Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERTI pepatah sekali merengkuh dayung dua-tiga pulau terlampaui, demikianlah potensi besar pemanfaatan sedimen, termasuk pasir laut, untuk kebutuhan nasional serta peluang komoditas ekspor yang diinginkan pemerintah. Ekosistem menjadi sehat dan pulih dari kerusakan, alur kapal yang mendangkal bisa kembali, juga ada potensi penambahan lapangan pekerjaan serta pendapatan negara nonpajak. Konsep ini yang menjadi kerangka dasar kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024. Namun, sebagai sebuah sistem, proses ini tidak berjalan linier karena ada kepentingan dalam dan luar negeri yang tersirat dari klausul kepentingan ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agar bisa meyakini kebijakan ini sebagai sesuatu yang strategis dan urgen di sektor kelautan, kita mesti fair melihat faktor internal dan eksternal komoditas itu. Sebab, pengerukan pasir laut tak semata membersihkan area laut dari sedimen. Ada pula insentif ekonomi dari perdagangan dalam dan luar negeri yang menjadi daya tarik investor untuk berlomba mengajukan permohonan izin. Jika melihat luas daerah reklamasi nasional dalam peraturan Menteri Kelautan, ada potensi 17 miliar meter kubik sedimen yang berujung pada peluang pendapatan negara bukan pajak sekitar Rp 99 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebutuhan reklamasi laut Singapura mencapai 5.600 hektare, naik dari sebelumnya yang hanya 889.845 kubik per hektare. Peluang pasar sedimen laut itu menjadi lebih tinggi jika melihat kebutuhan reklamasi global yang mencapai 4,9 miliar meter kubik atau 28 persen dari potensi sedimen yang bisa kita gali saat ini.
Agar pengerukan pasir laut tak semata latah, pemanfaatannya perlu melihat kerangka nasional dan regional tersebut. Dalam kerangka kepentingan nasional, kita mesti menyiapkan instrumen operasional terkait dengan kriteria ekosistem yang rusak, fase pemulihan ekosistem, dan penilaian keberhasilan pembersihan ekosistem tersebut. Sedangkan kepentingan global adalah usaha bersama menurunkan emisi gas rumah kaca melalui ekosistem karbon biru dalam strategi penurunan emisi karbon di proposal nationally determined contribution (NDC).
Menurut panduan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (IPCC) 2013, cara menurunkan emisi gas rumah kaca dari laut adalah penyerapan melalui ekosistem padang lamun (seagrass), alga, sedimen bawah laut, sedimen tak bervegetasi di pesisir, serta fitoplankton. Semua ekosistem itu terkait dengan sedimen. Seagrass kita kenal sebagai ekosistem “sediment trap” yang menyimpan karbon dalam sedimen serta berfungsi mengurangi kecepatan arus laut. Makroalga hidup dengan habitat sedimen dan fitoplankton yang mati mengandung karbon juga terdeposit dalam sedimen.
Perhitungan Carboncredit (2023) menyebutkan seagrass mampu menyalurkan karbon sebesar 90 persen ke sedimen laut. Seagrass juga mampu menangkap karbon 40 kali lebih cepat daripada hutan tropis. Fiksasi ekosistem makroalga mampu menyerap 50 persen karbon. Adapun sedimen pesisir tak bervegetasi menyimpan 16,6 juta ton karbon per tahun. Dari angka-angka ini, kita tahu sedimen laut merupakan habitat strategis dalam mitigasi krisis iklim.
Sesuai dengan komitmen Indonesia untuk NDC, keberadaan sedimen bisa menjadi daya tawar pemerintah Indonesia dalam diplomasi iklim internasional. Artinya, komponen ekosistem dan habitat laut menjadi obyek yang harus dijaga dari pengadukan, pengerukan, juga pemindahan dan penghilangan. Dengan kata lain, kebijakan pengerukan sedimen laut dan penjualannya tak sejalan dengan komitmen penurunan emisi baik secara nasional maupun global.
Dari kepentingan regional, pemanfaatan pasir laut tampak dilakukan hanya untuk memenuhi kebutuhan Singapura. Negara pulau ini punya program reklamasi pantai yang besar hingga 2030. Ada tiga area laut yang hendak mereka timbun, yakni perluasan Bandar Udara Changi, perluasan Pulau Jurong, dan Pelabuhan Tuas.
Pembangunan Pelabuhan Tuas dengan kapasitas handling mencapai 65 juta unit setara 20 kaki (TEUs) hampir dua kali lipat Terminal Pasir Panjang yang sebesar 34 juta TEUs dari kapasitas 37 juta TEUs. Jika selesai, pelabuhan ini akan menjadi pelabuhan tersibuk dan terbesar di dunia, melampaui Shanghai di Cina yang hanya 47,03 juta TEUs. Artinya, Singapura telah menargetkan diri sebagai negara kecil yang menjadi pusat lalu lintas barang di kawasan regional dan dunia.
Semestinya, dengan visi Nusantara dan kekuatan laut kita, pelabuhan terbesar dunia berada di Indonesia. Dengan begitu, pemanfaatan sedimen laut untuk reklamasi hanya diperuntukkan bagi kepentingan dalam negeri, bukan memasok kebutuhan negara lain. Mereklamasi pelabuhan-pelabuhan di Indonesia lebih penting dibanding menjual pasir ke Singapura. Menurut Worldshipping.org, kapasitas Pelabuhan Tanjung Priok saat ini hanya 6,85 juta TEUs, berada di urutan ke-23 dunia. Kapasitas ini hanya 18 persen dari kapasitas pelabuhan Singapura yang membuat maritim Indonesia sulit berkembang.
Dengan begitu, jika kita memiliki visi kemaritiman yang jelas, klausul ekspor dalam pengaturan pengerukan sedimen laut mesti dikeluarkan. Potensi besar nilai ekspor hanya iming-iming sesaat karena kerusakan ekosistem laut akan menjadi dampaknya di kemudian hari. Ekosistem karbon biru yang rusak membuat Indonesia terancam tak bisa memenuhi target pengurangan emisi karbon dalam mitigasi iklim.
Jika sedimen dimanfaatkan untuk kepentingan dalam negeri, potensi ekonomi jangka panjangnya juga besar. Fokus pembangunan kita semestinya pada agromaritim, yang dimulai dengan memperkuat pelabuhan, menaikkan produktivitas pertanian dan perikanan, serta memusatkan kekuatan jasa ekosistem dan lingkungan strategis. Kita sudah bosan mendengar slogan sebagai bangsa maritim yang besar tanpa visi jangka panjang jelas untuk mencapainya. Pengerukan dan ekspor pasir laut seperti pembocoran kapal oleh penumpang sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mudarat Kebijakan Ekspor Pasir Laut"