MENGAPA bunyi gedang yang berarti papaya di Bandung itu,
tiba-tiba berarti pisang di Yogya?
Selain soal bunyi yang tidak jelas hukum hubungannya dengan
arti, arti kata-kata itu pun sudah tidak keruan juga. "Beli
kodak merek apa Sus?" "O, saya pilih merek Fujica saja."
Dari segi susunan bahasa pun kita melihat banyak tatabahasa yang
seolah-olah tanpa aturan. Misalnya kita yang beradab berkata:
"Ah, siapa akan mengira dia sampai begitu." Tetapi orang Jerman
(yang beradab juga) berkata: "Ah, siapa seharusnya begitu apa
dari dia telah berpikir punya." (Wer sollte so was von ihm
gedacht haben).
Siapa yang sinting? Kita atau orang sebangsa Wolfgang Goethe
itu? Jawab Ebiet Ade: "Tanyakan pada rumput yang bergoyang."
Dulu dan sekarang kita belajar, bahwa "Bahasa itulah manusia
seutuhnya," the wisdom of the ages. Tetapi sesudah diamati lebih
teliti, diketahuilah secara ilmiah, bahwa bahasa manusia sering
sangat ruwet nalar lekuk relungnya--bahkan sering hasil
kenekatan selera belaka. Sehingga kearifan zaman-zaman tadi
disebut oleh Bertrand Russell: "the foolishness of the ages."
***
"Kesintingan" itu tidak sama dengan verbalisme, yakni asal
ngomong saja, ngawur dan nekat munafik. "Kesintingan" di sini
hanya mengena pada penggunaan subyektif bahasa oleh si pemakai
dalalu situasi dan kondisi tertentu pula. "Bu Guru itu sungguh
sadis. ' kata gadis SMP. Jelaslah arti dar| bobotnya lain dari
kata sadis" yang diucapkan oleh seorang psikiater.
Maka kini para ahli bahasa tidak hanya memperhatikan soal bunyi
(fonetik) dan arti (semantik) beserta hubungan antara bunyi dan
arti tadi (sintaksis), tetapi juga wilayah penggunaan subyektif
si pemakai bahasa dalam situasi dan kondisinya (pragmatik).
Bagi Angkatan 45 yang pernah bergerilya dan bersusah payah
mempersatukan sekian suku menjadi satu nasion yang bertahan di
bawah ancaman peluru maut, tentulah kata "Pancasila" lain
sekali arti sera bobotnya daripada yang dirasakan oleh
anak-anaknya, yang tinggal minta Honda untuk pergi ke sekolah
darinya berhamburan kaset-kaset musil pop: "Ada uang ada kuasa
ada cewek."
Demikian juga bila orang Islam atau Kristen atau Hindu
mengucapkan kata "Putra Tuhan", jelaslah bahwa ketig: orang itu
mempergunakan pragmatika istilah yang sama sekali lain tradisi,
bobot dan isinya. Istilah menikah bagi Oba horok di Irian juga
lain pragmatikanya daripada untuk Rat Elizabeth atau pun
Brigitte Bardot.
***
Filsuf bahasa Wittgenstein menyarankan, agal arti "obyektif"
dari kata-kata hendaknya jangan kita mutlakkan secara abstrak.
Sebab "bahasa adalah suatu sarana (saja), kosepnya pun sarana."
Maka janganlah manusia berperan atau gugat-menggugat hanya
karena pemakaian satu dua kata atau istilah. Sebal, praxis
menunjukkan, bahwa "untuk sebagian besar macam peristiwa, arti
suatu kata ada di dalam pemakaiannya dalam bahasa."
Namun, apakah lalu manusia mungkin mencapai kemufakatan arti,
mencapai "satu bahasa, satu isi, satu tafsiran"? Ternyata bisa.
Ketika masih mahasiswa di negeri manusia-mata-biru, saya lama
bekerja sebagai penjaga malam suatu Taman Kanak-kanak. Suatu
pagi datang seorang ibu Italia (persis Sophia Loren) membawa
anak kecilnya bernama Marcello. Si Marcello ini, benar-benar
anak negeri Garribaldi yang tidak memalukan tanah-airnya.
Supergesit superhidup dan langsung tanpa menunggu prosedur
birokrasi Jerman tentang tatacara penerimaan siswa terus saja
dia lari dari Sophia Lorennya kontan bergulingan dan bergumul
main-main menjadi leade hebat bagi teman-teman yang belum
pernah ia kenal itu dan yang bahasanya pun ia sama sekali tidak
tahu.
Heran sekali aku bertanya kepada Ibu Guru Froebel, bagaimana
mungkin anak-anak itu saling mengerti apa yang dimaksud
Marcello, dan sebaliknya. Jawab bu Guru: "Ah biasa itu. Bahasa
bagi anak-anak tidak pernah menjadi soal."
Dan memang, tangis bayi atau pun kokok ayam rupa-rupanya memakai
bunyi-bunyi yang internasional. Bahkan seorang ahli pendidik
anak bisu tuli, Ira Hirsch bertanya serius: "Apa gunanya
sebetulnya si anak direpoti belajar bahasa, apabila ia sudah
dapat memenuhi segala kebutuhannya, sederhana saja dengan
menarik rok ibunya?"
Komunikasi antar anak. bisu-tuli ternyata sangat hidup dan kaya.
Ataukah barangkali kita harus menjadi anak-anak murni kembali,
agar mampu saling berkomunikasi secara wajar dan jujur'? Ataukah
lebih tepat dikatakan, bahwa kesanggupan berkomunikasi dan
memahami bahasa manusia lain adalah soal kedewasaan? Kedewasaan
manusia merdeka yang bahagia bila manusia lain merdeka juga,
sehingga berbahasa tidak usah menjadi berbohong?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini