimana modal menggelinding, berakumulasi, lalu dipertahankan oleh para pengikut dan keluarga mereka.
Sementara kaum behavioralis mendefinisikan politik sebagai who gets what, when and how, industri politik meradikalisasi pandangan behavioralisme ini dengan sepenuhnya melepaskan “how” dalam etika dan prinsip-prinsip demokrasi konstitusional. Ini adalah lingkungan dan basis yang memungkinkan ide otoritarianisme perpanjangan masa presiden dan presiden tiga periode tumbuh. Mereka menyangka demokrasi seperti film superhero yang bisa dibuat sekuel demi sekuel hanya karena penontonnya banyak.
Mohammad Hatta mendefinisikan politik sebagai ikhtiar memperjuangkan kemaslahatan umum. Di masa kini, pandangan politik Hatta itu menjadi terasa arkais. Sebab, politik kini bukan lagi sebuah peristiwa “perjuangan”. Politik kini adalah peristiwa ekonomi, peristiwa industrial.
Elliot Ackerman di The New York Times mengingatkan bahwa political industrial complex tak hanya terdiri atas legiun-legiun tukang kampanye, lembaga survei, konsultan, dan media (termasuk pendengung [buzzer] ataupun media tradisional), tapi juga aktivitas yang memupuk polarisasi guna merangsang orang terlibat secara intens di panggung politik atau menyihir publik mencelikkan mata di layar-layar gawai. Dengan cara itu, para politikus dan serombongan orang di belakang mereka meraih keuntungan materiil.
Demarkasi menjadi cara paling jitu menggairahkan politik karena di situ roda industri politik berputar. Makin tajam pembelahan, makin ekonomis kalkulasi kalah-menang, makin besar kebutuhan mesin konsultan, survei, media-media, serta para buzzer. Para pelaku industri lalu menjustifikasi praktik semacam ini sebagai partisipasi dalam demokrasi.
Gejala industrialisasi politik, dalam istilah lain, sudah diantisipasi oleh para ahli politik Indonesia ke dalam triadik: oligarki, kartel, dan klientelisme.
Oligarki mengokupasi struktur makro demokrasi kita. Demokrasi dipakai oleh para elite untuk membiakkan kekayaan melalui politik. Di level tengah, institusi demokrasi kita dirusak oleh kartel partai. Kartel mengubah partai politik menjadi mesin pengejar sumber daya negara untuk keberlanjutan kekuasaan elite-elite mereka. Sementara itu, di bawah, partisipasi yang semestinya menjadi fondasi politik kewargaan kita dirusak oleh klientelisme yang mengubah pemilih menjadi penadah hadiah dari para baron dan orang kuat lokal.
Ketiga gejala itu menuntun kita pada kesimpulan bahwa politik dan pelbagai institusinya benar-benar telah berubah menjadi bisnis dan industri.
Provokasi ide presiden tiga periode dan perpanjangan masa jabatan presiden, karena itu, adalah ide yang tumbuh dengan basis logis industri politik tadi. Ia muncul akibat politik sebagai prinsip telah ambruk dan makin langka dengan kian lemahnya kekuatan reformis. Industrialisasi politik tidak hanya meremehkan ideal-ideal reformasi, lebih dalam lagi para pelakunya merendahkan pendirian dasar etis politik dan mengubah profesi politik semata-mata sebagai dealer.
Di masa lalu, tokoh seperti Sukarno, Mohammad Hatta, dan Sutan Sjahrir menghayati politik sebagai perjuangan. Dari memori zaman itu, kita melihat bahwa politikus tumbuh sekaligus sebagai intelektual yang menerangi masanya. Itu sebabnya, hingga kini pikiran Sukarno, ide-ide filsafat Hatta, dan gagasan politik Sjahrir atau Tan Malaka masih relevan kita baca. Mereka mendorong politikus sebagai kaum intelektual, dan kaum intelektual sekaligus politikus.
Kita masih bisa sedikit mencegah kerusakan lebih dalam prinsip-prinsip ketatanegaraan demokratis ini melalui dua cara. Pertama dengan menghentikan semua ide perpanjangan masa jabatan presiden atau presiden tiga periode. Dalam satu kesempatan Presiden Joko Widodo pernah menyatakan bahwa ide presiden tiga periode untuk mempermalukannya atau mencari muka untuk menjebaknya.
Sebagai argumen personal, pernyataan Jokowi itu benar. Ia akan lebih benar jika secara terbuka menyatakan bahwa ide presiden tiga periode bukan hanya buruk bagi martabat personalnya, tapi juga buruk bagi martabat republik kita. Sebagai kepala negara, ia juga bertanggung jawab untuk bersama-sama mencegah pembalikan seluruh perjalanan demokrasi Indonesia dari arah yang tercela.
Langkah kedua adalah menahan industrialisasi politik dengan mendemokratisasi proses reproduksi elite dengan mencabut aturan ambang batas pencalonan presiden. Kesempatan yang terbuka untuk siapa saja menjadi calon presiden akan memangkas dominasi dan kartel sehingga komodifikasi politik bisa dikurangi.
Dua langkah itu tentu tidak cukup untuk menghentikan industrialisasi politik yang makin dalam mencaplok demokrasi kita. Tapi setidaknya menjadi stasiun antara hingga tiba saat yang tepat bagi kaum reformis muncul kembali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo