Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Mochtar Tanpa Warna Lokal

Mochtar apin, 54, pameran 34 buah lukisan di ruang pameran tim. sebagian besar lukisan figuratif periode tahun 40, 50 dan 60-an. lebih menonjolkan keseimbangan pada ruang, penuh warna, ceria dan riang.(sr)

6 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DENGAN sponsor Dewan Kesenian Jakarta, di ruang pameran TIM muncul Mochtar Apin dengan 34 buah lukisannya -- 18 s/d 24 Oktober yang lalu. Pelukis yang lahir di Padangpanjang pada 23 Desember 1923 ini, telah jadi salah satu penghuni barisan terdepan dari para pelukis Bandung pada saat ini. Ia pernah mengunyah pendidikan di Amsterdam, Paris dan Berlin antara 1951 6ampai 1958. Tahun berikutnya ia nongkrong sebagai pengajar di Departemen Senirupa ITB. Basuki Abdullah dalam sebuah kesempatan wawancara dengan TEMPO memujikannya sebagai pelukis modern pribumi yang dapat diketengahkan pada masa ini. Sementara masyarakat luas,barangkali sudah cukup mengenalnya lewat "Potret Chairil Anwar" yang dikerjakannya pada tahun 1947, yang dengan tepatnya melukiskan pelopor penyair Angkatan 45 itu sebagai "Binatang Jalang" dalam sajaknya "Aku" . Optimis Sebagian kecil isi pameran merupakan lukisan-lukisan figuratip dari periode tahun 40-an, 50-an dan 60-an. Di sini kita melihat Mochtar banyak memperhatikan manusia, khususnya kaum hawa sebagai sasarannya. Dengan warna-warna yang terang pada periode itu kita melihat lukisannya banyak mengarah pada kubisme. Kadangkala pula kita melihat kecendrungan yang mengingatkan lukisan-lukisan Matisse. Warna-warnanya didominir oleh suasana optimis. Mungkin pada masa-masa tersebut pelukis masih sibuk mencari jalan yang hendak ditempuhnya. Kemudian ia memasuki periode tahun 70-an, dengan mempergunakan akrelik. Iapun sampai pada lukisan-lukisan yang non-figuratip dengan komposisi bidang yang penuh perhitungan, tetapi yang segera pula mengingatkan kita pada karya Mondrian. Seorang pengunjung mengeluh, bahwa frekwensi pameran sudah terlalu ngebut, sehingga pameran lebih menyerupai kegiatan rutin. Akibatnya peristiwa pameran tidak lagi merupakan sesuatu yang istimewa. Ini ada benarnya. Tetapi Mochtar Apin misalnya mempunyai sesuatu yang khas, sehingga orang tetap ingat bahwa pameran ini tidak bisa dilewatkan. Ruang yang terasa penuh dengan warna, memperlihatkan sesuatu yang manis dan riang. Mochtar tidak bangkit dari sesuatu yang pedih. Ia seperti mencoba menikmati kenyataan-kenyataan yang bisa dipakai sebagai alasan untuk tetap optimis dan bahagia. Bidang-bidangnya melukiskan gerak, mengandung getaran yang memberikan kesan musikal. Pemilihannya terhadap warna-warna memberikan kesan hasratnya untuk menemukan sesuatu yang unik. Semuanya dilaksanakan dengan cermat dan berbau akademis. Secara emosionil, lukisan-lukisannya sudah tertutup rapih. Ia lebih menyerupai kesimpulan-kesimpulan yang telah selesai. Tidak menyodorkan pertanyaan. Kita melihat bidang dengan warna-warna penuh dengan nuansa yang membimbing kita untuk berimajinasi. Bidang-bidang berwarna yang dipisahkan oleh garis-garis lurus yang tebal. Lalu tiba-tiba pula dalam latar biru kita mendapatkan tubuh seorang wanita hijau tiduran di atas semacam bukit (Monumen). Barangkali Mochtar telah melangkahi satu tahap dalam hidupnya, di mana manusia menjadi tidak begitu penting lagi dan problem manusia tidak lagi menarik perhatiannya. Ia memusatkan pikirannya pada gerak-gerik alam yang lebih besar. Dengan kaca mata ini, maka lukisan-lukisannya memang tidak memberikan semacam tontonan pada penikmatnya, tetapi memberikan keseimbangan pada ruang di mana dia dipajang. Ia menciptakan suasana dan membersitkan irama. Problemnya adalah problem ruang, tentang kehidupan pada umumnya yang mencoba menangkap rahasia-rahasia kehidupan secara umum. Ini bukan realisme sosial, bukan realisme bentuk, tetapi tak pelak lagi maksudnya untuk lebih dekat pada kenyataan hidup yang tetap rahasia. Mochtar mendekati semuanya itu dengan tekun. Lukisan-lukisannya segar, meskipun tidak sempat membuat kejutan-kejutan. Ia telah menunjukkan usaha yang sungguh-sungguh untuk tampil dalam jaman modern ini, untuk membicarakan masa kini dengan menggali masa kini. Barangkali dengan begini ia bisa kehilangan apa yang disebut orang "warna lokal", "ucap Indonesia", karena ia seperti mempergunakan bahasa yang sama dengan bahasa yang dipakai oleh pelukis-pelukis asing. Tapi sepanjang itu jujur, sudah pasti ia akanmembuahkan sesuatu. Putu Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus