Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Berbahasa, bukan berbohong

Agar dapat berkomunikasi secara wajar. barangkali kita harus menjadi anak-anak kembali. atau mungkin kesanggupan berkomunikasi & memahami bahasa manusia lain adalah soal kedewasaan. tak perlu bohong.

30 Agustus 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENGAPA bunyi gedang yang berarti papaya di Bandung itu, tiba-tiba berarti pisang di Yogya? Selain soal bunyi yang tidak jelas hukum hubungannya dengan arti, arti kata-kata itu pun sudah tidak keruan juga. "Beli kodak merek apa Sus?" "O, saya pilih merek Fujica saja." Dari segi susunan bahasa pun kita melihat banyak tatabahasa yang seolah-olah tanpa aturan. Misalnya kita yang beradab berkata: "Ah, siapa akan mengira dia sampai begitu." Tetapi orang Jerman (yang beradab juga) berkata: "Ah, siapa seharusnya begitu apa dari dia telah berpikir punya." (Wer sollte so was von ihm gedacht haben). Siapa yang sinting? Kita atau orang sebangsa Wolfgang Goethe itu? Jawab Ebiet Ade: "Tanyakan pada rumput yang bergoyang." Dulu dan sekarang kita belajar, bahwa "Bahasa itulah manusia seutuhnya," the wisdom of the ages. Tetapi sesudah diamati lebih teliti, diketahuilah secara ilmiah, bahwa bahasa manusia sering sangat ruwet nalar lekuk relungnya--bahkan sering hasil kenekatan selera belaka. Sehingga kearifan zaman-zaman tadi disebut oleh Bertrand Russell: "the foolishness of the ages." *** "Kesintingan" itu tidak sama dengan verbalisme, yakni asal ngomong saja, ngawur dan nekat munafik. "Kesintingan" di sini hanya mengena pada penggunaan subyektif bahasa oleh si pemakai dalalu situasi dan kondisi tertentu pula. "Bu Guru itu sungguh sadis. ' kata gadis SMP. Jelaslah arti dar| bobotnya lain dari kata sadis" yang diucapkan oleh seorang psikiater. Maka kini para ahli bahasa tidak hanya memperhatikan soal bunyi (fonetik) dan arti (semantik) beserta hubungan antara bunyi dan arti tadi (sintaksis), tetapi juga wilayah penggunaan subyektif si pemakai bahasa dalam situasi dan kondisinya (pragmatik). Bagi Angkatan 45 yang pernah bergerilya dan bersusah payah mempersatukan sekian suku menjadi satu nasion yang bertahan di bawah ancaman peluru maut, tentulah kata "Pancasila" lain sekali arti sera bobotnya daripada yang dirasakan oleh anak-anaknya, yang tinggal minta Honda untuk pergi ke sekolah darinya berhamburan kaset-kaset musil pop: "Ada uang ada kuasa ada cewek." Demikian juga bila orang Islam atau Kristen atau Hindu mengucapkan kata "Putra Tuhan", jelaslah bahwa ketig: orang itu mempergunakan pragmatika istilah yang sama sekali lain tradisi, bobot dan isinya. Istilah menikah bagi Oba horok di Irian juga lain pragmatikanya daripada untuk Rat Elizabeth atau pun Brigitte Bardot. *** Filsuf bahasa Wittgenstein menyarankan, agal arti "obyektif" dari kata-kata hendaknya jangan kita mutlakkan secara abstrak. Sebab "bahasa adalah suatu sarana (saja), kosepnya pun sarana." Maka janganlah manusia berperan atau gugat-menggugat hanya karena pemakaian satu dua kata atau istilah. Sebal, praxis menunjukkan, bahwa "untuk sebagian besar macam peristiwa, arti suatu kata ada di dalam pemakaiannya dalam bahasa." Namun, apakah lalu manusia mungkin mencapai kemufakatan arti, mencapai "satu bahasa, satu isi, satu tafsiran"? Ternyata bisa. Ketika masih mahasiswa di negeri manusia-mata-biru, saya lama bekerja sebagai penjaga malam suatu Taman Kanak-kanak. Suatu pagi datang seorang ibu Italia (persis Sophia Loren) membawa anak kecilnya bernama Marcello. Si Marcello ini, benar-benar anak negeri Garribaldi yang tidak memalukan tanah-airnya. Supergesit superhidup dan langsung tanpa menunggu prosedur birokrasi Jerman tentang tatacara penerimaan siswa terus saja dia lari dari Sophia Lorennya kontan bergulingan dan bergumul main-main menjadi leade hebat bagi teman-teman yang belum pernah ia kenal itu dan yang bahasanya pun ia sama sekali tidak tahu. Heran sekali aku bertanya kepada Ibu Guru Froebel, bagaimana mungkin anak-anak itu saling mengerti apa yang dimaksud Marcello, dan sebaliknya. Jawab bu Guru: "Ah biasa itu. Bahasa bagi anak-anak tidak pernah menjadi soal." Dan memang, tangis bayi atau pun kokok ayam rupa-rupanya memakai bunyi-bunyi yang internasional. Bahkan seorang ahli pendidik anak bisu tuli, Ira Hirsch bertanya serius: "Apa gunanya sebetulnya si anak direpoti belajar bahasa, apabila ia sudah dapat memenuhi segala kebutuhannya, sederhana saja dengan menarik rok ibunya?" Komunikasi antar anak. bisu-tuli ternyata sangat hidup dan kaya. Ataukah barangkali kita harus menjadi anak-anak murni kembali, agar mampu saling berkomunikasi secara wajar dan jujur'? Ataukah lebih tepat dikatakan, bahwa kesanggupan berkomunikasi dan memahami bahasa manusia lain adalah soal kedewasaan? Kedewasaan manusia merdeka yang bahagia bila manusia lain merdeka juga, sehingga berbahasa tidak usah menjadi berbohong?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus