Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Pemerintahan Prabowo tak berpihak pada konservasi dan mitigasi krisis iklim.
Pemangkasan anggaran berdampak pada kegiatan patroli, pemantauan satwa, dan pencegahan kebakaran.
Kebijakan fiskal berpotensi memperburuk kinerja pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi.
JIKA ingin membaca arah kebijakan Presiden Prabowo Subianto pada sektor lingkungan hidup, lihat saja bagaimana pemangkasan anggaran berlaku di sejumlah kementerian yang berkaitan dengan sumber daya alam. Kebijakan fiskal teranyar makin menunjukkan politik pemerintahan Prabowo yang tak berpihak pada agenda konservasi dan mitigasi krisis iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Rabu pekan lalu, 12 Februari 2025, Dewan Perwakilan Rakyat merampungkan pembahasan pemangkasan anggaran yang disodorkan pemerintah. Bujet semua kementerian dan lembaga dipangkas. Adapun target efisiensi belanja negara tak berubah, total Rp 306,7 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perubahan itu—yang disebut pemerintah sebagai rekonstruksi efisiensi—memang mengurangi besaran pemangkasan anggaran pada sejumlah kementerian. Belanja Kementerian Kehutanan, misalnya, hanya dipangkas Rp 1,22 triliun dari semula hendak dipotong Rp 1,5 triliun. Namun anggaran 17 kementerian dan lembaga lain yang awalnya dikecualikan dari kebijakan efisiensi akhirnya turut dipangkas, seperti Kementerian Pertahanan dan Badan Gizi Nasional.
Pemangkasan anggaran yang tak transparan di lingkup internal pemerintah dan pembahasan ala kadarnya di DPR sepekan terakhir telah menabrak asas utama pengelolaan keuangan negara: akuntabilitas. Publik tidak bisa menilai dasar keputusan anggaran sebuah satuan kerja dipangkas lebih besar dibanding satuan kerja lain. Tanpa akuntabilitas, kebijakan fiskal tidak hanya rentan disusupi agenda politik penguasa, tapi juga bisa mengorbankan kepentingan publik.
Gejalanya terlihat dari efisiensi anggaran di Kementerian Kehutanan. Pemangkasan anggaran paling besar dialami Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (Ditjen KSDAE), satuan kerja yang bertugas mengelola, mengawasi, dan menjaga 564 kawasan konservasi serta keanekaragaman hayati di dalamnya. Pemangkasan ini bakal memaksa unit pelaksana teknis KSDAE di daerah menyetip kegiatan patroli dan penegakan hukum kehutanan, pemantauan satwa, pencegahan kebakaran, serta pemulihan ekosistem yang selama ini dibiayai perjalanan dinas.
Absennya berbagai agenda tersebut berpotensi memperburuk kinerja pengelolaan dan pengawasan kawasan konservasi. Merujuk pada hasil analisis Auriga Nusantara, selama masa pemerintahan Joko Widodo, luas deforestasi di kawasan konservasi mencapai 287,6 ribu hektare—meningkat 29 persen dibanding satu dekade pemerintahan sebelumnya. Setelah biaya perjalanan dinas petugas KSDAE dipangkas, deforestasi bisa jadi memburuk.
Efisiensi anggaran Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral juga janggal. Anggaran Ditjen Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) yang bertugas mengawal agenda transisi energi—meninggalkan bahan bakar fosil—juga dipangkas lebih dari separuh. Sementara sebelumnya Ditjen EBTKE menjadi pengelola belanja negara terbesar di Kementerian ESDM, sekarang malah belanja Ditjen Minyak dan Gas Bumi serta Ditjen Mineral dan Batubara yang dominan.
Pola pemangkasan anggaran tersebut sungguh mengkhawatirkan. Pemerintahan Prabowo makin menunjukkan sikapnya yang hanya melihat alam sebagai sumber daya ekonomi. Masyarakat akan menanggung bencana akibat kebijakan pemerintah yang terus memunggungi pentingnya pelestarian alam dan penanganan perubahan iklim. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo