Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LEONARDUS Benjamin Moerdani adalah selapis babak dalam sejarah modern Indonesia. Ia muncul di awal "pergantian zaman", di era ketika para pendiri Republik bersiap-siap surut untuk digantikan-bukan tanpa luka-oleh rezim yang kelak memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade.
Pembicaraan tentang apa yang dinamakan "Orde Baru" tak akan pernah lengkap tanpa menyebut nama Benny Moerdani. Nama itu mulai beredar pada periode pemulihan hubungan diplomatik dengan Malaysia, bersama nama lain, seperti Ali Moertopo dan Des Alwi. Hubungan diplomatik dengan Malaysia itu sempat putus, bahkan dengan cara yang drastis, sejak diumumkannya Dwi Komando Rakyat (Dwikora) oleh Presiden Sukarno pada 1963. Sukarno menganggap "Malaysia" sebagai proyek "imperialis Inggris" dan, karena itu, harus "diganyang".
Benny mulai "berkerabat" dengan senjata pada usia 13 tahun, tepat pada 1945, dengan bergabung ke Detasemen II Tentara Pelajar Brigade 17 pimpinan Achmadi-kelak Menteri Penerangan dalam kabinet terakhir Sukarno. Sejak itu praktis sepanjang hidupnya ia berurusan dengan "perang" dan "pertempuran", baik secara nyata maupun secara kias.
Perlahan-lahan Benny membangun legendanya melalui cerita-cerita yang di sana-sini sebetulnya tak mudah didapatkan konfirmasinya. Cerita tentang penerjunannya di Pekanbaru untuk merebut ladang minyak Caltex di era PRRI, padahal dia belum pernah ikut latihan terjun, misalnya, merupakan cerita yang harus sangat disangsikan. Masih ada beberapa cerita "heroik" lain yang harus disikapi dengan kritis, tapi dari beberapa tuturan yang terkonfirmasi tetap bisa disimpulkan: Benny memang seorang pemberani.
Dia juga seorang loyalis-bahkan mungkin loyalis dalam arti sesungguhnya. Kebiasaannya mengangkat sumpah jabatan dengan lima jari-bukan tiga jari sebagaimana lazimnya penganut Katolik-sebagai tanda kesetiaannya kepada Pancasila merupakan hal unik yang belum pernah terjadi. Menjelang akhir hayatnya, di kursi roda, ada yang menyaksikan ia berusaha mengambil sikap sempurna setiap kali lagu Indonesia Raya ditayangkan di televisi.
Namun loyalitasnya yang paling nyata adalah kepada Soeharto, panglima tertingginya. Beberapa kali terjadi ia bersedia "mencelupkan tangannya" sendiri ke dalam darah, demi membela sang bos. Pada peristiwa "penembakan misterius"-biasa disebut "petrus"-misalnya, Benny pernah menyatakan bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Barulah beberapa tahun kemudian, pada 1989, dalam buku Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya, Soeharto mengakui rangkaian pembunuhan yang menewaskan ribuan orang itu merupakan buah pikirannya.
Di bawah Soeharto, Benny Moerdani tampil sebagai orang paling kontroversial. Dia menjadi tokoh yang ditakuti tapi juga diharapkan oleh sebagian orang. Dia tampil sebagai jenderal yang garang dalam Peristiwa Woyla (1981) dan Peristiwa Tanjung Priok (1984), tapi dia juga salah seorang "pengayom" bagi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), tangki pemikir yang didirikan Ali Moertopo. Sebagian kelompok Islam memandangnya dengan rasa benci dan curiga, tapi pada saat yang lain ia menyambangi sejumlah pesantren bertemankan Gus Dur. Dia juga mendirikan Sekolah Kebangsaan Taruna Nusantara di Magelang, Jawa Tengah, pada 1990.
Tak sebatas di ranah keserdaduan, Benny juga terampil bermain di dunia diplomasi dan kepengacaraan. Dia pernah menjadi diplomat di Korea, dan memenangkan Indonesia "merebut" harta yang dikorupsi oleh pejabat Pertamina, Ahmad Thahir (almarhum), di pengadilan Singapura. Dengan kesaksian Benny yang dilukiskan sebagai "sangat cerdas dan memukau", Indonesia berhasil menguasai kembali hasil korupsi sebesar US$ 76 juta.
Syahdan, "setinggi-tingginya bangau terbang, akhirnya ke pelimbahan juga". Dan Benny, pada saatnya, memang seperti terbuang ke "pelimbahan". Ia mungkin lupa pada dua hal. Pertama, Soeharto tak pernah punya "anak emas". Dan kedua, Soeharto tak pernah menenggang siapa pun yang bersikap kritis terhadap keluarganya. Benny menerabas batas itu: ia mengingatkan sang bos tentang bisnis anak-anaknya-meskipun "peringatan" itu mungkin merupakan bagian dari loyalitasnya.
Dari lingkaran dalam kekuasaan, ia disorongkan ke pojok yang suram dan berkabut. Jejaknya yang sulit dibaca sebagai salah seorang pendekar dunia intelijen Indonesia semakin samar dan keruh. Hari-hari terakhir hidupnya sulit dibayangkan: seorang jenderal yang tangkas dan trengginas lunglai terkulai di kursi roda. Ia memang selapis babak dalam sejarah kontemporer Indonesia, tapi babak itu tak pernah lengkap, tak pernah jangkap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo