Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Tintin Pernah Mampir di Kemayoran

Menara tua lapangan terbang Kemayoran seperti dilupakan. Pernah muncul dalam komik The Adventure of Tintin yang ditulis Herge.

9 Desember 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengumuman kedatangan pesawat dipancarkan menara pengamat lalu lintas udara (air traffic control) berbentuk segi empat. Pesawat Qantas Boeing 707 dari London baru saja mendarat di Bandar Udara Kemayoran pada 1968. "Kemajoran tower to Golf Tango Fox: proceed to runway for take-off," bunyi pengumuman tersebut. Tak lama kemudian, pintu pesawat bergaris merah terbuka. Seorang lelaki berjanggut tebal dan bertopi pelaut muncul dari perut pesawat dan langsung menyemburkan sumpah-serapah.

"Blistering barnacles! Djakarta! Djakarta! DJAKARTA!!! Can't you listen to what I say?" katanya. Di belakangnya, seorang pria berkumis dan bertopi bulat, menjawab dengan agak bingung, "Botany bay? …Then why didn't you say we'd arrive?" jawabnya. Dialog dan sumpah-serapah itu terjadi antara Kapten Haddock dan Profesor Lakmus. Dua tokoh dengan karakter yang kerap mengocok perut ini diciptakan komikus—juga jurnalis—asal Belgia, Georges Remi, yang memiliki nama pena Herge.

Herge menggambar adegan itu di komiknya, The Adventures of Tintin, edisi Flight 714 to Sydney. Dia menceritakan bagaimana Tintin dan rombongannya (Kapten Haddock, Profesor Lakmus, dan anjingnya, Milou atau Snowy) pernah mendarat di Bandar Udara Kemayoran, Jakarta, sebelum melanjutkan penerbangan ke Sydney, Australia.

"Adegan yang dilukiskan Herge ini membuktikan bagaimana dulu Kemayoran merupakan bandar udara besar yang dikenal seluruh dunia sebagai tempat transit terakhir sebelum ke Sydney," kata M. Misdianto, salah satu pegiat Komunitas Tintin. Misdianto juga peneliti informasi teknologi pada penerbangan sipil dari Société Internationale de Télécommunications Aéronautiques (SITA), perusahaan multinasional penyedia jasa telekomunikasi dan IT penerbangan yang berbasis di Jenewa.

Salah satu sisi menarik dari edisi Flight 714 to Sydney adalah Herge membuka cerita dengan gambar menara pengamat lalu lintas udara (air traffic control atau ATC) yang sangat rinci. Atap menara berbentuk limasan, serta pola kotak-kotak yang dicat cokelat-krem dilukiskan Herge dalam pembukaan cerita komik. Inilah menara ATC Kemayoran yang masih berdiri tegak di sebelah kiri Jalan Benyamin Suaeb, Kemayoran, Jakarta Pusat. Jalan Benyamin Suaeb dulu adalah landasan pacu utama Bandar Udara Kemayoran.

Herge juga menyertakan gambar beberapa pesawat yang diparkir di Bandar Udara Kemayoran. Salah satunya pesawat Garuda, yang masih menggunakan garis merah di sepanjang badan pesawat, serta simbol huruf M terbalik berwarna merah di ekor pesawat. "Ini lambang yang digunakan Garuda sebelum 1970-1980-an," kata Aditya W. Fitrianto, pengamat tata kota yang juga arsitek, saat diwawancarai di sebuah kafe di bilangan Sudirman, Jakarta, Jumat dua pekan lalu. Aditya salah satu penggemar komik Tintin dan bersama Misdianto menjadi pegiat konservasi terhadap bangunan bersejarah di Jakarta.

Dalam bentuk asli, menara ATC Kemayoran memiliki atap limasan dengan dinding segi lima. Tingginya sekitar 18 meter, terdiri atas lima lantai, setiap lantai dan anak tangganya terbuat dari logam baja. Terdapat banyak lubang angin sebesar batu bata di sisi-sisinya. Ukuran tiap ruangan diperkirakan 10 x 10 meter tanpa sekat sama sekali. Hanya ada sebuah ruangan di pojok kiri yang dulu diperkirakan sebagai kamar mandi.

Lantai empat bangunan ini dibiarkan lapang. Tak ada sekat atau ruang lain seperti tiga lantai sebelumnya. Hanya ada satu anak tangga yang menuju ruangan di atasnya. Menurut Aditya, ruangan tersebut adalah ruang operasional dan administrasi dari ATC Kemayoran. Anak tangga yang berada tepat di tengah ruangan langsung mengarah ke ruang pengamatan ATC di lantai 5, yaitu ruang kaca berdinding segi lima. Di tiap bagian dinding, kaca bening setinggi pintu rumah terpasang kokoh hingga saat ini. Orang yang berada di dalam ruangan ini dapat melihat ke segala sisi, terutama jalan-jalan besar di Kemayoran.

Di luar bangunan pengamat ATC terdapat balkon dengan pagar putih setinggi pinggang. Bila berdiri di balkon ini, pandangan yang diedarkan semakin luas dan dapat merasakan arah angin. "Dulu saat kegiatan bersih-bersih pertama, kami sempat menggelar tikar dan makan di atas. Sangat nyaman," kata Misdianto. Meski hanya berfungsi sebagai menara pengamat, Menara Kemayoran memiliki jalur bawah tanah yang tersambung sepanjang 500-600 meter hingga menembus ke belakang kawasan perdagangan Glodok-Kemayo­ran. "Dulu di belakang kawasan perdagangan Glodok-Kemayoran adalah terminal keberangkatan. Ada jalan bawah tanah, tapi sepertinya sudah tidak bisa digunakan," kata Misdianto.

Lima meter di sebelah menara pengamat utama terdapat menara pendamping yang tingginya hanya setengah menara pengamat utama. Walaupun tidak dilukiskan Herge dalam komiknya, menara pendamping ini merupakan bagian dari menara utama ATC Kemayoran. Sayangnya, kini kedua bangunan tidak terawat sama sekali. Saat pertama kali ditemukan Komunitas Tintin pada awal 2012, kedua bangunan ini tertutup semak belukar hingga ke atapnya. Di sekelilingnya tumbuh pohon petai cina yang hampir membentuk hutan.

Menara ATC Kemayoran dibangun pemerintah Belanda pada 1940. Bandar udara ini merupakan lapangan terbang internasional pertama di Indonesia yang memiliki penerbangan internasional terjadwal. Sebelum dipindahkan ke Halim pada 1985 dan kemudian ke Cengkareng pada 1986, bandar udara ini bahkan menjadi tempat transit terbesar di Asia-Pasifik, sebelum Changi di Singapura. Bahkan Presiden Sukarno pernah mendarat di sini setelah dibuang ke Boven Digul. "Saya sekolah ke Amerika berangkat lewat bandar udara ini, masih tahun 1960-an," kata Profesor Mohammad Danisworo, Kepala Pusat Studi Urban Desain. Lembaga itu mengkaji serta merekomendasikan rancangan tata kota di Kemayoran. Ia bahkan mengkonfirmasi beberapa petugas perempuan di bandar udara yang berseragam abu-abu dongker seperti digambarkan Herge di komik Tintin.

Sayangnya, menara ATC yang menjadi penanda kejayaan Bandar Udara Kemayoran ini terancam dibongkar sesuai dengan rancangan tata kota milik rekanan pembangun yang akan mengembangkan kawasan Kemayoran. Padahal menara ini merupakan salah satu bangunan bersejarah yang disahkan melalui Surat Keputusan Gubernur Nomor 457 Tahun 1993. Lampiran bernomor 51 dalam SK Gubernur yang terbit pada 29 Maret 1993 menyebutkan Menara Kemayoran sebagai bangunan bersejarah dan cagar budaya yang harus dijaga keaslian arsitekturnya.

Tak mengherankan bila Danisworo dari Pusat Studi Urban Design (PSUD) merekomendasikan agar dua menara ATC Kemayoran tetap berdiri dalam tata ruang dan tata kota Kemayoran. Dalam desain rekomendasi yang diajukan PSUD kepada Dinas Tata Ruang DKI Jakarta, dua bangunan ini tetap disertakan. Danisworo menganjurkan, bila ATC Kemayoran secara fungsi dan estetika sudah tidak memenuhi kaidah arsitektur sebagai menara pengamat lalu lintas udara, dapat diterapkan prinsip adap­tive reuse atau penggunaan kembali sebuah bangunan dengan fungsi lain. "Misalnya dapat digunakan sebagai kafe atau restoran, tempat bermain anak, atau sebuah tugu penanda," katanya.

Bila ketinggian dua menara ini dianggap mengganggu rancangan tata ruang, dapat diterapkan prinsip air rights atau penggunaan jembatan penghubung antargedung pencakar langit, yang sifatnya menembus atau mele­wati kedua menara. Rancangan tata ruang Kemayoran yang diterbitkan PSUD menggambarkan di kawasan ini akan dibangun pusat informasi perdagangan internasional. Di sekeliling kawasan ini akan dibangun gedung-gedung pencakar langit. Salah satunya Menara Jakarta, dengan tinggi 500 meter, yang berhadapan langsung dengan ATC Kemayoran. "Namun hingga kini rancangan tata kota tersebut belum disetujui," kata Danisworo.

Untuk mencegah diruntuhkannya Menara ATC Kemayoran, pegiat konservasi bangunan tua seperti Aditya dan Misdianto menggelar petisi online. Mereka sudah mengumpulkan 315 tanda tangan dari 500 yang dibutuhkan. Salah satu pendukung petisi ini adalah Profesor Danisworo. "Bangunan itu memang dari segi arsitektur tidak begitu bagus, biasa saja. Tapi nilai sejarahnya membuat kedua menara itu istimewa," katanya.

Cheta Nilawaty

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus