Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jokowi menggencarkan pembangunan yang cenderung mengabaikan lingkungan dan masyarakat.
Penambangan batu andesit untuk bendungan Bener di Purworejo akan menjadi contoh nyata.
Perlawanan aktivis sosial memberi harapan masih adanya kontrol publik.
BENDUNGAN Bener di Purworejo, Jawa Tengah, kelak akan menjadi monumen pembangunanisme ala Joko Widodo (Jokowi). Diklaim buat “menyejahterakan masyarakat”, bendungan justru dibangun dengan menyingkirkan kehidupan banyak orang, terutama penduduk Desa Wadas, wilayah sumber batu andesit, material utama proyek itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rencana penambangan batu andesit di Wadas itu menegaskan watak pembangunan pemerintah Jokowi yang miskin partisipasi warga. Proyek ini dijalankan dengan mengakali aturan dan menekan mereka yang menolaknya. Operasi represif aparat kepolisian ke wilayah itu dilakukan dengan dalih mengawal pengukuran tanah. Inilah contoh nyata pembangunanisme Jokowi: semua proyek hanya diukur dengan manfaatnya pada ekonomi, tak peduli prosesnya menyengsarakan banyak penduduk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boleh jadi semua berawal dari hasrat Jokowi meninggalkan warisan besar proyek-proyek infrastruktur. Semua dicantumkan dalam 201 proyek strategis nasional hingga 2024, dari pembangunan pembangkit listrik, jembatan, jalan tol, hingga bendungan dan irigasi. Untuk memuluskan rencana ini, pemerintah menyusun aturan sapu jagat, yakni Undang-Undang (UU) Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan pemerintah memperbaiki penyusunan undang-undang itu, yang juga dilakukan tanpa melibatkan partisipasi publik.
Cipta Kerja memungkinkan proyek strategis nasional diutamakan, kendati tak sesuai dengan daya dukung lingkungan. Faktor-faktor yang berpotensi mengganggu pun telah “dibereskan”. Misalnya mengerdilkan Komisi Pemberantasan Korupsi dengan menempatkannya pada rumpun eksekutif, tak lagi sebagai lembaga independen. Boleh jadi operasi penindakan oleh lembaga itu pada masa lalu dianggap menjadi sandungan buat para pelaksana aneka proyek berbiaya jumbo tersebut.
Cara pembangunan seperti itu sebenarnya merupakan pendekatan masa lalu. Pada pertengahan abad lalu, negara-negara berusaha bangkit dari keterpurukan setelah perang melalui pembangunan fisik. Mereka mengabaikan kelestarian lingkungan. Ekonomi digerakkan industri ekstraktif. Krisis iklim yang ditandai aneka fenomena alam saat ini merupakan dampak jangka panjang kegiatan masif itu.
Mazhab pembangunanisme (developmentalism) itu mendapat kritik dari para konservasionis yang melihat dunia sebagai ruang suci. Manusia tak boleh menjadi penyebab daun jatuh. Dua pandangan bertolak belakang ini ditengahi oleh satu tawaran jalan ketiga yang disebut dengan “pembangunan berkelanjutan”.
Konsep ini menganjurkan pembangunan selaras dengan lingkungan dan memuliakan manusia. Banyak negara maju mempraktikkan konsep ini karena tahu akibat buruk dari pembangunan masif yang mengabaikan keduanya. Maka kritik pada rencana menambang batu andesit Wadas adalah usaha mengingatkan kembali pemerintah dari kesemena-menaan pembangunanisme yang sudah menjadi artefak abad lalu.
Praktik pembangunanisme Jokowi pun sama dan sebangun dengan penguasa Orde Baru, Soeharto. Contohnya, ketika membangun waduk Kedungombo di tiga kabupaten di Jawa Tengah pada 1989, Soeharto menggunakan pendekatan represif untuk menyingkirkan para penentang. Demi listrik tenaga air, waduk seluas 6.576 hektare yang dibangun memakai utang luar negeri US$ 181,2 juta itu menenggelamkan 37 desa dan mengusir 5.268 keluarga.
Pemerintah Jokowi tak kalah keras menekan penentang penambangan Desa Wadas. Selain pasukan kepolisian yang bertindak brutal menghadapi masyarakat, pasukan siber menekan aktivis dan pembela hak warga Wadas. Kritik para aktivis tak hanya dihalau secara fisik, tapi juga lewat pembajakan akun-akun media sosial mereka.
Di zaman Internet, dengan polarisasi yang tak kunjung padam, penggiringan opini menjadi lebih mudah. Mereka yang menolak proyek strategis nasional karena merebut ruang hidup orang banyak segera dicap dan digolongkan ke dalam kelompok “tak menginginkan kemajuan”. Mantra ini efektif membelah publik ke dalam kelompok “pendukung” dan “penentang” pemerintah. Ini pun sama persis dengan pemerintah Soeharto yang melabeli penolak Kedungombo sebagai “PKI”.
Polarisasi ini membuat para ilmuwan tak bersatu membela mereka yang lemah. Budayawan yang dulu aktif menyoal pembangunanisme Soeharto sunyi senyap dalam membela penduduk Wadas. Di era demokrasi, aktivisme sosial justru runtuh.
Segelintir ilmuwan dan aktivis yang tampil membela hak masyarakat Desa Wadas tentu saja memberi sedikit harapan, tentang berjalannya kontrol publik pada pembangunanisme salah arah. Sebab, pembangunan yang menindas ruang hidup masyarakat hanya akan menjadi warisan mercusuar tak bermakna.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo