Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Kawasan Industri Keluarga Menteri

Keluarga Luhut Pandjaitan dan Boy Thohir berada di belakang rencana pembangunan PLTA Kayan, Kalimantan Utara, memasok listrik KIHI. Konflik kepentingan tingkat dewa.

26 Maret 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Proyek Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI) di Kalimantan Utara sarat konflik kepentingan.

  • Keluarga Menteri Luhut Pandjaitan terlibat di perusahaan yang hendak mengambil alih proyek ini.

  • Konflik kepentingan, benturan antara bisnis dan kekuasaan, adalah pintu masuk korupsi yang dilarang Tap MPR hasil Reformasi.

DILARANG 24 tahun silam oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, nepotisme justru dipraktikkan tanpa malu-malu saat ini. Setelah ramai dibantah, keterlibatan keluarga Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan dalam proyek pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Kayan di Kalimantan Utara kini makin benderang. Heidi Melissa Pandjaitan, keponakan Menteri Luhut, tercatat menjadi salah satu direktur di tujuh perusahaan pembangkit yang sahamnya dikuasai PT Kalimantan Energi Hijau, perusahaan tempat Heidi juga menjadi direktur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bersama kerabat Luhut, ada pula Garibaldi Thohir, kakak kandung Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir. Boy—demikian Garibaldi biasa disapa—adalah pemilik 30 ribu hektare lahan yang disiapkan menjadi Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI). Presiden Joko Widodo akhir tahun lalu meletakkan batu pertama di kawasan industri senilai Rp 1.848 triliun tersebut. Sejumlah direktur PT Kalimantan Industrial Park Indonesia dan PT Kawasan Industri Kalimantan Indonesia, perusahaan pengembang KIHI, punya hubungan dengan dua perusahaan milik Luhut dan Erick.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari merunut persoalan ini dari awal.

Kawasan Industri Hijau di Kalimantan Utara merupakan perwujudan rencana tata ruang provinsi pada 2011-2012, dengan nama Kawasan Industri dan Pelabuhan Internasional. Kawasan ini bagian dari konsep pengembangan PLTA Kayan, yang mula-mula disodorkan pengusaha Tjandra Limanjaya, pemilik PT Kayan Hydro Energy (KHE). Tjandra ingin memanfaatkan tenaga air di Sungai Kayan menjadi listrik sekaligus menciptakan kawasan industri yang menjadi penyerap setrum berkapasitas 9.000 megawatt. Pada 2012, dia mengantongi izin lokasi disusul dengan izin usaha penyediaan tenaga listrik pada 2019.

Dalam praktiknya, PLTA tak pernah benar-benar dibangun. Seperti telur dan ayam, KHE membutuhkan kepastian pembangunan kawasan industri sebelum mulai bekerja. Adapun kawasan industri belum bergerak sebelum ada kepastian pasokan energi. Belakangan, latar belakang Tjandra Limanjaya dipersoalkan. Ia disebut-sebut punya rekam jejak buruk ketika membangun Pembangkit Listrik Tenaga Uap Celukan Bawang di Buleleng, Bali.

Kawasan industri hijau ditengarai merupakan upaya pemerintah mengambil alih PLTA Kayan dari KHE. Adalah Menteri Luhut yang menawarkan proyek ini ke mancanegara. Belakangan, Tshingsan Group, kelompok usaha asal Tiongkok, berniat masuk. Perwakilan Tshingsan Group di Indonesia kabarnya telah bertemu dengan Tjandra Limanjaya untuk membahas pengambilalihan tersebut.

Dimodali swasta, Kawasan Industri Hijau akan dikembangkan mirip Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah. Menjadi kawasan industri khusus, pemerintah bakal memberikan banyak insentif kepada industri baterai nikel dan non-nikel, panel surya, dan smelter aluminium yang diklaim bakal ramah lingkungan.

Secara ekonomi, KIHI tentu baik-baik saja. Asalkan dibangun dengan analisis dampak lingkungan yang ketat dan tidak mengabaikan masyarakat adat dan penduduk lokal, kawasan ini bisa meningkatkan ekspor produk nikel dari Indonesia—komoditas yang sebelumnya diproduksi di Cina meski bahan bakunya berasal dari Indonesia.

Betapapun bisa mendatangkan manfaat, tujuan tidak boleh menghalalkan cara. Nepotisme yang dilarang sejak 1998 kini dipraktikkan kembali. Padahal Ketetapan MPR Nomor XI tentang Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme 1998 diterbitkan dengan semangat tak mengulangi kesalahan Orde Baru, era ketika korupsi, kolusi, dan nepotisme menjadi praktik lazim dalam pembangunan ala Soeharto.

Berkedok penyehatan ekonomi, misalnya, aturan ditekuk untuk memuluskan bisnis anak dan keluarga Cendana. Tata niaga cengkih dan jeruk, untuk mengambil contoh, diterapkan bukan untuk menyejahterakan petani, melainkan untuk memberi kesempatan keluarga Soeharto mengambil untung. Kebijakan mobil nasional, contoh lain, dibangun bukan untuk kemandirian industri mobil dalam negeri, melainkan agar anak Soeharto mendapat insentif dan memonopoli industri mobil.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur soal konflik kepentingan. Pasal 43 undang-undang tersebut menyebutkan konflik kepentingan terjadi manakala motif pejabat mengambil tindakan atau keputusan adalah untuk kepentingan pribadi atau bisnis. Pejabat juga terlibat konflik kepentingan jika ia punya kaitan dengan pihak yang bekerja dan mendapat gaji dari mereka yang terlibat.

Apa yang terjadi dalam proyek PLTA Kayan, dengan keberadaan Menteri Luhut Pandjaitan, jelas konflik kepentingan. Jika masih memiliki niat baik menjaga tata kelola pemerintahannya, Presiden Jokowi harus menghentikan praktik lancung anak buahnya itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus