Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MAKIN terang, dari sudut pandang pelestarian lingkungan, Undang-Undang Cipta Kerja merupakan kitab berisi resep penjarahan sumber daya alam secara terstruktur dan sistematis. Tak hanya menjadi ancaman serius bagi lingkungan hidup, pasal-pasal kontroversial dalam omnibus law tersebut juga membuka ruang kongkalikong antara penyelenggara negara dan pengusaha.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal 110A dan 110B menjadi salah satu contohnya. Pemerintah mengklaim dua pasal ini sebagai solusi untuk membereskan komplikasi masalah tata ruang dan perizinan kegiatan usaha di kawasan hutan. Namun sejak awal, karena mengutamakan sanksi administratif ketimbang pidana, pasal-pasal tersebut malah menjadi surat pemutihan atau pengampunan bagi pengusaha perkebunan dan pertambangan yang bertahun-tahun beroperasi ilegal di kawasan hutan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini bau amis di balik penerapan sanksi administratif di sektor pertambangan itu mulai menyengat. Pemerintah mengidentifikasi sebanyak 500 perusahaan tambang—yang sebagian atau seluruh area produksinya—berada di kawasan hutan seluas 265 ribu hektare tanpa izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH). Setidaknya, hingga Februari 2024, sebanyak 63 perusahaan telah membayar denda administratif senilai Rp 392,04 miliar. Sebagian di antara mereka juga telah diganjar dengan penerbitan izin pinjam pakai sehingga bisa melanjutkan penambangan.
Belum rampung sepenuhnya, pemutihan tambang ilegal dalam kawasan hutan tersebut mulai menunjukkan seabrek persoalan. Pangkalnya, satuan tugas pemerintah yang dikomando Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi tak pernah transparan, baik dalam penentuan formula tarif denda maupun penetapan sanksi kepada korporasi. Walhasil, masyarakat luas tak bisa menguji apakah pembayaran denda dari perusahaan tambang kepada negara sebanding dengan kerusakan lingkungan yang selama ini mereka timbulkan.
Pelaksanaan undang-undang yang serba tertutup itu sangat mencurigakan di tengah mesranya hubungan pemerintah dengan sebagian pemodal. Bau persekongkolan pun menusuk hidung. Setidaknya 11 korporasi tambang ditengarai membayar denda lebih rendah dari seharusnya. Bocoran dokumen yang diperoleh Tempo mencatat perusahaan-perusahaan itu membayar dengan acuan luas tambang tanpa IPPKH hanya sekitar 791 hektare. Padahal hasil analisis spasial Auriga Nusantara mengindikasikan luas tambang tanpa IPPKH mereka semestinya lebih dari 1.723 hektare.
Buruknya tata kelola dalam pemutihan tambang ilegal di kawasan hutan baru satu persoalan. Pada saat bersamaan, pemerintah juga tengah menggeber pemutihan status perkebunan sawit ilegal dalam kawasan hutan yang hingga kini tak terang perkembangannya. Dengan obyek yang lebih luas, sekitar 3,37 juta hektare, proses pemutihan kebun sawit ilegal yang tak terbuka juga rawan menjadi ladang kolusi dan korupsi yang lebih masif.
Bila tak ada yang menghentikan, pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja yang ugal-ugalan akan menjadi salah satu warisan buruk pemerintahan Presiden Joko Widodo. Buntut segala petaka yang ditimbulkannya bisa menyambar ke mana-mana. Pemerintahan berikutnya, bersama badan legislatif, seharusnya mencabut undang-undang “sapu jagat” tersebut.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cuci Dosa Tambang Ilegal"