Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENERBITAN dua aturan penyedotan pasir laut kian memperjelas watak rezim Joko Widodo yang lebih senang melindungi kepentingan bisnis segelintir konglomerat ketimbang menjaga kelestarian lingkungan. Mengabaikan masukan akademikus dan pegiat lingkungan, Kementerian Kelautan dan Perikanan berkeras meneruskan kebijakan yang berpeluang membuka kembali keran ekspor pasir laut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketentuan pembersihan hasil sedimentasi laut diatur dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2023 serta Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 16 Tahun 2024. Keduanya merupakan turunan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023—yang berdasarkan rekomendasi Tim Percepatan Reformasi Hukum bentukan Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan perlu dicabut karena berisiko menyebabkan konflik dan berdampak buruk terhadap lingkungan hidup.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alasan klise demi mendukung pembangunan dan perekonomian, seperti yang dipakai pemerintah saban kali menerbitkan kebijakan mengenai eksploitasi sumber daya alam, juga digunakan pemerintah dalam penerbitan aturan-aturan pemanfaatan sedimen laut. Namun kebijakan ini hanya akan menguntungkan pengusaha kelas kakap bermodal jumbo.
Bagaimana tidak, lewat berbagai aturan turunan ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan menetapkan kriteria pelaku usaha yang dapat menyedot sedimen laut, seperti pasir. Kriteria itu di antaranya menyangkut kemampuan modal dan syarat calon kontraktor penyedot pasir laut menyetor penerimaan negara bukan pajak sebesar 5 persen dari nilai volume sedimen yang akan dimanfaatkan. Jika pengusaha tak mampu membayar tagihan tersebut dalam rentang waktu yang diberikan, persetujuan izin pemanfaatan pasir laut akan dibatalkan.
Dengan penetapan syarat semacam itu, pemerintah tak malu-malu lagi menunjukkan keberpihakannya kepada para konglomerat alih-alih kepada rakyat. Pada masa pendaftaran permohonan izin pembersihan dan pemanfaatan hasil sedimentasi laut, sebanyak 22 perusahaan menyatakan minat. Para calon penyedot pasir laut ini nantinya harus bermitra dengan perusahaan yang membutuhkan sedimen, seperti kontraktor yang akan melakukan reklamasi.
Mudah ditebak, izin proyek-proyek reklamasi itu sudah dipegang perusahaan pengembang yang sedang menggarap pulau buatan di utara Jakarta. Dengan adanya aturan pemanfaatan sedimen laut, mereka tinggal mencari mitra operator dan pemasok pasir laut. Beberapa pulau reklamasi itu terhubung dengan proyek pengembangan Pantai Indah Kapuk 2, yang bersama proyek pengembangan perumahan elite Bumi Serpong Damai dan 12 proyek lain baru saja mendapat status proyek strategis nasional (PSN).
Masuknya Pantai Indah Kapuk 2 ke daftar PSN, ditambah dukungan kebijakan penyedotan pasir laut ini, memperkuat bau politik balas budi Jokowi kepada taipan. Kita tahu, proyek itu dimiliki raksasa properti, Grup Agung Sedayu. Perusahaan ini tergabung dalam Konsorsium Nusantara yang turut memodali pembangunan di Ibu Kota Nusantara.
Masalah juga muncul dalam penetapan tujuh lokasi prioritas pengerukan hasil sedimentasi laut. Kebijakan yang diklaim bertujuan memenuhi kebutuhan proyek-proyek pembangunan infrastruktur nasional itu justru tumpang-tindih dengan aktivitas penambangan pasir yang selama ini berjalan menggunakan izin usaha pertambangan operasi produksi (IUP-OP).
Bahkan lokasi-lokasi yang ditetapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan itu beririsan dengan wilayah IUP-OP yang ditentukan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral. Bisa dibayangkan betapa masifnya aktivitas pengerukan dan penyedotan pasir laut ini nantinya.
Di ujung pemerintahan Jokowi, kerusakan ekosistem wilayah perairan dan pesisir, andalan menyerap dan menurunkan emisi karbon dalam kebijakan mitigasi krisis iklim, tinggal menunggu waktu saja.
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Suka-suka Membagi Konsesi Pasir Laut"