Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DULU jalan sekitar areal perkebunan di daerah Medan, Tebingtinggi Deli, dan sekitarnya tidak diaspal, tapi dilaburi cangkang, tempurung kelapa sawit yang keras, sehingga amat baik sebagai pengeras jalan. Sekarang cangkang itu tidak kita temukan lagi di jalan. Kabarnya diekspor, setelah ada pihak Jepang yang melihat kurang termanfaatkannya barang itu secara maksimal.
Inilah ilustrasi menarik bahwa kita memiliki barang yang kita tidak tahu nilainya, sampai pihak asing menetapkannya. Demikian juga agaknya yang terjadi dengan berbagai sumber daya alam lain. Kini negara berkembang mendapat barang baru, yang tadinya tidak begitu diperhatikan sampai ”dicuri” orang. Inilah sumber genetika (SG), yang dalam banyak hal dikombinasikan dengan pengetahuan tradisional (PT).
Beberapa tahun lalu kantor paten Jepang membatalkan 11 paten Shiseido. Sebab, ternyata, seperti yang disampaikan oleh LSM Pesticide Action Network, tidak ada unsur ”baru” dari invensi itu, yang merupakan syarat utama pemberian paten. Kita tahu kasus beras basmati dan tanaman turmeric yang sudah pernah mendapat paten di Amerika Serikat, tetapi kemudian terpaksa dibatalkan karena protes dari pihak India.
Tanaman ploinoi Thailand dipatenkan di Jepang, dan nata de coco Filipina dipatenkan di Amerika. Baru-baru ini Peru memprotes permohonan mematenkan maca, sejenis akar-akaran yang tumbuh di dataran Andea, yang kabarnya berkhasiat untuk penambahan hormon lelaki. Semua contoh itu menunjukkan SGPT yang berasal dari Selatan, yang diberi perlindungan di Utara, sehingga hak penggunaan oleh si empunya asli bahan tersebut menjadi tertutup.
SGPT merupakan rezim tersendiri. Ia bukan bagian dari sistem hak kekayaan intelektual, walaupun ada beberapa unsur hak itu yang dapat digunakan sebagai rezim perlindungannya. Malah seperti dalam contoh di atas, sistem hak kekayaan intelektual menyebabkan SGPT ”tercuri” secara sah. Jadi, jika hak kekayaan intelektual memberikan perlindungan atas karya pribadi seseorang, sebaliknya SGPT, seperti terlihat dalam kasus Shiseido di atas, adalah sumber dan keterampilan yang sudah menjadi milik komunitas setempat.
Pada awalnya pemeriksa paten (patent examiners) Jepang itu juga tidak salah. Sebab, ketika dia memeriksa ada-tidaknya unsur baru dalam invensi yang diajukan, pemeriksa paten itu tidak menemukan informasi atau publikasi yang menandakan bahwa SGPT yang akan dipatenkan bukan hal baru. Jadi, SGPT yang tadinya dimiliki komunitas setempat diambil pihak lain dan dilindungi secara eksklusif dengan paten.
SGPT kini telah diakui oleh masyarakat internasional dalam pengaturan seperti termuat dalam Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati 1992. Konvensi ini mengandung sejumlah ketentuan yang pada intinya memberikan hak penuh kepada negara yang memiliki sumber genetika untuk memanfaatkannya. Secara khusus pasal 8(j) CBD menyatakan, negara anggota berhak memelihara dan melestarikan: ”... knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles....” yang relevan untuk konservasi dan pelestarian keanekaragaman hayati, serta mengembangkan konsep pembagian keuntungan (benefit sharing) yang seimbang sebagai hasil penggunaan SGPT.
Dengan kelahiran Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati, SGPT telah menyumbang pada perubahan hukum internasional. Konvensi itu merupakan pengakuan atas hak negara-negara terhadap satu jenis sumber daya. Sebelum itu, konsep pengelolaan sumber genetika didasarkan pada prinsip common heritage of mankind (warisan bersama umat manusia). Artinya, sumber genetika terbuka sebagai obyek penelitian bagi siapa saja, asalkan tidak untuk dikomersialkan.
Namun kenyataannya prinsip ini menimbulkan banyak ekses. Kasus Shiseido adalah satu contoh, dan itu berlangsung terus kendati konsep warisan bersama umat manusia sudah dikoreksi Konvensi. John Mugabe dan Charles Barber menulis, praktek-praktek curang ini mengakibatkan negara dan masyarakat lokal penyedia SGPT sama sekali tidak mendapat manfaat dari sumber daya tersebut (Access to Genetic Resources, 1997).
Begitu juga yang dikatakan Shakeel Bhatti, seorang pejabat World Intellectual Property Organization (WIPO), dalam WIPO Regional Symposium di Yogyakarta pada 17-19 Oktober 2001, bahwa warisan bersama itu telah disalahartikan sebagai sumber daya yang semata-mata diperuntukkan bagi innovator, bukan sebagai barang yang tersedia dalam domain publik.
Atas desakan negara berkembang, WIPO mensponsori pembentukan Intergovernmental Committee (IGC) pada 2000. Tugas IGC meliputi tiga hal: (i) akses ke sumber genetika dan benefit sharing (pembagian keuntungan); (ii) perlindungan atas PT, inovasi dan kreativitas; dan (iii) perlindungan terhadap ekspresi folklor, termasuk kerajinan tangan.
Serangkaian pertemuan internasional dilakukan atas sponsor WIPO di berbagai negara, termasuk yang di Yogyakarta tadi. Simposium ini antara lain menyimpulkan, sekalipun SGPT bukan masalah hak kekayaan intelektual, WIPO adalah forum yang paling tepat guna memberikan solusi yang dapat diterima oleh masyarakat internasional untuk masalah hak kekayaan intelektual yang berkaitan dengan SGPT dan folklor. WIPO juga akan membantu negara berkembang memperkuat sistem hak kekayaan intelektual mereka, yang berkaitan dengan SGPT
Mengenai pengetahuan tradisional, WIPO akan meneruskan studi dan memfasilitasi berbagai diskusi guna menjernihkan pengetahuan tradisional mana yang sebenarnya tepat diberi perlindungan. Ini kesimpulan yang patut dicatat. Sebab, seperti sudah disinggung di muka, berbeda dari rezim hak kekayaan intelektual, pengetahuan tradisional sudah menjadi milik komunitas setempat. Berkaitan dengan ini masalah data dan informasi menjadi penting untuk disebarluaskan, sehingga kasus seperti Shiseido tidak terjadi lagi, dan karena itu Simposium menyimpulkan agar WIPO memfasilitasi pertukaran informasi untuk penelitian prior art, yakni teknologi yang sudah terungkap sebelumnya. WIPO juga akan mengambil langkah pembentukan semacam perpustakaan digital pengetahuan tradisional.
APA langkah lanjut negara berkembang dalam memberikan arti bagi kehadiran SGPT? Ada tiga hal. Pertama, melanjutkan langkah-langkah hukum untuk mengerangkai rahmat atas adanya sumber daya yang terlewatkan dari perhatian itu. Implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi, bagi negara berkembang yang telah meratifikasinya, seyogianya segera dilakukan.
Pada tingkat nasional, implementasi ini memiliki tiga tahap penting: (1) survei dan penelitian intensif; (2) inventarisasi; dan (3) publikasi potensi SGPT secara nasional. Meminjam kata-kata Susan Kling Finston, pakar Amerika yang bergerak di industri farmasi, apa yang mutlak dilakukan oleh negara Selatan adalah mengenali kepentingan mereka sendiri, dan memetakan satu strategi untuk mencapai tujuan tersebut (The Journal of World Intellectual Property, 2005).
Tahap ini harus dimasukkan ke strategi pembangunan nasional negara berkembang, sebagai refleksi adanya kemauan politik pemerintah mereka. Ini merupakan pekerjaan besar, terutama bagi negara berkembang yang wilayahnya luas seperti Indonesia, yang jelas tidak akan mampu melakukan sendiri. Di sinilah pentingnya kerja sama dengan badan internasional seperti WIPO, yang sudah memulai langkah seperti yang telah digambarkan di muka.
Kedua, perlunya implementasi regional guna mendukung langkah nasional dan global. Sebab, aktivitas pada tingkat nasional saja tidak cukup. Silke von Lewinski, misalnya, menyatakan pentingnya kerangka kerja sama regional. Menurut profesor dari Munich itu, satu sumber daya kemungkinan ditemukan di satu wilayah negara melintas ke wilayah negara lain, sehingga tentu saja pengguna sumber akan memilih akses ke negara yang pengaturannya lemah (Indigenous Heritage and Intellectual Property, 2004).
Ketiga, walaupun hukum internasional sudah mengatur soal SGPT, pengaturan tersebut dirasa kurang terejawantahkan, karena tipisnya dukungan negara maju. Namun, walaupun tidak dapat dikatakan mewakili negaranya, apalagi keseluruhan negara industri, penting dicatat ungkapan Susan Kling Finston, yang mendukung konsep access and benefit sharing serta alih teknologi yang diinginkan negara berkembang.
SEMENTARA itu, dari hasil sidang-sidang IGC I sampai VII, akan dirumuskan semacam rancangan perjanjian internasional, yang dibawa ke sidang IGC WIPO, September 2005. Diperkirakan beberapa negara maju akan menolak rancangan itu, sedangkan negara berkembang terang akan berada pada posisi sebaliknya, dan Uni Eropa bersifat netral. Sifat Uni Eropa yang kemungkinan akan tetap moderat ini tidak mengherankan. Pascal Lamy, Trade Commissioner UE, mengakui banyaknya bahan yang terdapat di masyarakat tradisional yang dapat berguna untuk seluruh masyarakat dunia. Menurut Pascal Lamy, adalah wajar jika negara-negara yang mempunyai sumber daya itu mendapat manfaat dari eksploitasi tersebut (World Intellectual Property Reports, 2002).
SGPT sebagai bagian dari sumber daya sudah mulai berada dalam perhatian masyarakat internasional. John Mugabe dan Charles Victor Barber menulis, dewasa ini berbagai sengketa berkaitan dengan akses dan pertukaran sumber genetika telah menjadi perhatian penentu dan hukum internasional. Kendati demikian, SGPT belum mendapat perhatian luas. Selain itu, salah satu kunci permasalahan adalah kesadaran tiap negara berkembang itu sendiri pada tataran implementasi nasional, dan upaya pada tingkat regional. Pada lingkup nasional saat ini, perhatian pemerintah negara berkembang masih amat minim dalam soal SGPT itu, padahal masalahnya amat luas.
Di atas semua keberhasilan, pengaturan pengembangan SGPT adalah pada tersedianya sumber daya manusia yang berkualitas, seperti yang juga ditegaskan Prof John Barton dari Universitas Stanford (Trading in Knowledge, 2003). Memang demikian. Kendati urusan SGPT dan sumber daya alam lain sudah diakomodasi dalam hukum internasional, kalau tidak ada sumber daya manusia yang andal, negara berkembang tetap tertinggal dan tidak tahu nilai barangnya sendiri.
(diangkat dari Pidato Pengukuhan sebagai guru besar, 7 September 2005)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo