Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Luhut Pandjaitan menjadi elite nasional yang paling menonjol memiliki konflik kepentingan.
Sebagai menteri yang mengurus investasi, bisnis-bisnisnya terkait dengan kewenangannya sebagai pejabat publik.
Bagaimana jika Indonesia tanpa Luhut Pandjaitan?
Tata Mustasya
Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAPORAN “Coalruption: Elite Politik dalam Pusaran Bisnis Batu Bara” yang dirilis Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang, Indonesia Corruption Watch, Auriga, dan Bersihkan Indonesia pada Desember 2018 memberikan peringatan mengenai praktik dan dampak korupsi politik serta konflik kepentingan bisnis pertambangan batu bara. Laporan tersebut menyebutkan elite nasional dan daerah atau politically-exposed persons (PEPs) masuk ke bisnis batu bara setelah tahun 2000. Elite paling menonjol dalam laporan itu adalah Luhut Pandjaitan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peran PEPs menjadi penentu bisnis pertambangan batu bara yang menjadi sektor kroni yang menguntungkan melalui kedekatan dengan orang-orang pemerintah. Di sini PEPs—yang terdiri atas kepala negara atau pemerintahan, politikus senior, pejabat yudisial atau militer, pejabat eksekutif badan usaha milik negara, dan anggota keluarga, kerabat dekat, serta relasi sosial atau profesional mereka—terlibat konflik kepentingan dengan menyatukan politik dan bisnis.
Luhut Binsar Pandjaitan adalah PEP dengan konflik kepentingan sempurna sehingga mendapat sorotan utama dalam Coalruption. Luhut bermain dalam bisnis pertambangan batu bara dan pembangkit listrik tenaga uap batu bara di sektor hilir melalui kepemilikan saham di PT Toba Sejahtra. Pada saat bersamaan, dia adalah Menteri Koordinator Kemaritiman, bahkan pernah menjadi pejabat sementara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral. Luhut menyatukan bisnis dan politik di pertambangan batu bara melalui struktur lama oligarki politik, yaitu Istana dan partai politik, terutama Partai Golkar, serta lanskap politik baru melalui kongsi dengan elite dan penguasa lokal.
Di periode kedua pemerintahan Presiden Joko Widodo, kekuasaan politik dan ekonomi Luhut Pandjaitan makin besar. Lingkup kewenangannya meluas dengan penambahan sektor investasi. Secara formal, sebagai Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, ia membawahkan sektor energi, pertambangan, kelautan, kehutanan, lingkungan hidup, dan investasi. Secara aktual, Luhut berada di garis depan dalam beragam kebijakan dan program kunci pemerintah, seperti pemindahan ibu kota negara. Luhut juga menjadi penganjur perpanjangan masa jabatan Presiden Joko Widodo melalui pernyataannya kepada publik.
Dengan kewenangan besarnya tersebut, Luhut menjadi penentu arah ekonomi dan politik Indonesia. Sementara di masa lalu kita mengenal Widjojonomics dan Habibienomics, saat ini Indonesia dinavigasi oleh “LBPnomics”. Masalahnya, gagasan-gagasan dan kebijakan yang lahir dari tangan Luhut tidak bisa terlepas dari bayang-bayang konflik kepentingan dan korupsi politik seperti yang dipaparkan dalam Coalruption. Konflik kepentingan ini bakal berimplikasi besar bagi Indonesia.
Watak pertama kebijakan di bawah otoritas Luhut Pandjaitan adalah menghidupkan kembali developmentalisme dan ekstraktivisme secara radikal. Dua kebijakan ini merupakan ciri kental pembangunan ekonomi di masa Orde Baru.
Dalam developmentalisme, atau pembangunanisme, pertumbuhan ekonomi digenjot dengan ongkos berapa pun, termasuk dampak sosial dan kerusakan lingkungan. Undang-Undang Cipta Kerja serta revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba) menjadi contoh konkretnya. Untuk obral murah investasi, Undang-Undang Cipta Kerja menghilangkan banyak perlindungan buruh dan lingkungan.
Pembangunanisme pun makin tidak inklusif. Studi Institute for Development of Economics and Finance dan Greenpeace pada 2021 menemukan penurunan kualitas investasi dalam penyerapan tenaga kerja dari 3.090 tenaga kerja yang diserap dari setiap Rp 1 triliun realisasi investasi pada 2014 menjadi hanya 1.400 pada 2020.
Dengan dominannya sektor ekstraktif, di mana ekspor komoditas primer Indonesia mencapai 39,2 persen terhadap total ekspor, pembangunanisme dilakukan dengan pelonggaran perlindungan lingkungan di sektor ekstraktif, di antaranya tambang batu bara. Di sini terjadi kutukan batu bara.
Salah satu bentuk kutukan batu bara adalah kerusakan lingkungan yang menyebabkan banjir besar di Kalimantan Selatan pada awal 2021. Dampak lain terhadap lingkungan adalah lubang tambang berupa genangan raksasa yang ditinggalkan perusahaan tambang batu bara. Di sektor hilir, PLTU batu bara, sebagai sumber energi bagi 58 persen kapasitas listrik di Indonesia, menjadi penghasil emisi kotor yang menyebabkan krisis iklim. Emisi dari 31 gigawatt PLTU batu bara di Indonesia sebanyak 192 juta ton per tahun atau setara dengan emisi dari 90 juta mobil setahun.
Laporan Coalruption mengungkapkan dengan gamblang keterlibatan Luhut Pandjaitan dalam kerusakan lingkungan di Kalimantan Timur melalui beberapa perusahaan tambang batu bara yang terkait dengannya. Data 2017 menunjukkan empat dari sepuluh lubang terbuka di daerah konsesi perusahaan tambang batu bara yang terkait dengan Luhut, Kutai Energi, tidak direklamasi dan salah satu lubang tambang tersebut diindikasikan mencemari air sungai.
Kutukan batu bara lain adalah terhambatnya diversifikasi ekonomi dan akselerasi energi bersih. Lagi-lagi Luhut memiliki konflik kepentingan sebagai pengambil kebijakan. Toba Sejahtra, yang sebagian sahamnya dimiliki Luhut, juga berbisnis PLTU batu bara melalui beberapa anak perusahaan.
Target Indonesia mencapai bauran energi terbarukan sebesar 23 persen pada 2025 hampir mustahil dicapai karena saat ini tingkat kemajuannya hanya 11-12 persen. Kelebihan listrik kapasitas PLTU batu bara yang tetap harus dibayar dalam skema take-or-pay contract telah menghambat ruang akselerasi energi bersih dan terbarukan.
Pada saat bersamaan, ekonomi Indonesia makin bergantung pada batu bara, yang bakal habis sumber dayanya. Di bawah otoritas Luhut Pandjaitan pada periode pertama pemerintahan Joko Widodo, terjadi paradoks kebijakan kuota produksi batu bara. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2015-2019, pemerintah berencana mengurangi produksi batu bara secara bertahap dari 419 juta ton pada 2016 menjadi 400 juta ton pada 2019. Namun produksi batu bara pada 2019 justru mencapai 477 juta ton, bahkan menjadi 625 juta ton pada 2021.
Watak kedua kekuasaan Luhut Pandjaitan adalah memperkuat dominasi oligarki. Salah satu contohnya adalah korupsi peraturan dalam pengesahan revisi Undang-Undang Minerba pada 12 Mei 2020. Laporan lembaga pemeringkat Moody’s pada 11 November 2019 menjelaskan bahwa utang beberapa perusahaan batu bara bakal jatuh tempo dalam nilai yang besar pada 2022.
Konsekuensinya, perusahaan-perusahaan tersebut membutuhkan pembiayaan kembali (refinancing) utang dari lembaga keuangan. Moody’s menyebutkan kemampuan perusahaan mendapatkan kembali pembiayaan bergantung pada cadangan batu bara baru atau pembaruan izin perusahaan pertambangan. Revisi undang-undang batu bara memberi jalan keluar atas kekusutan ini. Apalagi revisi undang-undang itu dilakukan secara tertutup dan minim partisipasi publik.
Puncaknya adalah gagasan Luhut Pandjaitan mendorong penundaan Pemilihan Umum 2024 serta melaporkan aktivis masyarakat sipil yang membuka konflik kepentingan bisnisnya di Papua. Meminjam Acemoglu dan Robinson (2019), Luhut bergerak di luar kewenangannya dengan membawa Indonesia menuju negara despotik. Fakta menunjukkan, Luhut tak hanya memiliki konflik kepentingan dengan menyatukan bisnis dan politik, ia juga berusaha melemahkan masyarakat sipil dan demokrasi Indonesia.
Ongkos konflik kepentingan Luhut Pandjaitan yang harus ditanggung rakyat Indonesia sudah terlalu besar. Jika dibiarkan, watak developmentalisme, ekstraktivisme, dan oligarkis yang ekstrem dari kekuasaan Luhut bakal membawa Indonesia pada krisis multidimensi: krisis iklim dan lingkungan, krisis keadilan, serta krisis demokrasi.
Untuk itu, pemimpin partai politik, intelektual dan akademikus, organisasi keagamaan, mahasiswa dan buruh, serta organisasi masyarakat sipil dan elemen masyarakat lain harus bergerak bersama untuk menghentikan developmentalisme, ekstraktivisme, dan kuasa oligarki itu. Caranya: memulai pemerintahan Indonesia tanpa Luhut Pandjaitan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo