Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis iklim menyebabkan fenomena cuaca, iklim, dan air yang ekstrem di semua wilayah bumi.
Krisis iklim juga mengakibatkan bencana hidrometeorologi dengan intensitas lebih parah.
Pembangunan yang mengabaikan keselamatan lingkungan harus ditinggalkan.
BENCANA alam akibat krisis iklim makin sering melanda Indonesia. Dari tahun ke tahun, grafik katastrofe akibat suhu panas, angin kencang, dan curah hujan ekstrem terus meningkat. Demi mengembalikan keseimbangan alam, pemerintah Indonesia seharusnya meninggalkan strategi pembangunan yang mengutamakan investasi tapi mengabaikan keselamatan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aktivitas manusia dalam memproduksi emisi gas rumah kaca menjadi salah satu penyebab meningkatnya pelbagai bencana hidrometeorologi. Kebijakan lingkungan yang buruk juga memperbesar ancaman bagi masa depan planet kita. Bersama negara lain di dunia, Indonesia seharusnya bergegas menyelamatkan bumi ini. Faktanya, ketika bencana alam akibat perubahan iklim makin sering terjadi, pemerintah Indonesia tak kunjung membuka mata atas dampak buruk pelbagai proyek pembangunan yang tak ramah lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ancaman bencana lebih parah akibat perubahan iklim sudah di depan mata. Laporan Kelompok Kerja I Panel Antar-Pemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) yang dirilis pada 9 Agustus 2021 menyebutkan emisi yang dihasilkan manusia, seperti dari pembakaran bahan bakar fosil dan penebangan pohon, mengakibatkan pemanasan sebesar 1,1 derajat Celsius dibanding suhu rata-rata era praindustri (1850-1900). Dengan atmosfer bumi yang makin meriang, Indonesia yang merupakan negara kepulauan seharusnya bergerak cepat memitigasi dampak pemanasan global seperti peningkatan permukaan air laut dan abrasi pantai.
Alih-alih berusaha menyelesaikan masalah, kebijakan pemerintah Joko Widodo malah cenderung lari dari kenyataan. Contohnya keputusan Jokowi memindahkan ibu kota negara dari Jakarta ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Pemerintah semestinya tak mengambil keputusan gegabah karena takut Jakarta—yang sebagian wilayahnya diperkirakan bakal tenggelam pada 2050—tidak mampu lagi menopang aktivitas pemerintahan.
Pemerintah sejatinya punya banyak pilihan untuk membereskan permasalahan lingkungan di Jakarta. Misalnya pemerintah pusat dan daerah bisa merestorasi hutan mangrove di pesisir Jakarta dan pulau-pulau sekitarnya untuk mencegah abrasi lebih parah. Pemerintah juga bisa menahan laju penurunan permukaan tanah di Jakarta, di antaranya dengan mengerem pembangunan gedung-gedung jangkung dan mengendalikan eksploitasi air tanah. Hal yang sama dapat dilakukan di pulau-pulau kecil dan kota-kota pesisir yang makin terancam bencana hidrometeorologi.
Pemindahan ibu kota negara yang dipaksakan juga bisa memicu kerusakan lingkungan di sekitar kota baru. Pembangunan gedung dan infrastruktur kota secara besar-besaran, serta mobilisasi penduduk ke kota baru, mengancam keberlangsungan hidup flora dan fauna. Belum lagi risiko kebakaran hutan pada musim kemarau yang makin meningkat karena ibu kota negara akan berdiri di atas lahan gambut.
Indonesia harus mengeluarkan banyak biaya untuk memulihkan lingkungan yang telanjur rusak. Misalnya, demi memenuhi komitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sampai 2030 saja, Indonesia membutuhkan dana hingga Rp 3.779 triliun. Bila pemerintah saat ini terus membuat kekeliruan dalam mengurus lingkungan, kerugian yang bakal ditanggung generasi mendatang jelas akan makin besar.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo