Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pemerintah Belanda meminta maaf atas kekerasan sistematis saat Perang Kemerdekaan, 1945-1949.
Permintaan maaf itu berbasis riset sejarah yang dibiayai pemerintah Belanda.
Indonesia perlu mencontoh praktik baik ini dengan mengungkap sejarah periode “Bersiap”, 1945-1946.
LUPAKAN tuntut-menuntut, buang jauh-jauh niat minta ganti rugi. Hal yang perlu pemerintah Indonesia lakukan setelah pemerintah Belanda meminta maaf atas kekerasan sistematis yang mereka jalankan di masa Perang Kemerdekaan adalah mendorong penelitian sejarah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Satu babak dalam rentang 1945-1949 yang masih terselimuti kabut kelam adalah periode Bersiap. Istilah ini merujuk pada kekerasan yang dilakukan laskar Indonesia terhadap warga Belanda dan Indo-Belanda mulai Agustus 1945 sampai Maret 1946.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita lebih mengenal masa ini dengan revolusi sosial. Memanfaatkan kekosongan otoritas di awal kemerdekaan, barisan laskar menyerang pejabat daerah, priayi, dan etnis Cina sebagai pelampiasan dendam berlatar sosial dan ekonomi. Kelompok yang diserang dipersepsikan sebagai warga kelas satu yang segregasi sosialnya dibuat pemerintah kolonial semasa berkuasa.
Berlangsung di hampir semua daerah, kasus yang mencuat adalah Peristiwa Tiga Daerah dan Revolusi di Sumatera Timur. Kardinah, adik RA Kartini dan istri Bupati Tegal, ikut menjadi korban dengan diarak massa, sementara penyair Amir Hamzah tewas dipenggal di Langkat, Sumatera Utara. Dalam buku pelajaran sejarah, pelaku kekerasan disebutkan sebagai pemuda komunis, meski berbagai studi menyatakan revolusi tersebut merupakan gerakan lintas golongan.
Buku sejarah juga tidak menyinggung tentang pembunuhan, penyiksaan, dan perampokan warga Belanda dan Indo-Belanda di rentang 1945-1946 tersebut. Padahal, bagi warga Belanda, ini merupakan periode terkelam mereka selama hidup di Hindia Belanda.
Penelitian terbaru Belanda mengungkapkan terdapat hampir 6.000 orang Belanda dan Eropa, Indo-Eropa, Maluku, Minahasa, Timor, serta orang Indonesia lain yang disebut berpihak kepada Belanda tewas pada periode “Bersiap”. Jumlah itu melebihi akumulasi korban jiwa tentara Belanda, termasuk tenaga lokal, yang berperang di Indonesia antara 1945 dan 1949, yaitu 5.300. Itu pun hanya separuhnya yang meninggal di medan laga, sisanya akibat sakit atau mengalami kecelakaan. Sebaliknya, pejuang Indonesia yang gugur mencapai 46 ribu. Angka ini sebatas korban yang jatuh mulai Agresi Militer II pada Desember 1948 hingga Juli 1949. Total kematian di luar periode itu tidak diketahui.
Hasil riset empat tahun itu yang membuat Perdana Menteri Mark Rutte meminta maaf kepada Indonesia. Mereka mengakui para tentara telah melakukan kekerasan berlebihan secara sistematis terhadap warga Indonesia selama 1945-1949. Secara paralel, pameran bertema revolusi Indonesia, dari sudut pandang Indonesia, berlangsung di Rijksmuseum, Amsterdam, hingga Juni mendatang.
Langkah positif Belanda ini perlu Indonesia tiru. Berawal dari desakan akademikus akan pentingnya pengungkapan sejarah, Den Haag menggelontorkan dana setara dengan Rp 66,7 miliar untuk membiayai penelitian akbar itu. Mereka pun menerima hasil riset ilmiah itu meski bertentangan dengan sikap negara selama ini. Sejak 1969, saat pertama kali muncul laporan kejahatan perang, Belanda selalu menyatakan pelanggaran tentara mereka di Indonesia merupakan “ekses revolusi” dan “secara umum militer berlaku sesuai dengan aturan”.
Pemerintah Indonesia harus mensponsori kajian sejarah yang independen perihal periode “Bersiap”. Sudah saatnya sejarah ditentukan oleh fakta dan kajian ilmiah, bukan oleh versi penguasa untuk kepentingan politik sesaat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo