Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Selepas berbuka bersama keluarganya pada hari ketujuh Ramadan lalu, Amir Hasyim Hasibuan salat magrib di kamar belakang rumahnya. Istrinya, Herawati Nasution, yang lebih dulu selesai sembahyang, sudah menyiapkan makan malam. Sembari menunggu suami, perempuan 51 tahun ini duduk selonjoran di kursi tamu.
Saat itulah Herawati mendengar derum sepeda motor berhenti di depan rumahnya di Jalan Satria, Gang Ubudiah, Bambu Kuning, Kecamatan Sail, Pekanbaru, Riau. Terdengar seseorang mengetuk pintu. Belum lagi dipersilakan, tamu tak diundang berkaus polisi itu menyelonong masuk dan duduk di kursi ruang tamu.
Rasa terkejut Herawati belum hilang, dua lelaki lain muncul di depan pintu rumahnya. Pria yang pertama masuk memperkenalkan dirinya. ”Saya Juli, anak Ibu Bangun, warga Dwi Kora, Sail,” kata Herawati menirukan ucapan pria itu. ”Saya datang hendak menagih utang Rp 2 juta.”
Barulah Herawati mafhum, pria muda tersebut tak lain adalah Brigadir Satu Juli Afandi Sitompul, anggota Shabara Kepolisian Kota Besar Pekanbaru, Riau. Ia ingat setahun lalu memang berutang pada Ibu Bangun. Utang Rp 2 juta cuma ia terima Rp 1,7 juta. ”Bunga Rp 300 ribu dipotong di depan,” katanya. Ia mesti membayar utang dengan mencicil Rp 20 ribu per hari.
Herawati meminjam uang karena butuh tambahan modal untuk dagangannya. Ia adalah pedagang sayur kaki lima di Pasar Sail, Pekan Baru. Sebagian utang sebetulnya sudah dicicil. Tapi, belum lagi lunas, ia mulai sakit-sakitan. Begitu pula Amir Hasyim, suaminya. Itu sebabnya ia gelagapan ketika datang tagihan. ”Saya enggak punya uang,” katanya.
Alasan mengiba nenek empat cucu itu tak meluluhkan hati Juli. Ia tetap ngotot menagih. ”Pokoknya bayar sekarang atau kutembak semua keluarga ini,” Herawati kembali menirukan hardikan Juli. ”Dia langsung berdiri dan mengangkat senjatanya. Saya mulai gemetar dan takut sekali,” kata ibu empat anak itu.
Saat itulah Amir Hasyim muncul ke ruang tamu dari kamar belakang. Lelaki berkulit legam tersebut langsung nimbrung dalam percakapan. ”Sabarlah, Nak. Nanti kami selesaikan. Usaha saya pun agak macet. Lagi pula ini bulan puasa. Kita berunding lagilah,” kata pria 60 tahun itu sebagaimana diulangi Herawati.
Juli tak bergeming. Dia terus saja menghardik dan mengancam. Amir hilang kesabarannya. Lelaki tua yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung ini mulai marah. ”Ini rumahku. Ini bulan puasa. Kami tak ada uang. Nanti kuparang kalian,” dia berteriak. ”Kalau mau bunuh, bunuhlah. Atau pergi dari sini.”
Wajah Herawati pucat melihat Juli mengeluarkan pistol dan mengarahkan ke punggung Amir yang menuju dapur. ”Mana parang, mana parang? Mereka harus diusir karena tak tahu adat,” Amir terus melangkah sambil berteriak. Di dapur, ia tak menemukan parang, hanya bersua Butet, 14 tahun, putri bungsunya yang masih duduk di kelas tiga Sekolah Menengah Pertama Kulim, Pekanbaru.
Butet mendampingi ayahnya kembali ke ruang tamu. ”Kalau kau mau bunuh, tembak saja kami semua. Tembaklah saya, kami semua pasrah,” Amir terus saja merepet. Ia langsung berhadapan dengan Juli yang masih mengacungkan senjata ke dadanya. ”Kami polisi, tak bisa diusir karena berbaju dinas,” kata Butet menirukan kalimat Juli.
Tiba-tiba dor-dor…, terdengar letusan pistol. Amir limbung. Dua peluru merobek dadanya hingga tembus ke punggung. Darah muncrat ke dinding dan mengubangi lantai. ”Aku langsung memeluk suamiku yang roboh di hadapanku. Dunia gelap sekali,” kata Herawati.
Suara tembakan mengejutkan warga di permukiman padat itu. ”Sebenarnya warga mulai berdatangan sejak terdengar ribut-ribut di dalam rumah,” kata Edi Rumdai, tetangga Amir. Juli dan dua temannya, yang masih panik akibat perbuatannya, hendak kabur. Tapi mereka dihadang ratusan warga yang telah mengepung rumah Amir. Warga yang marah berteriak-teriak, ”Bakar, bakar, bunuh, bunuh, habisi saja setan itu.”
Ketiga polisi itu kembali mengeluarkan pistolnya dan mengacung-acungkan ke arah kerumunan massa yang telah memadati gang selebar tiga meter itu. Toh, mereka tetap tak bisa meloloskan diri. Mereka hanya bisa berdiri di depan rumah korban.
”Kami polisi sedang menjalankan tugas. Minggir, jangan dekat nanti kutembak!” Tapi massa tak menghiraukan teriakan Juli. Malah jumlah warga yang datang semakin banyak. Terlebih ketika warga yang baru pulang salat tarawih di Masjid Ubudiyah, Bambu Kuning, ikut berkumpul di depan rumah Amir.
Beruntung ada warga yang ”berbaik hati” pada ketiga polisi itu. Ia menelepon Kepolisian Kota Besar Pekanbaru. Tak lama berselang, sejumlah polisi berseragam datang menerobos kerumunan massa dan menodongkan senjatanya ke arah Juli dan kedua temannya. ”Dengan mudah, puluhan polisi itu menangkap Juli,” kata Edi.
Ketiganya digiring ke mulut gang dan langsung dinaikkan ke mobil. Waktu ketiga tersangka digelandang, warga hendak mengamuk. ”Tapi kami ngeri melihat senjata polisi,” ujar Edi. Tak bisa menyentuh Juli, warga melampiaskan amarah ke sepeda motor merek Honda Tiger yang dikendarai Juli dan dua temannya. Tak ayal, dalam sekejap sepeda motor itu hangus.
Selanjutnya, Sahari, ketua rukun tetangga setempat, membawa tubuh Amir yang bersimbah darah ke rumah sakit. ”Siapa tahu masih bisa tertolong,” kata Sahari. Namun, nyawa Amir sudah melayang. Sejam di rumah sakit, jenazahnya dibawa pulang. Ratusan warga berjejal menanti kedatangan jasad Amir. Sejumlah polisi berseragam dan tentara ikut menjaga kampung. Malam itu muncul isu warga akan menyerang rumah Juli, yang hanya berjarak satu kilometer dari rumah Amir Hasyim.
Beberapa perwira Kepolisian Daerah Riau dan pejabat pemerintah setempat ikut datang ke lokasi. Mereka berupaya meredam kemarahan massa. Hasilnya lumayan, sampai akhir pekan lalu belum terdengar adanya insiden balas dendam.
Tinggalah Herawati yang belum habis mengerti kenapa Juli tega menghabisi nyawa suaminya. ”Kami dan keluarga Juli sudah saling kenal,” katanya. Herawati dan Ibu Bangun sama-sama beraktivitas di Pasar Ail sejak awal 1990-an. Mereka berdua adalah pedagang sayur. ”Ibu Bangun juga dagang duit. Banyak yang ditolong kasih modal,” kata Herawati.
Herawati berharap pembunuh suaminya dihukum seadil-adilnya. Juli kini mendekam di sel Poltabes Pekanbaru. Lulusan Sekolah Polisi Negara (SPN) Pekanbaru angkatan 2000-2001 ini telah ditetapkan sebagai tersangka karena menghilangkan nyawa orang lain. Juru bicara Kepolisian Daerah Riau, Ajun Komisaris Besar Amien Rachimsyah, mengatakan Juli membunuh tidak dengan berencana. ”Dia emosi,” katanya.
Menurut Amien, dalam kasus itu tersangka yang polisi hanyalah Juli. Sedangkan dua temannya ternyata warga sipil. Salah seorang di antaranya adalah Zulkifli Sitompul, kakak kandung Juli. Satu lagi, teman Juli, juga seorang sipil yang kini sudah kabur. ”Kami masih mengejarnya,” kata Amien.
Soal senjata api, menurut Amien, Juli membawanya sesuai dengan tugasnya menjaga kantor Bank Permata. Ketika menagih utang, ia sekalian lewat menuju tempat tugasnya. ”Selepas ke rumah Amir, rencananya dia langsung ke Bank Permata,” kata Amien. Toh, Amien mengakui, ”Apa pun, Juli tetap bersalah.” Saat ini, kata Amien, tersangka sedang diproses untuk dipecat dari kepolisian. ”Selanjutnya kasus ini dilimpahkan ke peradilan umum,” ujarnya.
Teman-teman Juli sesama polisi menyesalkan insiden tragis itu. Umumnya mereka tak menyangka pemuda pandai bergaul tersebut bisa menembak seorang tua. ”Saya yakin dia silap. Siapa pun termasuk Juli pasti tak tega melakukannya,” kata seorang polisi rekan Juli. Silap yang menewaskan orang lain tetap saja mesti memperoleh hukuman yang setimpal.
Nurlis E. Meuko, Jupernalis Samosir (Pekanbaru)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo