Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENYAMBANGI kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kamis, 17 November lalu, Erasmus Napitupulu membawa sepuluh catatan tentang Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Kepada Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) itu meminta poin-poin tersebut bisa masuk RKUHP.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Pak Wamen mengundang kami untuk mendengarkan langsung masukan yang sudah kami kirimkan,” ujar Erasmus ketika dihubungi, Jumat, 18 November lalu. Erasmus datang bersama anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP lain, seperti Andreas Marbun dari Indonesia Judicial Research Society dan peneliti ICJR, Maydina Rahmawati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erasmus bercerita, Edward berjanji menerima usul yang disampaikannya. Di antaranya pasal pidana mati serta pasal penghinaan terhadap presiden, wakil presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, Kepolisian RI, kejaksaan, dan pemerintah daerah. Erasmus juga mengusulkan delik penghinaan itu menjadi delik fitnah dan ancaman pidananya turun dari 18 bulan menjadi 6 bulan kerja sosial.
Eddy—panggilan Edward Hiariej—membenarkan adanya pertemuan itu. “Mereka memberikan rumusan dengan argumentasi,” katanya, Kamis, 17 November lalu. Ia mengklaim masukan tetamunya langsung dibahas bersama tim ahli RKUHP. Bersama Komisi Hukum DPR, pemerintah akan membahas RKUHP pada pekan keempat November ini.
Pembahasan RKUHP digeber sejak tahun lalu. Pada 2019, pengesahan RKUHP ditunda akibat demonstrasi besar menolak revisi KUHP dan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi. Pemerintah menyerahkan draf terakhir RKUHP ke DPR pada 9 November lalu. Sebelumnya, pemerintah berupaya merangkul sejumlah kelompok yang menolak RKUHP karena sarat pasal bermasalah.
Wakil Menteri Hukum kerap memimpin langsung lobi-lobi tersebut. Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur bercerita, ia dan Aliansi Reformasi KUHP bertemu dengan Eddy dan tim ahli RKUHP di Hotel Gran Melia Jakarta pada 23 Juni lalu. Menurut Isnur, Eddy menyampaikan bahwa pasal-pasal di RKUHP tak bisa berubah karena ada kesepakatan antara pemerintah dan DPR. “Pemerintah lebih banyak mendengar saja,” ujarnya.
Ketua Badan Pengurus Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) Julius Ibrani menuturkan, pemerintah tak memberikan draf RKUHP hingga acara itu digelar. Pemerintah baru membuka paparannya setelah Aliansi memberi masukan. “Kami sampaikan masukan soal pasal penghinaan, tapi pemerintah menyebut itu sudah berubah,” ucapnya, Jumat, 18 November lalu.
Eddy Hiariej juga menggelar pertemuan dengan Aliansi Reformasi KUHP dan sejumlah anggota Komisi Hukum DPR di restoran Hutan Kota Plataran, Jakarta, Agustus lalu. Salah satu yang menjadi diskusi adalah penjelasan Pasal 218 ayat 2 RKUHP bahwa penyampaian kritik terhadap presiden dan wakil presiden harus disertakan dengan solusi.
Pemerintah akhirnya menghapus frasa “penyampaian kritik harus disertakan solusi” dalam penjelasan di draf terbaru pada 9 November lalu. “Kami mendengarkan aspirasi sebanyak mungkin,” ujar Eddy Hiariej.
Anggota Komisi Hukum DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Arsul Sani, bercerita, dalam pertemuan itu ia menegaskan bahwa Dewan tak akan mengubah kesepakatan politik dengan pemerintah, yaitu mempertahankan pasal-pasal yang ada. “Tapi kami mencari alternatif dari masukan mereka,” tutur Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat ini.
Di Aliansi Nasional Reformasi KUHP sendiri juga terjadi perbedaan pandangan terhadap RKUHP. Ada yang menolak mentah-mentah pasal bermasalah dimasukkan ke RKUHP. Namun sebagian lagi memberikan alternatif agar pasal yang disorot bisa lebih baik.
YLBHI dan PBHI termasuk lembaga yang menolak pasal bermasalah dipertahankan dalam RKUHP. Ketua YLBHI Muhammad Isnur meminta sejumlah pasal, seperti mengganggu ketertiban umum, penghinaan presiden, pidana adat, dan pidana mati, dihapus. “Itu membahayakan masyarakat,” katanya.
Adapun Ketua PBHI Julius Ibrani menyoroti pasal-pasal yang mengancam kebebasan pers. Ia menyatakan ada sejumlah pasal dalam RKUHP yang bisa menyeret perusahaan media dan jurnalis ke penjara tanpa melalui mekanisme Dewan Pers.
Sedangkan Institute for Criminal Justice Reform merupakan lembaga yang memberikan alternatif terhadap pasal-pasal bermasalah. Direktur Eksekutif ICJR Erasmus Napitupulu menilai ada perbaikan isi draf setelah pemerintah mendengarkan masukan dari berbagai pihak. “Draf lebih baik dibanding rancangan awal 2015, tapi tetap harus diperbaiki,” ujarnya.
Berupaya membendung pasal bermasalah dipertahankan oleh pemerintah dan DPR, Aliansi Nasional Reformasi KUHP juga bermanuver. Seorang anggota Aliansi bercerita, ada pembagian tugas di antara mereka. Misalnya ada yang bersuara menolak pasal di RKUHP, menggerakkan massa, serta melobi pemerintah dan DPR.
Pada Senin, 14 November lalu, Komisi Hukum DPR mengundang Aliansi Reformasi KUHP. Dua anggota Komisi Hukum bercerita, awalnya mayoritas anggota Panitia Kerja RKUHP ogah menggelar rapat tersebut karena menganggap pertemuan itu tak akan mengubah pasal yang ada di RKUHP. Belakangan, anggota DPR setuju rapat tersebut digelar hanya satu kali.
Dalam rapat itu, Ketua Komisi Hukum Bambang Wuryanto sempat menegur anggota Aliansi Reformasi KUHP yang mempertanyakan sejauh mana masukan mereka akan diakomodasi. Menurut Bambang, DPR tak harus menjelaskan aspirasi suatu kelompok diakomodasi atau tidak. “Anda pelajari dulu mekanisme di DPR,” tutur politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini.
Seusai rapat, sejumlah anggota Aliansi Nasional Reformasi KUHP bertemu dengan anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai NasDem, Taufik Basari, di salah satu restoran di kawasan Senayan, Jakarta. Ketua PBHI Julius Ibrani bercerita, Taufik menjelaskan mekanisme rapat di DPR hingga pengambilan keputusan. Tapi Julius sangsi tuntutan Aliansi Reformasi KUHP akan diakomodasi oleh DPR dan pemerintah. “Meskipun disebut masih ada waktu untuk melakukan perbaikan,” katanya.
Taufik mengakui adanya pertemuan itu. Sejak awal, ia memang kerap berdialog dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil untuk memberikan masukan. “Saya bilang harus ada dua peran yang dimainkan, keras dan lobi,” ucap mantan aktivis YLBHI ini. Ia mencontohkan peran itu dijalankan saat pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang disahkan pada April lalu.
Tapi Ketua YLBHI Muhammad Isnur curiga lobi yang dilancarkan pemerintah dan DPR bertujuan menghilangkan gugatan formil seperti terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja atau omnibus law. Mahkamah Konstitusi pada November 2021 menyebutkan aturan itu cacat formil. Salah satunya karena tak melibatkan partisipasi publik. “Mereka mencegah kasus omnibus law berulang,” ujarnya.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengatakan pemerintah juga berfokus pada proses pembahasan. Ia tak membantah jika disebut berupaya meningkatkan partisipasi publik agar kasus gugatan Undang-Undang Cipta Kerja tak menimpa RKUHP. “Kalau substansi RKUHP, kami clear dan tidak khawatir,” katanya.
RAYMUNDUS RIKANG, YOGA YUDHISTIRA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo