Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
PLTA digadang-gadang sebagai sumber energi terbarukan.
Di era krisis iklim, energi terbarukan PLTA menjadi tidak berkelanjutan.
PLTA terimpit bencana iklim akibat krisis air serta membahayakan ekosistem sungai.
Hariadi Kartodihardjo
Guru Besar Fakultas Kehutanan dan Lingkungan IPB University, Bogor, Jawa Barat
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM menghadapi krisis iklim, akses terhadap penyediaan energi yang terjangkau, andal, berkelanjutan, dan kontemporer menjadi satu dari 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goal (SDG 7) yang dicanangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada saat yang sama, kita perlu segera membuat tindakan nyata untuk mencegah dampak buruk bencana iklim (SDG 13) serta mengelola ekosistem terestrial secara berkelanjutan yang mencakup perairan di pedalaman (SDG 15).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Merespons tiga tujuan itu, pembangkit listrik tenaga air (PLTA) sebagai teknologi mapan penghasil listrik menjadi penopang sumber energi terbarukan yang berkelanjutan. Dari 22 persen listrik dunia dari sumber daya terbarukan, 73 persen berasal dari tenaga air.
Pemerintah di berbagai negara memasukkan perluasan infrastruktur PLTA ke dokumen kontribusi yang ditentukan secara nasional atau nationally determined contribution (NDC) untuk mengatasi krisis iklim. NDC pada dasarnya adalah janji tiap negara untuk bersama-sama mengurangi emisi gas rumah kaca guna mencegah kenaikan suhu bumi lebih dari 1,5 derajat Celsius pada 2030 dibanding pada masa praindustri 1800-1850. Menurut Bank Dunia (2018), ada 3.700 bendungan untuk PLTA yang sedang dibangun di seluruh dunia.
Di PLTA, air dalam reservoir digunakan untuk menyimpan dan menghasilkan energi saat dibutuhkan dan pada waktu yang sama menopang perluasan teknologi energi terbarukan yang berkelanjutan. Karena itu, keberadaan air akan meningkatkan keamanan pasokan energi di pasar listrik, bersama teknologi surya dan angin. Di banyak tempat, bendungan PLTA juga melayani masyarakat untuk rekreasi, perlindungan terhadap banjir, irigasi budi daya, atau penyediaan air minum. Karena itu, perluasan infrastruktur PLTA dianggap sebagai solusi potensial untuk menghadapi berbagai tantangan.
Dalam praktiknya, konstruksi dan pengoperasian pembangkit listrik punya kelemahan, bahkan dampak serius dan berjangka panjang. Dari berbagai studi lingkungan, konsekuensi negatif itu antara lain dampak sosial pada komunitas lokal dan konflik lintas batas terutama dalam penggunaan dan penyediaan air, perubahan hidrologi, serta transportasi sedimen.
Bahkan, meski disebut energi terbarukan, PLTA tetap menghasilkan emisi gas rumah kaca akibat degradasi akumulasi bahan organik, penurunan kualitas air, penyebaran penyakit terkait dengan air dan spesies invasif, serta perubahan kondisi habitat, fragmentasi jalur migrasi ikan, hilangnya keanekaragaman hayati, dan erosi jasa ekosistem. Ledakan pembangunan PLTA, karena itu, berpotensi menghalangi pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Misalnya tujuan pelestarian yang dideklarasikan dan disepakati pelbagai negara untuk melindungi keanekaragaman hayati bumi seperti dalam Target Aichi (Target 12), yang menjadi Protokol Nagoya, pada 2010. Sasaran protokol ini mencakup, antara lain, pencegahan pengurangan signifikan hilangnya habitat alami (Target 5), pemeliharaan konektivitas tingkat tinggi, dan pencegahan kepunahan spesies dengan menaikkan status perlindungannya (Target 12).
Masalahnya, selain infrastruktur PLTA, kerusakan lingkungan terjadi pada perubahan pola hidrologi ataupun sistem sungai akibat perubahan iklim. Perubahan pola hidrologi menyebabkan perubahan luas dataran banjir ataupun delta yang memicu perubahan habitat perairan. Kerusakan ini tentu meningkatkan risiko penggunaan jasa ekosistem dan bagi mereka yang mengelola sungai untuk tujuan tertentu, termasuk PLTA (Opperman dkk, 2022).
Krisis iklim juga berpotensi meningkatkan frekuensi kekeringan yang berdampak negatif terhadap PLTA. Sebaliknya, PLTA juga merupakan sumber utama risiko bagi kerusakan ekosistem sungai. Pada gilirannya, kedua sumber risiko ini—perubahan iklim dan PLTA—akan saling berinteraksi merusak ekosistem daerah aliran sungai.
Sejauh ini, interaksi pengaruh global krisis iklim dan pembangunan PLTA terhadap perubahan ekosistem suatu wilayah air untuk pembangkit listrik belum mendapat penghitungan risiko jangka panjang. Padahal operasi PLTA bergantung pada kualitas lingkungan hidup di wilayah hulu daerah aliran sungai yang menjadi pasokan air sebagai bahan bakunya.
Selain itu, dam atau bendungan PLTA menghasilkan reservoir besar yang mengubah berbagai habitat darat ataupun perairan—hutan, dataran banjir, lahan basah, dan sungai—menjadi reservoir yang tenang, yang menangkap endapan sungai atau sedimen. Hilangnya sedimen itu bersama kenaikan permukaan air laut bisa mempercepat “tenggelamnya” delta sungai. Hal lain: bendungan untuk PLTA berdampak negatif pada ekosistem sungai dengan mengubah pola aliran dan kualitas air serta menghalangi pergerakan organisme.
Pelbagai ancaman PLTA itu juga bermuara pada kebutuhan lahan yang luas sehingga akan berdampak terhadap lingkungan di sekitarnya.
Laporan Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), badan ahli di bawah PBB, memperkirakan investasi PLTA dua kali lipat kapasitas global pada 2050. Prediksi ini diamini oleh analisis terbaru Badan Energi Terbarukan Internasional pada 2021. Bila PLTA terus berkembang, karena desakan kebutuhan mencegah krisis iklim, dam atau bendungan akan dibangun pada periode ketika hidrologi bergeser yang berakibat pada pelbagai perubahan hidrologi secara global.
Bila hal itu terjadi, proyek PLTA akan menghadapi berbagai risiko hidrologi yang bakal diperburuk oleh krisis iklim di masa depan. Laporan Van Vliet dkk (2016) memproyeksikan dampak perubahan hidrologi yang didorong oleh iklim pada 24.500 pembangkit PLTA secara global akan mengurangi 61-74 persen kapasitas pembangkit listriknya. Mereka juga memperingatkan bahwa infrastruktur PLTA kian mengancam wilayah-wilayah rawan banjir sehingga dampak risikonya akan kian tak terkendali. Kegagalan proyek bendungan terlihat pada apa yang terjadi di Laos dan Michigan, Amerika Serikat, baru-baru ini.
Di Indonesia, PLTA menjadi bagian dari proyek strategis nasional. Dalam Peraturan Presiden Nomor 109 Tahun 2020 ada ketetapan tentang kategori sektor bendungan dan irigasi. Proyek ini mendapat kemudahan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang Kemudahan Proyek Strategis Nasional. Fasilitas kemudahan dalam peraturan ini menyangkut aspek perencanaan, penyiapan, transaksi, konstruksi, ataupun operasi dan pemeliharaannya.
Mengingat risiko krisis iklim ataupun PLTA sangat besar dan berjangka panjang, akan lebih baik apabila perencanaan pembangunannya mencakup lingkup perlindungan wilayah daerah aliran sungai. Dengan kata lain, PLTA sebagai proyek strategis memerlukan tindakan strategis lain, yaitu perlindungan bahan baku air secara keberlanjutan. Soalnya, tindakan strategis ini belum terlihat atau menjadi pertimbangan dalam peraturan presiden tersebut.
Juga perlu ada pertimbangan cermat atas apa yang dinyatakan dalam kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) untuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 yang disusun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), bahwa kelangkaan air absolut telah dan akan melanda berbagai wilayah di Indonesia. Kelangkaan absolut adalah keadaan ketika jumlah sumber daya air tidak lagi mencukupi kebutuhan manusia, tidak peduli seberapa banyak sumber tambahan bisa kita peroleh. Jawa, menurut Bappenas, akan kehilangan air absolut pada 2040.
Dengan luasnya cakupan wilayah yang perlu ditelaah dalam proyek strategis nasional pembangunan PLTA, termasuk mitigasi krisis iklim, kedalaman dokumen lingkungan agaknya tidak cukup bila hanya mengandalkan analisis mengenai dampak lingkungan. Pengelolaan PLTA memerlukan dukungan kebijakan, rencana, dan program pemerintah sehingga membutuhkan KLHS. Karena berperan dan menjadi acuan penting, kajian lingkungan itu seharusnya tak hanya menjadi syarat administrasi dalam sebuah proyek pembangunan, tapi benar-benar dilaksanakan agar semua dampak buruk tersebut bisa kita cegah sejak awal.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo